WahanaNews.co | Andi Pangerang Peneliti Pusat Riset dan Antariksa di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkapkan bagaimana perukyat atau observer melihat hilal sebagai penentu awal puasa tahun ini.
Menurutnya, hilal adalah fenomena astronomi ketika muncul bulan sabit yang pertama setelah konjungsi atau saat bulan memasuki bulan baru. Fase bulan baru itu terjadi 29,5 hari sekali.
Baca Juga:
Pemerintah Tetapkan 1 Ramadhan Jatuh pada Selasa 12 Maret 2024
Pengamatan hilal sendiri dilakukan setelah konjungsi. Karena kondisinya fase bulan baru, maka Bulan akan terbenam lebih lambat dari pada Matahari.
"Jadi memudahkan kita memposisikan pandangan kita [melihat hilal] karena posisinya sudah barat persis," ucap Andi, melansir dari CNNIndonesia.com, Rabu (22/3).
Pengamatnya pun biasanya terlebih dahulu diambil sumpah. "Jadi setiap perukyat atau observer akan disumpah oleh Kemenag dan hakim. Mereka juga akan meminta buktinya kalau diperlukan," ujar dia.
Baca Juga:
Pemerintah Tetapkan 1 Ramadhan Jatuh pada Selasa 12 Maret 2024
Apa saja peralatannya?
Instrumen itu bisa berbentuk teleskop, monokuler, binokuler hingga teodolit yang sudah dimodifikasi untuk membidik objek langit.
"Untuk arahnya biasanya para observer membidik teleskop, monokuler, dan binokulernya ke arah Matahari terbenam. Barulah setelah Matahari terbenam kita arahkan ke posisi hilal sesuai hasil perhitungan," kata Andi.
"Karena pada dasarnya teleskop fungsinya untuk mengumpulkan cahaya yang masuk, sehingga hilal bisa berpotensi terlihat," lanjut dia.
Andi menyebut teleskop khusus pengamatan hilal biasanya punya ukuran lensa antara 25-50 cm dengan panjang hingga 50cm.
Selain itu, pengamat bisa menggunakan teodolit, sejenis alat yang mengukur sudut vertikal dan horizontal secara presisi, yang bisa dilengkapi dengan lensa.
Bagaimana teknisnya?
Pengamat, katanya, akan membidikkan teleskop, monokuler, dan binokulernya ke arah Matahari. Setelah Matahari terbenam, observer mengarahkan secara manual ke posisi hilal sesuai hasil perhitungan.
Metode lainnya yang digunakan pengamat adalah stacking atau penumpukan gambar.
"Jadi kita mengambil citra hilal dalam interval tertentu, misalkan 5 menit. Kita ambil, misalnya, 10 gambar dan kita tumpuk. Jadi citra hilal yang tipis itu kalau semakin ditumpuk akan terlihat lebih tebal," jelas Andi.
Jika jenis teleskop yang digunakan sudah bisa melacak otomatis objek, ia menyebut pengamat tinggal mengunci objek dan otomatis teleskop akan mengarah ke objek yang dituju.
Di luar metode-metode di atas, Andi mengungkap saat ini sudah banyak perangkat lunak (software) dan aplikasi yang bisa menyimulasikan posisi Matahari, seperti aplikasi Stellarium dan Skysatelit.
Menurutnya, penghitungan app itu terbilang akurat karena sebagian software sudah bisa mensimulasikan hingga posisi setengah titik busur posisi Matahari.
"Jadi kalau orang awam yang ingin melihat hilal cukup mengunduh software tersebut di toko aplikasi di smartphone. Baru kita atur tanggal dan jamnya. Itu lebih mudah dibandingkan kita harus menghitung manual," tandas Andi. [tum/cnnindonesia]