WAHANANEWS.CO, Jakarta - Fenomena pengibaran bendera bajak laut dari serial One Piece menjelang peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-80 menarik perhatian publik dan menuai tanggapan beragam, dari ekspresi kreativitas hingga tuduhan makar yang disuarakan sejumlah elite politik.
Sosiolog Universitas Airlangga, Bagong Suyanto, menilai maraknya pengibaran bendera tersebut sebagai bentuk protes simbolik masyarakat terhadap situasi sosial dan politik yang tengah berkembang.
Baca Juga:
DPRD Sahkan 3 Perda, Ini Harapan Bupati Pakpak Bharat
Dalam wawancara pada Sabtu (2/8/2025), Bagong mengingatkan agar pemerintah tidak langsung bereaksi secara represif dan melabeli aksi tersebut sebagai makar.
“Tentu pemerintah tidak perlu reaktif, perlu direspon juga protes itu,” kata Bagong.
Menurutnya, masyarakat Indonesia saat ini semakin kritis terhadap jalannya pemerintahan dan memiliki kecenderungan menyampaikan ekspresi sosial melalui simbol populer yang mudah diterima generasi muda.
Baca Juga:
PPATK Blokir Rekening, Ini Kata Hinca Pandjaitan
Ia menilai bahwa respons terbaik dari pemerintah seharusnya dilakukan dengan pendekatan empatik, bukan perang narasi atau konfrontasi terbuka.
“Bukan perang narasi, tapi diskusi yang objektif,” lanjutnya.
Meski demikian, Bagong juga menegaskan bahwa penyampaian kritik tetap harus mempertimbangkan konteks sosial dan nilai-nilai nasional, termasuk penghormatan terhadap perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia.
“Ada batas-batas yang perlu dipahami bagi para pemrotes, HUT kemerdekaan bagaimanapun harus dihargai dan jangan didegradasi,” ujarnya.
Sebelumnya, ramai video di media sosial yang menunjukkan bendera bajak laut milik karakter Monkey D. Luffy dari serial manga One Piece, yang dikenal dengan sebutan Jolly Roger, dikibarkan di belakang truk-truk besar dan kendaraan lain menjelang 17 Agustus.
Aksi ini menuai reaksi keras dari berbagai kalangan, sebagian menilainya sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah, sementara yang lain menganggapnya sekadar bentuk ekspresi kreatif anak muda dalam menyambut kemerdekaan.
Namun, tidak semua pihak menanggapi secara lentur.
Anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, Firman Soebagyo, bahkan menganggap pengibaran simbol bajak laut tersebut sebagai tindakan makar.
“Oleh karena itu, bagian daripada makar mungkin malah itu, nah ini enggak boleh, ini harus ditindak tegas,” kata Firman di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (31/7/2025).
Kontroversi ini menunjukkan betapa kuatnya simbol budaya pop dapat menjadi alat ekspresi sosial dan politik, terutama di tengah keterbatasan ruang dialog antara masyarakat dan negara.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]