WahanaNews.co | Pemerintah diminta menetapkan Organisasi Papua Merdeka (OPM)
sebagai organisasi teroris, karena tindakannya selama ini tidak
hanya menyuarakan perlawanan terhadap negara, namun
juga melakukan aksi teror terhadap warga di Papua.
Hal itu dikatakan Direktur Eksekutif
Pusat Studi Kemanusiaan dan Pembangunan (PSKP), Efriza, dalam webinar bertajuk OPM
sebagai Organisasi Teroris.
Baca Juga:
TNI Sergap Persembunyian OPM di Yahukimo: Dua Tewas, Pistol dan Ladang Ganja Disita
Efriza mengatakan, sudah sangat layak apabila OPM ditautkan sebagai organisasi
teroris, karena aksi yang dilakukan selama ini bukan hanya memakan korban
dari kalangan aparat keamanan, tapi juga masyarakat Papua.
"OPM selama ini menolak secara
tegas Otonomi Khusus (Otsus) Papua dan meminta agar Papua merdeka penuh dari
Indonesia," katanya.
Dia mengingatkan masyakarat aksi teror
yang dilakukan OPM, misalnya Tentara Pembebasan Nasional
Papua Barat (TPNPB) OPM Daerah 8 Intan Jaya membakar pesawat
misionaris milik PT MAF pada awal Januari 2021.
Baca Juga:
OPM Tembak Prajurit TNI Saat Mengantarkan Obat, TNI: Tak Ada Ampun!
Aksi teror OPM itu, menurut dia, juga dilakukan terhadap langkah
pembangunan pemerintah di Papua dengan membunuh belasan karyawan PT Istaka
Karya yang sedang mengerjakan proyek Jalan Trans Papua di Nduga pada 2018.
"Kekejaman OPM sering kita lihat
saat mereka menembak heli milik TNI yang sedang mengevakuasi prajurit dan
membawa logistik ke daerah pedalaman Papua. Lalu pembacokan pada tukang ojek di
Intan Jaya," ujarnya.
Dia mengatakan, Presiden
Jokowi secara tegas bentuk nyata kehadiran negara diimplementasikan dengan
pendekatan kesejahteraan melalui pemberian dana Otsus yang ditingkatkan dan
berbagai pembangunan infrastruktur.
Namun, di sisi
lain, menurut dia, tindakan OPM malah berseberangan dengan sikap
pemerintah, yaitu dengan menunjukkan perlawanan untuk menunjukkan
ketidaksetujuan mereka apabila Papua sejahtera.
Karena itu, Efriza
menilai, selain menggunakan pendekatan kesejahteraan, juga perlu dibarengi
dengan pendekatan militer untuk memberikan keamanan dan keselamatan bagi
masyarakat Papua dengan memasukkan OPM sebagai organisasi teroris di
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
"Konsekuensinya ketika jadi organisasi
teroris, maka tidak dapat diintervensi negara PBB, dan untuk
membatasi ruang gerak OPM, misalnya tidak dapat sumbangan dana
dari negara luar. Selain itu berimplikasi bertambah konflik karena OPM akan
tunjukkan identitas karena itu butuh penguatan militer diperlukan negara
damai," katanya.
Dalam webinar tersebut, Direktur
Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Irfan Idris, mengatakan, selama
ini label teroris selalu ditujukan pada kelompok yang melakukan aksi teror
dengan menggunakan simbol keagamaan.
Namun, menurut
dia, masyarakat kurang aware
pada aksi teror OPM yang selama ini dilakukan telah memakan korban baik dari
kalangan aparat keamanan dan masyarakat sipil Papua.
"Varian radikalisme di Indonesia
bisa dikategorikan pada tiga hal, yaitu dalam hal politik, keyakinan,
dan tindakan. Kategori Politik dan tindakan bisa dilihat pada OPM, yaitu tindakan brutal yang menyebarkan aksi teror," ujarnya.
Menurut dia, meskipun aksi teror OPM
tidak berbasis pada simbol keagamaan namun lebih pada aspek geografis, dan itu
justru lebih berbahaya karen kalau dibiarkan terus-menerus akan menghabisi
wilayah Republik Indonesia.
Anggota DPR RI Fraksi Partai Demokrat, Willem Wandik, menyarankan agar pemerintah Indonesia
lebih baik memperkuat diplomasi di level lokal dan internasional untuk membendung
isu-isu Papua.
Dia juga meminta pemerintah fokus pada
penyelesaian masalah di Papua seperti marginalisasi, infrastruktur,
pemberdayaan ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan rendahnya tingkatnya
partisipasi masyarakat, integrasi sosial-budaya.
"Kekerasan politik secara luas
yang belum benar-benar diatasi dan pelanggaran hak asasi manusia seperti di
Nduga, Wamena, Intan Jaya, dan masih banyak lagi yang perlu menjadi fokus
pemerintah jika ingin stabilitas sosial di Papua terjaga," ujarnya.
Selain itu, dia menilai
pendekatan dialog tetap harus dilakukan pemerintah meskipun saat ini tidak ada
pendekatan baru untuk menciptakan perdamaian di Papua.
Willem mencontohkan keberhasilan
pemerintah dalam menyelesaikan persoalan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan
mengedepankan dialog. Namun dia mengingatkan, dialog tersebut tetap harus dalam
kerangka prinsip kesetaraan dan mengurangi ego masing-masing pihak demi
terwujudnya kedamaian di Bumi Cenderawasih. [qnt]