WahanaNews.co, Jakarta – Terkait kampanye di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu (UU Pemilu), Advokat Gugum Ridho Putra bersama Tim Advokasi Peduli Pemilu (TAPP) mengajukan permohonan uji materiil sejumlah pasal ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Mereka ingin peserta pemilu dilarang menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) di Pemilu atau Pilpres 2024.
Baca Juga:
Berikut 10 Istilah AI yang Perlu Anda Ketahui
Pasal yang dimaksud adalah frasa "citra diri peserta pemilu" pada Pasal 1 angka 35, Pasal 274 ayat (1), Pasal 280 ayat (2), Pasal 281 ayat (1), Pasal 286 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 299 ayat (1).
Permohonan ini diajukan karena pemohon menilai sepanjang Persiapan Pemilu Tahun 2024 telah ada beberapa peristiwa hukum dan politik yang belum pernah terjadi sebelumnya.
"Pelarangan itu ditujukan untuk semua paslon, baik yang sekarang ataupun yang akan datang. Kebetulan saja yang sekarang sudah gunakan salah satu paslon. Paparan risiko misinformasi bisa dilakukan siapa saja karena itu kita uji norma UU-nya," kata Gugum Ridho, perwakilan dari TAPP, melansir dari CNN Indonesia.
Baca Juga:
Kominfo Sebut Ratusan Perusahaan Pakai Surat Edaran AI Meski Sifatnya Anjuran
Pemohon juga menyinggung syarat usia minimal yang diubah MK secara kontroversial hingga Anwar Usman yang dicopot dari jabatan Ketua MK karena melanggar kode etik.
Menurut pemohon, Pemilu 2024 menjadi momen pertama seorang anak kandung presiden maju pilpres di saat ayahnya masih menjabat. Sejumlah hal itu dinilai memunculkan risiko-risiko hukum dan politik yang terbilang baru bagi Pemilu Indonesia khususnya bagi pemilih.
Dalam berkas permohonannya, pemohon menilai penyajian citra diri peserta pemilu telah melibatkan berbagai teknologi yang belum pernah dipergunakan sebelumnya, baik itu manipulasi digital maupun AI.
Pemohon menyebut citra diri yang disempurnakan secara berlebihan itu kemudian diterapkan dan dipergunakan dalam alat peraga kampanye seperti reklame, spanduk, umbul-umbul, termasuk dalam bahan kampanye yang disebarluaskan seperti selebaran, brosur, pamplet, poster, sticker, pakaian, penutup kepala, alat minum/makan, kalender, kartu nama, pin, alat tulis dan atribut kampanye lainnya.
Pemohon mengatakan ketiadaan larangan bagi peserta pemilu untuk menggunakan citra diri berupa gambar/foto, audio, video dengan manipulasi digital atau bantuan teknologi AI yang dilakukan secara berlebihan sehingga berpotensi memanipulasi persepsi pemilih terhadap kandidat dan menggiring pemilih menggunakan hak pilihnya secara keliru (misguided voting).
"TAPP mengusulkan agar manipulasi foto, audio dan video untuk kampanye menggunakan teknologi digital ataupun AI supaya dilarang. Hal tersebut jelas bertentangan dengan asas pemilu jujur karena memunculkan keadaan misinformasi yang merugikan pemilih," ujar TAPP dalam keterangan yang diterima CNN Indonesia.
Lalu, pemohon mengatakan ketiadaan larangan bagi presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota dan wakil walikota untuk mengikuti kampanye peserta Pemilu yang merupakan anggota keluarganya.
Karenanya, TAPP mengusulkan agar larangan ikut kampanye keluarganya itu diberlakukan lantaran berpotensi membuat jabatan presiden dan ke semua jabatan tersebut dapat disalahgunakan untuk mendukung dan menguntungkan peserta pemilu yang merupakan anggota keluarganya. Hal ini dinilai bertentangan dengan asas pemilu bebas, jujur dan adil.
Lebih lanjut, pemohon juga menyinggung isu Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Menurut pemohon, ketiadaan larangan bagi presiden dan wakil presiden serta jabatan-jabatan lainnya untuk ikut serta dalam kampanye anggota keluarganya yang jadi peserta pemilu bertentangan dengan sumpah jabatan yang akan memegang teguh dan melaksanakan undang-undang selurus-lurusnya.
Terlebih Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN telah melarang penyelenggara melakukan perbuatan Nepotisme. UU tersebut memaknai nepotisme sebagai setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
Selain itu, pemohon juga menilai ketiadaan larangan bagi pihak lain di luar peserta pemilu, pelaksana kampanye dan tim kampanye untuk memberikan uang atau materi lain untuk mempengaruhi penyelenggara Pemilu dan/atau pemilih yang dilakukan secara Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM).
"Nyatanya, pengalaman kontestasi Pilkada menunjukkan pelanggaran TSM dapat terjadi dalam bentuk program-program resmi pemerintah yang diiringi kampanye terselubung," kata TAPP.
Oleh karena itu, TAPP mengusulkan agar pihak lain juga dilarang oleh UU Pemilu supaya pelanggaran TSM terselubung berupa program-program resmi pemerintah dapat ditindak, sehingga peserta pemilu yang menerima manfaat atau diuntungkan pelanggaran TSM itu juga dapat diberi sanksi pembatalan atau diskualifikasi.
[Redaktur: Alpredo Gultom]