WahanaNews.co | Peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Henti Hendalastuti Rachmat (45), mengaku pernah koma selama empat hari karena berupaya menyelamatkan tanaman langka dari kepunahan.
Hal itu terjadi saat timnya melakukan ekspedisi kedua ke Pulau Mursala, di seberang Pulau Sibolga, Sumatera Utara, pada 2015-2016. Perjalanan ilmiah ini dilakukan untuk mencari sampel pohon keruing yang terancam punah.
Baca Juga:
Mengungkap Rahasia Alam: Gempa Bumi Ternyata Kunci Pembentukan Bongkahan Emas
Pohon keruing atau dipterocarpus cinereus ditetapkan sebagai Extinct in the Wild atau punah di alam liar oleh International Union for Conservation of Nature's Species Survival Commision (IUCN-SSC) pada 1998.
Setelah diketahui keberadaan dan jumlah populasi serta kegiatan konservasinya, status pohon tersebut kemudian direvisi menjadi Critically Endangered (CR) atau status spesies tanaman yang terancam kritis pada tahun 2019.
Para peneliti tahu keberadaan pohon itu di Sibolga dari rekan-rekan peneliti eks Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Maka digelarlah ekspedisi awal pada 2013.
Baca Juga:
Penelitian Ungkap Generasi X dan Milenial Berisiko Tinggi Alami Kanker
Dari perjalanan pertama ini pihaknya membawa 20 anakan pohon keruing. Setelah dilakukan konservasi, hanya tiga sampel yang bertahan hidup.
"Sehingga kami melakukan ekspedisi kedua pada sekitar tahun 2015, dan bisa membawa lebih banyak anakan," ucap eks peneliti di Litbang Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tersebut, dikutip dari situs BRIN melansir CNNIndonesia.
Pada ekspedisi kedua, empat peneliti menjangkau pulau yang dihuni oleh 15 Kepala Keluarga (KK) itu dengan speedboat. Mereka kemudian tinggal di rumah penduduk yang merupakan Suku Nias itu. Tak ada sinyal seluler maupun listrik selain dari genset.
Selama penelitian di lokasi ini, dirinya pun terkena malaria hingga koma berhari-hari.
"Dari empat orang tim peneliti yang ikut, dua orang terkena malaria dan sempat koma empat hari," ungkap Henti, peneliti yang fokus di aspek silvikultur, konservasi tumbuhan, dan keragaman genetik itu.
Dari hasil ekspedisi kedua itu, pohon keruing yang masuk dalam jenis meranti memiliki keunggulan dari kayunya yang sangat keras dan bisa hidup hingga ratusan tahun. Banyak yang dipakai untuk kusen rumah. Sejumlah warga lokal pun menjual kayu-kayunya ke pengepul.
"Memang pertumbuhannya lama, 30 tahun baru bisa menjadi pohon besar. Sampel yang kami ambil saja yang kami konservasi sejak 2013 pohonnya sekarang tingginya baru 2,5 meter. Karena rata-rata pertumbuhanya di alam itu hanya 0,7 cm per tahun," urai dia, yang juga peraih gelar Doktor dari Ehime University, Japan, itu.
Temuan yang terpenting, lanjut Henti, adalah nilai ekosistem pohon ini. Bahwa, pohon keruing yang besar di hutan menjadi habitat bagi flora dan fauna di alam.
"Indukan pohon keruing sudah sedikit, kita berupaya memperbanyak, dan bisa reintroduksi kembali ke pulau tersebut. Karena di sana antropologic trap-nya juga tinggi," ujar dia.
"Sisi-sisinya sudah dibuka jadi kebun yang tadinya ada pohon [jadi] tidak ada, tinggal yang curam dan orang susah ambil," imbuh Henti.
Dalam melakukan pengambilan sampel keruing itu, Henti melakukannya dengan hati-hati agar tidak merusak ekosistem dan regenerasi pohon tersebut di alam liar.
Beberapa ketentuan pengambilan sampel itu di antaranya tidak membawa lebih dari 20 persen dari populasi anakan pohon, anakan pohon yang diambil juga berukuran tinggi sekitar 20 cm.
"Semakin kecil semakin bagus adaptasinya, untuk mencegah aklimatisasi atau pengkondisian," imbuh dia.
Meranti-merantian
Tak cuma pohon keruing, Henti mengaku banyak melakukan penelitian keanekaragaman hayati di hutan-hutan di Indonesia dengan fokus pada kelompok Dipterokarpa atau meranti-merantian.
Penelitian itu dilakukan antara lain di Taman nasional Bukit Tiga Puluh, Taman Nasional Tesso Nilo, Bukit Rimbang Bukit Baring, Ampang Delapan, Tasik Serkap (Riau), Pulau Batam, Bintan, Lingga, Singkep, Natuna (Kepulauan Riau).
Selain itu di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Pulau Mursala, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Pulau Buru, Pulau Seram, Pulau Ambon (Maluku).
Dari hasil ekspedisi tersebut, Henti, saat masih jadi peneliti di Litbang Hutan KLHK, memiliki persemaian konservasi dengan koleksi jenis Dipterokarpa lebih dari 80 jenis.
"Tidak hanya sekedar eksplorasi juga, kami tim peneliti setelah berhasil mengkoleksi sumber daya genetik hidup pohon-pohon tersebut kemudian mengembangkan teknologi perbanyakannya sehingga kami bisa memproduksi bibitnya," lanjut dia.
Bibit-bibit itu, katanya, tersebut terbuka untuk diminta untuk ditanam dengan tujuan konservasi bagi kelompok pemerhati lingkungan, instansi pemerintah, pihak sekolah, pemerintah daerah.
Hewan yang Hanya Ada di Indonesia
Selain kelompok Dipterokarpa, pihaknya juga melakukan koleksi jenis pohon hutan asli Indonesia yang sudah langka atau terancam punah atau yang mengalami tekanan eksploitasi tinggi.
Misalnya, Taxus sumatrana (cemara sumatera), pasak bumi (Eurycoma longifolia), pelawan merah/putih (Tristaniopsis sp.), Ulin (Eusideroxylon zwageri), Klicung (Diospyros macrophylla), rambutan hutan, sonokeling (Dalbergia latifolia), rambai, Kemenyan (Styrax sp.), merpayang (Scaphium macropodum), Kulim (Scorodocarpus borneensis).
Beberapa buku yang disusun sebagai hasil dari berbagai rangkaian kegiatan penelitian yang berfokus pada jenis-jenis lokal juga ada.
"Kami menyadarkan kepada generasi muda terutama, bahwa negara kita ini indah dan kaya dan betapa kita harus benar-benar menyadari hal tersebut dan mulai menjaga kekayaan dan keindahan negara kita meskipun hanya dengan satu tindakan kecil," tutur Henti.
"Tindakan-tindakan kecil tersebut bila dikumpulkan kan akan menjadi bongkahan upaya yang cukup berarti," tandasnya.
[Redaktur: Alpredo]