WahanaNews.co, Jakarta - Seminggu setelah hakim memutuskan Google Alphabet secara ilegal memonopoli pasar pencarian online, Departemen Kehakiman AS (DoJ) disebut mempertimbangkan opsi buat memecah raksasa teknologi yang bernilai sekitar US$2 triliun itu.
Menurut laporan dari New York Times dan Bloomberg, melansir dari CNN Indonesia, Jumat (16/8/2024) pengacara dari pihak DoJ paling sering membahas soal opsi agar Google melepaskan sistem operasi Android.
Baca Juga:
Bisa Kuras Rekening, Pengguna Gmail Wajib Waspada jika Dapat Link Ini
Para pejabat juga mempertimbangkan untuk mencoba memaksakan kemungkinan penjualan AdWords, program iklan pencarian Google, dan kemungkinan pelepasan peramban web Chrome-nya, dikutip dari The Guardian.
Pilihan lain yang dimiliki Departemen Kehakiman ialah termasuk memaksa Google untuk berbagi data dengan para pesaing dan menerapkan langkah-langkah untuk mencegah mereka memperoleh keuntungan yang tidak adil dalam produk AI, mengutip orang-orang yang mengetahui masalah tersebut.
Seorang juru bicara Departemen Kehakiman mengatakan mereka sedang mengevaluasi keputusan pengadilan dan akan menilai langkah selanjutnya yang tepat sesuai dengan arahan pengadilan dan kerangka hukum yang berlaku untuk solusi antimonopoli.
Baca Juga:
Incar Isi Rekening, Link Berbahaya di Gmail Kini Bisa Menyamar
Sang juru bicara mengaku belum ada keputusan resmi.
Di lain pihak, juru bicara Google menolak berkomentar soal laporan ini. Perusahaan berencana untuk mengajukan banding atas putusan soal monopoli tersebut.
Mereka juga menghadapi gugatan antimonopoli lain dari DoJ yang akan disidangkan bulan depan.
Sebelunya, Google minggu lalu divonis melanggar undang-undang antimonopoli, menghabiskan miliaran dolar AS untuk menciptakan monopoli ilegal dan menjadi mesin pencari default dunia.
Putusan tersebut dipandang sebagai kemenangan besar pertama bagi otoritas federal yang mengambil alih dominasi pasar teknologi besar.
Selama persidangan, terungkap bahwa Google membayar perusahaan, termasuk Apple, lebih dari US$26 miliar pada 2021 untuk tetap menjadi opsi default untuk pencarian di browser Safari.
Kata hakim, kesepakatan tersebut memungkinkan Google untuk membangun monopoli atas pencarian dan menekan persaingan secara tidak adil.
Neil Chilson, mantan kepala teknologis untuk Komisi Perdagangan Federal (FTC), mengatakan pembicaraan soal memecah Google adalah "mimpi belaka."
"Tidak ada dalam pendekatan antimonopoli Hakim Mehta yang agak standar yang menunjukkan bahwa pemecahan adalah solusi yang masuk akal. Pemecahan tidak akan mengatasi perilaku inti yang menurut pengadilan bermasalah: kontrak eksklusif untuk penempatan default," katanya.
Tak lama setelah hakim membuat keputusannya, mesin pencari pesaing Google, DuckDuckGo, mengusulkan untuk melarang perjanjian eksklusif tersebut.
Regulator antimonopoli federal juga sudah menggugat platform-platform milik Meta, Amazon.com, dan Apple dalam empat tahun terakhir, dengan mengklaim bahwa perusahaan-perusahaan tersebut secara ilegal menjalankan monopoli.
Microsoft mencapai kesepakatan dengan Departemen Kehakiman pada 2004 atas klaim bahwa mereka memaksakan penggunaan peramban web Internet Explorer pada pengguna Windows.
Alden Abbott, mantan penasihat umum untuk FTC, mengatakan bahwa divestasi berbagai bisnis Google akan menjadi "bencana", tetapi mengatakan bahwa hal itu tidak mungkin terjadi.
"Pengadilan banding dalam kasus AS v Microsoft (2001) dengan tegas menolak untuk membubarkan perusahaan tersebut, meski tindakan monopoli ilegalnya tidak ditemukan oleh pengadilan untuk menciptakan efisiensi yang menguntungkan."
"Pembubaran Google mungkin tidak akan diperintahkan [hakim]. Itu adalah hal yang menguntungkan," ucap Abbott, "Pembubaran Google akan menjadi salah satu tindakan yang paling merusak secara ekonomi dalam sejarah antimonopoli Amerika."
[Redaktur: Alpredo Gultom]