WahanaNews.co | Dalam lima tahun terakhir, makin banyak pabrikan China yang menghiasi pasar otomotif Indonesia. Pasar otomotif Indonesia memang cukup menjanjikan. Rasio kepemilikan mobil di Tanah Air pun masih terbilang rendah. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mencatat, rasio kepemilikan di Indonesia masih 99 mobil per 1.000 penduduk.
Kiprah kembalinya mobil China di Indonesia dimulai dari Wuling pada tahun 2017. Saat itu, Wuling masuk di segmen yang gemuk lewat Confero. Confero menyajikan sesuatu hal berbeda agar bisa membuat para pencinta Avanza dkk melirik. Di saat bersamaan Wuling juga mendirikan pabriknya di kawasan Delta Mas, Cikarang, Bekasi.
Baca Juga:
Studi Ungkap Alasan Konsumen Indonesia Kepincut dengan Mobil China
Menyusul Wuling, DFSK meramaikan pasar otomotif Indonesia tahun 2018. Sama halnya dengan Wuling, DFSK juga mendirikan pabrik untuk memenuhi kebutuhan domestik dan juga ekspor.
Pengamat otomotif Bebin Djuana mengungkap mendirikan pabrik merupakan salah satu jurus agar mobil China bisa dilirik. Kata Bebin, dengan mendirikan pabrik, orang akan lebih percaya sekaligus tidak merasa ragu bila terdapat permasalahan pada mobilnya.
"(Pabrik) Penting banget, sekarang kamu berani enggak beli kan kembali cerita mocin lagi. Baliknya ke citra mocin, pabriknya enggak ada siapa yang mau tanggung jawab. Kalau barangnya enggak beres, pabriknya ada," kata Bebin.
Baca Juga:
Industri Otomotif China Terus Alami Catatan Pertumbuhan
Kehadiran pabrik memang menjadi nilai plus bagi mobil China. Wuling misalnya, dalam waktu kurang dari lima tahun bisa meraih posisi 10 besar merek mobil terlaris di Indonesia. Strategi untuk bermain di ceruk yang besar tampaknya cukup berhasil.
Tapi nasib DFSK justru berbeda. Kalau Wuling sudah menembus 10 besar, DFSK justru masih tertatih-tatih di posisi belasan. Terbaru pada periode Januari-September 2022, DFSK menghuni posisi 16 penjualan wholesales dengan 1.878 unit. Sedangkan Wuling di posisi 10 besar dengan 18.588 unit.
Strategi produk DFSK memang berbeda dari Wuling. DFSK mengandalkan mobil pick-up dan SUV. Setelahnya DFSK fokus dengan model SUV lain serta mobil komersial bertenaga listrik.
"Di awal saya punya optimisme, di tengah mereka bikin kesalahan. Waktu satu batch bermasalah, dia tidak buru-buru benerin, kan tidak semua tidak bisa nanjak. Lagi-lagi masyarakat kita sebetulnya rewel enggak, dan masih banyak orang dalam di industri ini yang alergi yang namanya recall," jelas Bebin.
Adapun masalah yang dimaksud Bebin adalah kasus DFSK Glory 580 yang tidak bisa menanjak. Kala itu DFSK Glory 580 digugat ke pengadilan karena sejumlah konsumen mengeluhkan mobilnya tidak kuat nanjak.
Dalam gugatannya, tujuh orang konsumen DFSK Glory 580 meminta ganti rugi material dan immaterial mencapai Rp 8.959.000.000. Bila dirinci ganti rugi material yang dituntut konsumen total sebesar Rp 1.959.000.000. Lalu, konsumen juga menuntut ganti rugi immaterial sebesar masing-masing Rp 1.000.000.000 dengan total kerugian immaterial menjadi Rp 7.000.000.000.DFSK saat itu tidak melakukan recall lantaran bukan cacat produksi. Mobil DFSK juga sudah mendapat sertifikasi dan uji kelayakan.
PN Jakarta Selatan kemudian mengumumkan putusan pengadilan terhadap gugatan ketujuh konsumen DFSK tersebut. Dalam putusannya, PN Jakarta Selatan menolak gugatan konsumen DFSK yang menuntut karena mobilnya tidak kuat nanjak.
Putusan itu diketuk palu pada 31 Mei 2022. PN Jakarta Selatan memutuskan menolak seluruh gugatan. Tak lama setelah itu, DFSK tidak lagi menjual Glory 580. Kini DFSK mengandalkan Glory 560, Glory i-Auto, Gelora, dan pickup Supercab.
Dalam waktu dekat, akan ada satu pabrikan China yang kembali mengisi pasar otomotif Indonesia. Adalah Chery yang siap memasuki segmen premium lewat dua SUV Tiggo 7 Pro dan Tiggo 8 Pro. Chery rencananya akan membangun pabrik di Indonesia untuk memproduksi mobil di sini sekaligus kebutuhan ekspor. [afs]