WahanaNews.co |
Kementerian Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) tengah berupaya menyelesaikan persoalan krisis finansial di PT
Garuda Indonesia Tbk (Persero).
Maskapai pelat
merah ini diketahui memiliki utang mencapai Rp 70 triliun.
Baca Juga:
Wamildan Tsani Panjaitan Dirut Baru Garuda Indonesia
Wakil Menteri
BUMN, Kartika Wirjoatmodjo, mengungkapkan, salah satu permasalahan mendasar
pada maskapai ini adalah terlalu banyak menyewa pesawat dengan harga yang
mahal.
Ia bilang,
"penyakit" Garuda Indonesia di masa lalu ini menimbulkan permasalahan
jangka panjang.
"Memang
jenis pesawat yang disewa di masa lalu itu terlalu banyak, dan sewanya
kemahalan. Ini tentunya penyakit masa lalu Garuda, di mana cost structure-nya
(struktur biaya) jauh melebihi dari maskapai-maskapai sejenis," ungkapnya,
dalam acara Business Talk di Kompas TV, Selasa (8/6/2021).
Baca Juga:
Paus Fransiskus Pilih Menu Nasi Goreng di Pesawat ke Papua Nugini
Pria yang akrab
disapa Tiko itu mengatakan, persoalan penyewaan pesawat yang membebani kinerja
perusahaan ini semakin diperparah ketika pandemi Covid-19.
Pandemi, yang
sudah berlangsung lebih dari setahun, membuat penerbangan penumpang anjlok,
sehingga semakin membawa Garuda Indonesia ke kondisi krisis keuangan.
Penundaan
pembayaran kewajiban pun sudah berlangsung sepanjang masa pandemi ini, baik ke
pihak swasta, terutama perusahaan penyewa pesawat atau lessor, maupun ke
BUMN lainnya, seperti Angkasa Pura dan Pertamina.
"Tentunya,
dengan kondisi Covid-19, pendapatan (Garuda Indonesia) menurun, dan kondisi ini
sudah berjalan setahun lebih. Oleh karena itu, memang selama ini yang dilakukan
adalah penundaan pembayaran. Jadi, sebenarnya, kalau kami mau jujur, dari dulu
sudah banyak yang enggak dibayar kewajibannya," imbuh dia.
Beberapa waktu
belakangan, kondisi Garuda Indonesia memang semakin memburuk, lantaran lessor
yang ditunda pembayarannya akhirnya menarik pesawat.
Sehingga, tak
aneh jika sempat beredar di media sosial tentang perubahan call sign di
pesawat Garuda Indonesia, dari PK (Indonesia) menjadi VQ (Bermuda).
Ia
mengungkapkan, saat ini memang sudah banyak pesawat Garuda Indonesia yang di-grounded
oleh para lessor dan tidak bisa lagi dipakai.
Sehingga, saat
ini maskapai pelat merah tersebut beroperasi dengan jumlah pesawat yang
minimum.
"Jadi, lessor
ini punya hak buat grounded pesawat yang tidak dibayar kewajiban leasing-nya.
Saat ini, sudah banyak pesawat yang di-grounded oleh lessor-lessor
ini, sehingga saat ini Garuda beroperasi minimum dengan 50 pesawat,"
ungkapnya.
Kondisi kritis
tersebut membuat Kementerian BUMN memutuskan mengambil tindakan drastis dengan
melakukan restrukturisasi utang secara dalam.
Sebab, jika
tidak, Garuda Indonesia akan berhenti beroperasi karena arus kas (cash flow)
yang sangat terbatas, bahkan minus setiap bulannya.
Berdasarkan
data Kementerian BUMN, beban biaya Garuda Indonesia mencapai 150 juta dollar AS
per bulan, namun pendapatan yang dimiliki hanya 50 juta dollar AS.
Artinya,
perusahaan merugi 100 juta dollar AS atau sekitar Rp 1,43 triliun (kurs Rp
14.300 per dollar AS) setiap bulannya.
"Jadi,
sekarang kami sedang lakukan kajian-kajian, dan melibatkan para adviser,
bagaimana tindakan-tindakan yang bisa kami lakukan bersama kreditur dan lessor,"
kata Tiko.
Sebelumnya,
Menteri BUMN, Erick Thohir, mengatakan, selain memang terpengaruh pandemi
Covid-19, persoalan lain dari krisis keuangan Garuda Indonesia adalah terkait lessor.
Saat ini,
maskapai bekerjasama dengan 36 lessor, yang sebagian di antaranya
terlibat kasus korupsi dengan manajemen lama.
"Sejak
awal, kami di Kementerian (BUMN) meyakini, bahwa memang salah satu masalah
terbesar di Garuda mengenai lessor. Lessor ini harus kami petakan
ulang, mana saja yang masuk kategori dan bekerjasama di kasus yang sudah
dibuktikan koruptif," ujar Erick, dalam rapat dengan Komisi VI DPR RI,
Kamis (3/6/2021).
Menurut Tiko,
pemetaan diperlukan untuk mengetahui lessor yang bertindak nakal, guna
dilakukan negosiasi yang tepat.
Di sisi lain,
Erick meyakini, sejumlah lessor juga telah bekerjasama dengan jujur.
Kendati
demikian, harga penyewaan pesawat yang dipatok oleh lessor yang
sekalipun tidak terlibat korupsi, menurut Erick, terasa tetap mahal di kondisi
saat ini.
Sehingga,
negosiasi pada tipe lessor ini juga sangat diperlukan.
"Kami juga
mesti jujur, ada lessor yang tidak ikutan dengan kasus itu, tetapi pada
hari ini kemahalan karena ya kondisi. Itu yang kami juga harus negosiasi ulang.
Nah, beban terberat saya rasa itu," ucapnya. [qnt]