WahanaNews.co | Sebanyak 22 ekor gajah mati di kawasan Taman Nasional Way Kambas (TNWK) Lampung Timur dalam 10 tahun terakhir.
Kematian puluhan gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) itu diduga akibat perburuan liar, karena bangkai ditemukan tanpa gading dan gigi.
Baca Juga:
Bulan Solidaritas Palestina 2024: Ribuan Masyarakat Lampung Berlayar dan Kibarkan Bendera di Selat Sunda
Kepala Balai TNWK, Kuswandono, mengatakan, hasil evaluasi dengan aplikasi SMART RBM pada semester 1 tahun 2021, ditemukan jenis alat berburu berupa satu jaring kabut dan tujuh jerat nilon.
Ditemukan juga 16 jerat seling, 40 jerat seling kecil, dua perangkap kandang, tiga stick, dan 13 tanda perburuan lainnya.
Kuswandono mengatakan, hal ini menjadi catatan kritis tentang perlindungan gajah di tengah peringatan Hari Satwa se-Dunia yang jatuh pada 4 Oktober 2021.
Baca Juga:
Terjebak Penipuan Pajak, Pedagang Sembako Kehilangan Rp298 Juta dalam Sekejap
“Temuan ini menandakan bahwa perburuan liar di kawasan TN Way Kambas harus dihentikan karena mengancam populasi satwa liar dan berpengaruh pada keseimbangan ekosistem hutan,” kata Kuswandono, dalam rilis yang diterima media.
Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, gajah sumatera termasuk ke dalam daftar jenis satwa yang harus dilindungi.
Picu Kebakaran Hutan
Kuswandono mengatakan, para pemburu liar kerap dengan sengaja memicu kebakaran hutan untuk memudahkan perburuan.
Untuk itu, sebagai upaya pengawasan dan pencegahan perburuan liar, TNWK bekerjasama dengan sejumlah pihak, seperti perguruan tinggi, pemerintah daerah, penegak hukum, dan masyarakat sekitar kawasan, serta lembaga swadaya masyarakat (LSM).
“Untuk pelestarian kawasan hutan, kami bekerjasama dengan kelompok komunitas atau mitra lingkungan, seperti Yayasan Auriga Nusantara dalam upaya restorasi hutan sejak tahun 2013,” kata Kuswandono.
Dari luas TNWK yang mencapai 125.000 hektare, sekitar 17.000 hektare perlu direhabilitasi.
“Ini kami bagi ke dalam tiga jenis metode upaya rehabilitasi atau pemulihan ekosistem, yakni pemulihan ekosistem alami, pemulihan ekosistem yang menggunakan anggaran negara dan pemulihan ekosistem bekerja sama dengan mitra, di mana Auriga termasuk di dalamnya,” kata Kuswandono.
Pemulihan Habitat
Ketua Yayasan Auriga Indonesia, Timer Manurung, mengatakan, melalui kerjasama dengan Auriga Nusantara, pada 2013-2017, pemulihan habitat telah mencapai 100 hektare.
Sedangkan khusus dengan Auriga, pemulihan ditargetkan 1.200 hektare hingga 2023.
“Hamparan ilalang pasca-kebakaran hebat pada dekade 90-an diupayakan pulih kembali menjadi hutan, termasuk sebagai habitat gajah,” kata Manurung.
Direktur Kehutanan Auriga, Supin, menambahkan, dari 1.200 hektare area restorasi, Auriga menargetkan membangun pembibitan dan melakukan penanaman seluas 600 hektare di kawasan Rawa Kadut hingga tahun 2023.
“Selain itu, kami membuat sekat bakar untuk mengendalikan kebakaran dan menghambat kebakaran agar tidak meluas. Kami juga melakukan perawatan pada area permudaan alami (suksesi),” kata Supin.[dhn]