WahanaNews.co | Wakil
Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW) menolak keras wacana pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) untuk sembako maupun sekolah atau jasa pendidikan.
Baca Juga:
Mantan Bupati Langkat, Terbit Rencana Peranginan Angin Dinyatakan Bebas
Rencana PPN pendidikan itu tertuang dalam draf Rancangan
Undang-undang Revisi UU No 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan.
HNW mengatakan, kebijakan tersebut berdampak negatif kepada
masyarakat kelas menengah ke bawah yang tengah dihantam pandemi COVID-19.
Selain itu, kebijakan ini tidak mencerminkan pelaksanaan sila kedua dari
Pancasila.
"Mereka, masyarakat menengah ke bawah, mayoritas rakyat
Indonesia yang terhubung dengan sekolah dan sembako justru dikenakan
pertambahan pajak," kata HNW di acara Halal Bi Halal Nasional Ikatan Dai
Indonesia (IKADI) di Jakarta, Jumat (11/6).
Baca Juga:
Renja Optimalisasi Peran DPRD Kota Depok
"Sedangkan para orang kaya/konglomerat diberikan
kebijakan tax amnesty, juga pajak 0% untuk PPnBM. Kebijakan seperti itu jelas
sangat tidak adil dan tidak manusiawi, tidak sesuai dengan Pancasila pada sila
ke 2 dan ke 5," sambungnya.
HNW mengatakan, pemerintah seharusnya bukan hanya terpaku
pada pemenuhan pajak di era pandemi, tetapi berinovasi agar dapat melakukan
kewajibannya melindungi, memakmurkan dan mencerdaskan seluruh rakyat Indonesia.
"Karena pandemi COVID-19 mengakibatkan daya beli dan
daya bayar rakyat menurun drastis. Mestinya pemerintah membantu rakyat, jangan
malah membebani dengan pajak-pajak yang tidak adil itu," lanjutnya.
Atas dasar itu, HNW menolak apabila pengenaan PPN ini
menyasar kepada jasa pendidikan swasta baik formal, non formal maupun informal.
Ia menuturkan seharusnya kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat baik individu
maupun organisasi seperti Muhammadiyah, NU dan lainnya, dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa diberikan insentif, bukan justru dibebani dengan
dikenakan pajak.
"Seharusnya pemerintah berterimakasih, dan melindungi
atau membantu pihak swasta/non pemerintah yang menjadi penyelenggara jasa
pendidikan karena telah membantu pemerintah memenuhi hak setiap warga negara
untuk memperoleh pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UUD NRI
1945," ucapnya.
Wakil Ketua Majelis Syuro PKS ini menilai wacana pengenaan
pajak seperti ini bisa menambah beban, sangat memberatkan lembaga pendidikan
swasta baik pendidikan umum maupun keagamaan seperti madrasah hingga pesantren,
yang masuk pada kategori pendidikan formal, informal maupun non formal.
Karena sektor pendidikan swasta itu juga sangat terdampak
akibat pandemi COVID-19. Bila merujuk kepada Peraturan Menteri Keuangan Nomor
223/PMK.011/2014 tentang Kriteria Jasa Pendidikan yang Tidak Dikenai Pajak
Pertambahan Nilai, mencakup juga pendidikan formal, non formal dan informal,
karenanya termasuk lembaga pendidikan keagamaan.
Ketentuan tersebut, kata HNW, akan ikut terimbas apabila
aturan rujukannya diubah melalui revisi UU KUP yang didorong oleh pemerintah,
menjadi pihak-pihak yang termasuk dalam kategori dihapus dari ketentuan tidak
terkena pajak.
"Muhammadiyah, NU dan lain-lain sudah sangat lama dan
sangat banyak membantu pemerintah melaksanakan kewajiban pendidikan nasional,
baik umum maupun keagamaan. Pada saat mereka kesusahan akibat COVID-19 mestinya
kalau pun pemerintah tidak bisa membantu, ya jangan menambah kesulitan mereka
dengan memberlakukan pajak kepada mereka," kata dia.
"Selain itu membebani dari sisi keuangan, juga bisa
mengubah paradigma pendidikan sebagai investasi untuk peningkatan SDM
Indonesia, menjadi komoditas material objek pajak," lanjutnya.
HNW berharap agar Menkeu Sri Mulyani dalam rangka memenuhi target-target
penerimaan negara dari pajak, agar berlaku adil dan profesional dengan
memperhatikan kondisi keseluruhan rakyat Indonesia.
Karenanya, kata HNW, penting bagi Sri Mulyani mengkoreksi
atau mencabut rancangan revisi RUU Perpajakan yang akan mengenakan pajak
terhadap sembako dan lembaga pendidikan.
"Dan DPR agar benar-benar mendengarkan aspirasi publik,
menghadirkan keadilan dengan dan memastikan bahwa tidak ada revisi UU
perpajakan yang tidak adil yang justru menambahi beban rakyat, seperti draft
revisi RUU Perpajakan yang bocor dan beredar luas itu," pungkasnya.[dhn]