WahanaNews.co | Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Antonius Benny Susetyo, menyatakan bahwa Artificial Intelligence (AI) dapat menjadi alat manipulasi suara rakyat di negara demokrasi, jika tidak diantisipasi.
Hal ini dia sampaikan secara virtual pada acara Talk Show bertema "Literasi dan Mitigasi Digital Antisipasi Artifisial Inteligent" yang diselenggarakan oleh Forum Doktor Komunikasi Universitas Sahid Jakarta dalam rangka Open House Universitas Sahid Tahun 2023, Jumat (11/08/2023).
Baca Juga:
Bolehkan Anggota Paskibraka Pakai Jilbab saat Upacara, Kepala BPIP Minta Maaf
Acara ini dihadiri oleh ahli-ahli bidang komunikasi dan juga jajaran serta alumni dari bidang komunikasi Universitas Sahid, seperti Burhan Bungin Ketua Umum Indonesia Qualitative Researcher Association (IQRA), Ketua Certified Indonesian Social Sciences Researcher Association (CISSRA).
Dan Deklarator Asosiasi Dosen Metodologi Penelitian Indonesia (ADMPI), Kholil, Rektor Universitas Sahid, Ayub Muktiono, Rektor Universitas Krisnadwipayana, dan Marlinda Irwanti, Direktur Pascasarjana Universitas Sahid.
Sementara Burhan Bungin Ketua Umum Indonesia Qualitative Researcher Association (IQRA) menyatakan bahwa konsep AI ini bukanlah konsep baru.
Baca Juga:
BPIP Akhirnya Izinkan Paskibraka Berjilbab, Ikut Instruksi Kasetpres Heru Budi
"Hal ini sudah saya bicarakan sejak 23 tahun yang lalu. AI adalah hasil dari perkembangan teknologi yang sudah bisa diprediksikan. AI adalah konsekuensi dari perkembangan teknologi yang diciptakan manusia," tegasnya.
Dia pun menyorot pada rekam jejak manusia di dunia digital.
"Rekam jejak kita tercatat permanen, dan AI bisa menggunakan hal tersebut. Namun perlu saya katakan, kecerdasan ini jangan mengalahkan manusia, karena ini buatan manusia," jelasnya.
Kembali ke Benny, sapaan akrab dari Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP tersebut, menyatakan bahwa AI, yang merupakan buatan manusia, tidak boleh menjadi 'tuan' dari manusia.
"Seyogyanya, AI itu teknologi, itu alat dan sarana. Tetapi saat manusia tunduk kepadanya, kita akan menjadi alat mereka, kita dijajah teknologi dan menjadi manusia satu dimensi," tuturnya.
"Yang mengerikan adalah, AI digunakan untuk menyetir manusia, memanipulasi kemampuan manusia, agar mencapai tujuan dari pemilik dan pengatur AI tersebut," lanjutnya.
Pakar Komunikasi Politik ini memberikan warning terkait penggunaan AI di tengah masa kampanye yang sedang dilalui Indonesia, menjelang tahun politik 2024.
"Kepentingan kapital yang menguasai modal untuk menghasilkan AI dapat menggunakannya (AI) untuk menggiring perspektif masyarakat. AI bisa membaca kekuatan media sosial, membajak polling, survei, mendikte manusia untuk memiliki kesadaran palsu. Terlebih lagi, tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengatur AI dan penggunaan AI di Indonesia," katanya lagi.
"Harusnya, ada etika dalam AI, tapi AI adalah buatan manusia, tidak punya hati nurani. Semua tergantung operatornya, kalau kemudian manusia operator ini tidak menghiraukan hati nuraninya, ini yang menjadi masalah," sebutnya.
Ia juga menyampaikan imaginasi palsu bisa dibangun dengan mudahnya, dan membuat berita-berita yang kredibel pun menjadi abu-abu.
"Konten-konten yang AI buat bisa menyetir manusia, tergantung dari si pemilik kapital AI tersebut. Nilai demokrasi menjadi rusak dan berubah menjadi oligarki, negara dikuasai oleh pemilik modal."
Di akhir sambutannya, dia pun menyampaikan pesan terkait AI di Indonesia.
"Jangan remehkan, AI memang buatan manusia, maka tergantung manusia penggunaannya. Kecerdasan buatan ini, jika digunakan tanpa hati nurani manusia, akan mengendalikan dan merusak tatanan nilai masyarakat. Yang bahayanya dalam pemilu adalah AI dapat mengendalikan keputusan politik, calon yang dikontrol kapital akan menang dan semuanya menjadi milik kaum kapitalis. Itu yang harus diwaspadai. Universitas harus sadar hal itu, negara harus sadar bahwa perlu adanya regulasi sebelum semua terlambat," tutupnya.
[Redaktur: Zahara Sitio]