Kekerasan
dan Terorisme, Ancaman Serius Kemanusiaan
Baca Juga:
Banjir Landa Kota Binjai, Sejumlah TPS Ditunda Untuk Melakukan Pemungutan Suara
Sleman Wahana News, Tindakan kekerasan dan terorisme yang berawal
dari sikap intoleran merupakan ancaman serius bagi kemanusiaan, terlepas dari
motof apapun yang dilakukan. Penyertaan itu disampaikan Tenaga Ahli Utama
Kantor Staf Presiden Abd Rohim Ghazali saat menjadi narasumber Pelatihan
Pengawas Sekolah Program Memperkuat Peran Auditor dan Pengawas Sekolah dalam
Mempromosikan Toleransi dan Mulikulturalisme yang dilaksanakan MAARIF Institute
bekerja sama dengan Inspektorat III Itjen Kemendukbud RI, 25-27 Maret 2019 di
Sleman, Yogyakarta.
Abd Rohim
Ghazali yang juga pengurus MAARIF Institute mengilustrasikan beberapa contoh
kekerasan dan teror yang terjadi di berbagai tempat, seperti yang terjadi
baru-baru ini di Kota Christchurch, Selandia Baru, yang menewaskan 50 orang,
juga penembakan brutal di dalam Trem di kota Utrecht, Belanda, yang memakan
tiga korban jiwa.
"Kedua aksi
teror ini membuktikan bahwa kebencian bukan monopoli satu agama atau ideologi
tertentu. Di Indonesia, aksi teror kerap dikaitkan dengan Islam karena faktor
motif dan agama pelakunya. Padahal di samping faktor agama/ideologi, ada
tindakan kekerasan serupa teror dengan motif lain," kata Rohim.
Baca Juga:
Aktivis Alumni Mahasiswa Jakarta Raya Dukung Al Haris - Sani di Pilgub Jambi 2024
Motif lain yang
dimaksudnya misalnya kepentingan politik seperti yang dilakukan Kelompok
Kriminal Bersenjata (KKB) di Nduga, Papua, atau karena kebencian terhadap
mazhab tertentu seperti pernah terjadi di Cikeusik, Pandeglang, Banten; di
Sampang, Madura, Jawa Timur; dan di Mataram, Nusa Tenggara Barat.
"Selain itu
bahkan ada juga kekerasan yang dipicu karena fanatisme supporter sepak bola
seperti menimpa Haringga Sirla (supporter Persija, Jakarta) yang tewas
dikeroyok supporter Persib Bandung," jelasnya.
Rohim
menekankan, berbagai peristiwa di atas memberi pelajaran penting bahwa dengan
motif apa pun, tindakan teror dan kekerasan selalu menimbulkan dampak yang
sangat buruk dan menjadi ancaman paling serius bagi kemanusiaan.
"Oleh karena
itu, mempromosikan toleransi dan multikulturalisme menjadi sangat urgen untuk
memperkuat ikatan persaudaraan dan kebangsaan kita. Dari mana memulainya? Dari
bangku sekolah. Pendidikan di sekolah harus dijadikan sarana untuk
mempromosikan toleransi sekaligus menghalau intoleransi dan kebencian,"
tandasnya.
Intoleransi
Merusak Kebhinekaan
Pada acara yang
sama, pendiri MAARIF Institute Prof Dr Ahmad Syafii Maarif mengatakan bahwa
virus intoleransi yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat bisa merusak
kebinekaan.
Virus ini, kata
Buya - sapaan akrab Ahmad Syafii Maarif - bisa merasuk ke semua lini, termasuk di
sekolah-sekolah. "Untuk menangkal intoleransi di sekolah-sekolah, peran para
pendidik dan pengawas sangat menentukan," kata pria yang dianggap sebagai 'guru
bangsa' ini.
Karena itulah
Buya meminta para guru atau pendidik untuk menggencarkan penanaman pendidikan
multikulturalisme untuk menangkal bibit-bibit virus intoleransi. Virus
intoleransi berpotensi menjangkiti para siswa di sekolah.
"Pendidikan
multikulturalisme semakin penting dalam era ini, tekankan terus agar tidak
mengkhianati sumpah pemuda karena virus intoleransi itu muncul karena mungkin
ada rantai pendidikan yang terputus," kata Buya yang juga mantan Ketua
Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Buya berharap,
untuk menangkal intoleransi pada generasi muda, pelajaran agama tidak hanya
memenuhi ranah kognitif atau pengetahuan. Pelajaran agama harus lebih efektif
menyentuh moral, etika, dan rasa, tetapi tidak perlu sampai mengubah kurikulum.
"Pelajaran agama lebih ke efektif, moral, etika, dan rasa. Tapi, memang
selama ini mungkin kering, otak diisi, tetapi hati dibiarkan telantar,"
tandasnya.
Menurut Buya,
perlahan namun pasti virus intoleransi yang masih ada hingga saat ini
berpotensi memisahkan nilai-nilai Kebhinekaan dari Bangsa Indonesia. Kendati
demikian, ia menyakini virus intoleransi itu masih bisa diantisipasi dan
diatasi. "Contoh kecilnya, kalau ada seorang murid di sekolah itu sudah
merasa tidak nyaman bersama dengan murid lain yang berbeda agama
dengannya," kata anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila
(BPIP) ini.
Tinjau
Kurikulum
Di acara yang
sama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof Dr Muhadjir Effendy mengusulkan
agar kurikulum pendidikan agama di sekolah-sekolah ditinjau secara radikal.
Untuk merealisasikan usulannya, Muhadjir mengaku telah berkoordinasi dengan
Kementerian Agama
Muhadjir
menilai pendidikan agama yang diberikan di sekolah saat ini orientasinya
terlalu serba pengetahuan dan yang menjadi kontennya pun sangat determenistik.
"Maksudnya sangat deterministik itu bahwa dalam pendidikan agama itu isinya
pokoknya agama yang dianut anak didik itu yang paling benar, yang lainnya tidak
benar," ujar dia.
Pengetahuan
pendidikan agama yang deterministik itu yang menurut Muhadjir menjadi salah
satu penyebab sempitnya pemahaman agama. Dan karena dibentuk sejak dini, lambat
laun mengubah orang menjadi berpandangan radikal.
Muhadjir
menuturkan jika ingin memasukkan konten semangat toleransi pada anak didik,
materi pemahaman agama harus bisa memberi gambaran utuh. Misalnya jika si anak
mendapat materi bahwa agamanya paling benar, dalam saat bersamaan harus
diyakinkan pula jika ada orang lain yang berpandangan agamanya paling benar
juga. Dengan demikian akan tumbuh rasa saling memahami antara pemeluk agama
yang satu dengan yang lainnya.
"Tapi yang
tertanam di kesadaran anak-anak didik sekarang hanya satu sisi, bahwa agama
yang dianutnya paling benar dan lainnya salah," ujarnya. Ruang kesadaran
anak pun terbentuk secara dominan menyalahkan orang lain dan membenarkan
dirinya sendiri.
Perubahan
persepektif yang berimbang dalam pendidikan agama ini, menurut Muhadjir, harus
mulai disuarakan lebih gencar. "Kita harus berani telanjang membuka diri
bagaiamana pendidikan agama yang ada di sekolah, tidak hanya lembaga formal
tapi juga non-formal."
Muhadjir
mengakui persoalan di Indonesia saat ini bukan hanya toleransi antar umat
beragama, tapi juga toleransi internal umat beragama. Masing-masing kelompok,
kata dia, melalui lembaga pendidikan berusaha meyakinkan apa yang diajarkan
kelompok itu paling benar.
Muhadjir
menuturkan pendidikan agama ini sebenarnya bukan menjadi ranah yang ditangani
kementeriannya, melainkan kewenangan Kementerian Agama. Namun, seringkali jika
ada peristiwa radikalisme atau intoleransi di sekolah yang kena getah pihaknya.
Karena dalam undang-undang yang bertanggungjawab atas peristiwa di sekolah
tetap kementerian pendidikan. (Whn1)