WahanaNews.co | Teknologi makin berkembang dan saat ini hampir semua orang di dunia bisa melakukan apapun dalam satu genggaman saja, entah itu bekerja, belanja, mencari hiburan, bermain, dan berbagai aktivitas lainnya.
Dengan adanya handphone, saat ini semua bisa dilakukan dengan mudah.
Baca Juga:
Nekat Curi HP dalam Jok Motor, Penjual Tiket Kapal di Gunungsitoli Diringkus Polisi
Namun siapa sangka, benda yang pada sebagian orang tidak bisa lepas dari genggaman itu, bisa membuat 'kiamat' semakin dekat.
Parahnya itu terjadi dari setiap langkah keberadaan HP, dari mulai proses produksi sampai pembuangan limbah (e-waste).
Mengacu pada data Statista (2023), jumlah HP yang beredar di dunia tercatat ada 6,84 miliar, lebih banyak ketimbang seluruh penduduk dunia.
Baca Juga:
Smartphone Panas Saat Diisi Daya? Ini 4 Cara Jitu Mengatasinya!
Sedangkan di Indonesia, Menkominfo menyebut jumlah HP pada 2021 mencapai 345,3 juta, lebih banyak dibanding penduduk Indonesia yang hanya 271,35 juta.
Artinya, mengacu pada data-data tersebut, rata-rata orang memiliki lebih dari satu HP dalam sekali waktu. Hal itu berimbas pada semakin bertambahnya limbah elektronik di dunia.
Sebagai contoh saat memproduksi satu HP baru, produsen harus memanasi mesin-mesinnya di pabrik dengan bahan bakar fosil.
Lalu, saat proses perakitan untuk membentuk desain, dibutuhkan juga plastik dan bahan metal yang tidak ramah lingkungan.
Tak lupa untuk menghidupkan HP, produsen juga menciptakan baterai lithium.
Proses terakhir ini, ditulis oleh peneliti Massachusetts Institute of Technology, yang mengungkapkan berdampak besar pada lingkungan. Setiap kali ada penambangan lithium, terjadi pemborosan listrik dan air dalam skala besar.
Tentu kedua sumber daya itu, yang seharusnya dialihkan untuk hidup banyak orang, berkontribusi terhadap peningkatan emisi karbon dan nitrogen global.
Hal ini belum lagi mempersoalkan penambang-penambang, mayoritas berada di Afrika, yang dibayar mudah meski resiko kesehatannya terancam.
Lantas, apa jadinya jika ada ratusan atau ribuan HP diproduksi dalam satu waktu bersamaan? Sudah pasti dampaknya terhadap lingkungan sangat besar.
Dari rangkaian itu tak heran kalau periset Lotfi Belkhir di The Conversation menyebut proses produksi adalah penyumbang 'kiamat' terbesar dari sebuah HP dengan persentase 85%. Sisanya, tersebar saat HP digunakan dan dibuang.
Ketika HP sampai di tangan konsumen dan kita langsung bermain 10 aplikasi sosial media dalam sehari itu sama saja dengan bepergian dengan mobil sejauh 1,5 km per hari atau 534 km per tahun.
Riset terbaru dari The Burrow saat bermain TikTok, misalnya, seseorang bisa menghasilkan 2,63 gram karbon per menit.
Hal ini disebabkan karena makin lama bermain HP, makin besar pula data tersimpan di server.
Dan semua ini memberi beban besar pada pusat data yang selama 24 jam non-stop terus aktif, sehingga penggunaan listrik dan pendingin berkontribusi pada perubahan iklim.
Tak berhenti sampai disini. Masalah baru pun muncul saat tingginya intensitas manusia menggunakan HP.
Makin sering HP digunakan, risiko kerusakannya makin besar. Masalahnya, sebagaimana dipaparkan Wired, kerusakan HP dan memperbaikinya bukan lagi opsi terbaik ketika dunia memasuki era HP yang tipis dan ringan.
Sebab, desain yang seperti itu membuat perbaikannya menjadi lebih sulit.
Sekalipun nekat melakukannya, prosesnya lama dan harganya mahal. Maka, satu-satunya cara terbaik adalah "lem biru" atau "lempar beli baru."
Kebiasaan "lem biru" memang menguntungkan konsumen dan produsen, tetapi ini harus menjadi lampu kuning karena limbah HP bisa membuat hidup manusia lebih sengsara.
Dalam rilis media 2019 lalu, PBB menyebut limbah HP bersama laptop, tablet, dan komputer yang digunakan oleh manusia setiap tahunnya sejumlah 50 juta ton.
Angka ini diprediksi meningkat pada 2050 sebanyak 120 juta ton per tahun.
Wired menjelaskan kandungan mineral dan kimia pada HP sangat berbahaya ketika sebuah HP dibuang.
Saat dibuang ke tanah atau air, maka bahan kimia dan karsinogenik itu akan terlepas dan masuk ke dalam tanah, sumber air dan makanan, hingga akhirnya masuk ke dalam tubuh manusia.
Masalah semakin besar ketika mengetahui bahwa negara dan masyarakat cenderung asal-asalan saat membuang HP dan tidak ada prosedur khusus.
Mengutip The Guardian, 90% limbah HP atau elektronik pada umumnya dibuang secara ilegal. Negara-negara maju kerap mengirim puluhan kontainer ke negara di Asia hanya untuk membuang sampah HP. Pada titik inilah, negara Asia kena getahnya.
WHO pada 2021 menyebut tindakan ini sebagai "tsunami limbah elektronik yang membahayakan nyawa dan kesehatan."
Sebanyak 12,9 juta perempuan dan lebih dari 18 juta anak-anak terancam terserang penyakit berbahaya karena tercemar kandungan merkuri, nikel, dan timbal dari sampah HP.
Daur ulang HP yang dianggap solusi pun kurang memuaskan. Sebab, data menyebut hanya 17% saja dari HP yang bisa didaur ulang. Permasalahan 'kiamat' saat memakai HP salah satu yang susah diselesaikan karena benda itu sudah kadung melekat di kehidupan.
Dengan demikian, satu-satunya solusi adalah berupaya memperpanjang usia HP dan menahan diri untuk tidak membeli HP baru apabila urgensinya kecil.[eta/cnbc]