WahanaNews.co | Komisi Nasional Hak Asasi (Komnas HAM) mengungkapkan alasan Devi Athok, ayah kandung korban meninggal tragedi Kanjuruhan, Natasya dan Nayla membatalkan persetujuan untuk autopsi.
Komisioner Komnas HAM Choirul Anam menyebut Devi mengubah keputusan itu setelah didatangi aparat kepolisian beberapa kali.
Baca Juga:
Ingat Suporter Mengerang di Kanjuruhan, Panpel Arema FC Menangis
Namun, Anam menegaskan bahwa Athok tidak merasa terintimidasi atas itu, melainkan khawatir karena masih dalam keadaan trauma. Selain itu, dia juga khawatir karena tidak ada pendamping di sisinya saat ditemui aparat.
"Kita tanya sebenarnya, apakah Pak Athok mendapatkan intimidasi? Enggak intimidasi. Bahwa dia khawatir, banyak polisi yang datang iya," kata Anam dalam keterangan videonya, Jumat (21/10).
"Bahwa dia khawatir, akhirnya juga trauma. Karena punya trauma kejadian Kanjuruhan, khawatir terus dia juga merasa ketakutan. Karena memang apa ketakutan dan kekhawatiran ini terjadi, karena memang tidak ada pendampingnya," imbuhnya.
Baca Juga:
Sidang Kanjuruhan, Ahli: Gas Air Mata Tak Bisa Dideteksi di Jenazah
Anam menjelaskan Athok sejak awal bersikukuh meminta dilakukan autopsi. Dia ingin mengetahui penyebab pasti meninggalnya kedua anaknya.
"Apalagi melihat kondisi jenazahnya, wajahnya menghitam ininya (bagian dada) menghitam. Itu yang ingin dia tahu makanya beliau bersemangat untuk melakukan autopsi," ujar Anam.
Autopsi dijadwalkan kemarin, Kamis (21/10). Namun, pada 11 Oktober rumah Athik didatangi empat orang dari Polres Kepanjen sekitar pukul 11.00 WIB.
Kedatangan itu diketahui sehari setelah Athok membuat surat pernyataan meminta autopsi didepan kuasa hukumnya. Namun surat itu diakuinya baru berupa draf dan masih membutuhkan tandatangan dari kepala desanya sebagai saksi.
"Pak Athok juga kaget. Dia merasa bahwa itu masih draf kok ini sudah kemana-mana. Itu masih draft hanya difoto penasehat hukum dan aslinya masih dibawa dia dan dia ingin minta tanda tangan Pak Kades dan kita konfirmasi kepada Pak Kades memang demikian yang terjadi. Dia ingin minta agar Pak Kadesnya mengetahuinya," ujarnya.
Kemudian, pada 12 Oktober, empat orang polisi dari Polres Kepanjen kembali mendatang rumahnya untuk menanyakan proses autopsi yang rencananya digelar pada tanggal 20 Oktober.
Namun, kata Anam, pada tanggal 11 dan 12 Oktober saat polisi datang, posisi Athok tanpa pendamping atau kuasa hukumnya.
"Dia coba menghubungi teman-temannya, pendamping-pendamping dan lain sebagainya itu tidak ada yang bisa menemani dia di saat itu. Sehingga dia juga semakin khawatir," ucap dia.
"Ini kok ada polisi datang, pendampingnya, kuasa hukumnya ketika dihubungi memang tidak bisa hadir dengan berbagai alasannya di saat kepolisian datang," imbuhnya.
Pada 12 Oktober itu, Athok menandatangi surat persetujuan autopsi anaknya. Akan tetapi, pada tanggal 17 Oktober sebanyak 17 orang polisi dari Polda Jawa Timur kembali mendatanginya masih terkait proses autopsi.
Kedatangan polisi bersama camat dan kepala desa. Namun, kata Anam, Athok masih tidak ditemani pendamping.
"Di situ juga begitu. Dia hubungi pendamping dan lain sebagainya juga tidak ada secara langsung, tidak datang ke situ, dia juga khawatir di soal itu," tuturnya.
Anam menyebut akhirnya Athok bersama keluarganya menggelar rapat mengambil keputusan pada tanggal 17 Oktober. Hasilnya, mereka menolak dilakukan autopsi.
Anam menilai bahwa autopsi harusnya bisa dilakukan jika Athok didampingi, sehingga tidak membuat keluarga korban khawatir.
"Kita tegaskan kalau seandainya ada pendamping, apakah ketika polisi datang berapa pun jumlah polisinya itu membuat dia khawatir enggak? Enggak. Jadi problemnya ini soal bagaimana membuat pak Athok nyaman," katanya.
"Kondisi keluarga yang sedang trauma, sedang berduka yang sangat mendalam, terus didatangi polisi yang mengagetkan dia. Ya itu yang membuat dia khawatir. Seandainya ada pendamping katanya dia, ya itu kekhawatiran itu enggak akan ada, tapi itu tidak pernah terjadi," imbuhnya.
Diketahui, 134 orang meninggal dunia dan lebih dari 500 orang luka-luka dalam tragedi itu.
Dalam kasus ini, polisi telah menetapkan enam orang sebagai tersangka. Mereka adalah Direktur Utama PT LIB Ahkmad Hadian Lukita, Ketua Panpel Arema FC Abdul Haris, dan Security Officer Suko Sutrisno.
Kemudian tiga tersangka lain, yaitu Kabag Ops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto, Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi, serta Komandan Kompi Brimob Polda Jawa Timur AKP Hasdarman. [afs]