WahanaNews.co, Jakarta - Sebuah studi terbaru mengungkap Indonesia masuk dalam jajaran teratas negara dengan tingkat penurunan muka tanah yang tinggi di dunia, hanya kalah dari China yang berada di urutan pertama.
Studi yang diterbitkan di Geophysical Research Letters menyatakan 33 kota pesisir ditemukan tenggelam lima kali lebih cepat daripada kenaikan permukaan laut. Masalah ini sangat parah di beberapa bagian Asia, di mana kota-kota seperti Manila di Filipina, Karachi di Pakistan, dan Tianjin di China tenggelam 10 hingga 20 kali lebih cepat daripada kenaikan permukaan laut.
Baca Juga:
Supermoon Picu Banjir Rob di Jakarta Utara, BPBD: Lima RT dan Tiga Ruas Jalan Terdampak
Hampir setengah dari kota-kota besar di China tenggelam karena beban infrastruktur dan akibat eksploitasi air tanah.
Penelitian terbaru ini menunjukkan bahwa 45 persen dari 82 kota di China mengalami penurunan permukaan tanah lebih dari 3 milimeter setiap tahunnya, yang berpotensi berdampak pada 29 persen populasi perkotaan di negara ini. Pada tahun 2120, antara 22 persen hingga 26 persen daratan pesisir di China diperkirakan akan berada di bawah permukaan laut.
Studi tersebut menemukan sekitar 1.043 kilometer persegi daratan China mengalami penurunan tanah lebih dari 5 milimeter per tahun.
Baca Juga:
Menko Agus Harimurti: Stasiun Pompa Air Ancol Sentiong Antisipasi Banjir Rob
Indonesia berada di urutan kedua dengan tingkat penurunan serupa seluas 844 kilometer persegi. Wilayah Semarang bahkan disebut mengalami penurunan tanah mencapai 20-30 milimeter per tahun.
Iran, India, dan Pakistan berada di jajaran lima besar penurunan tanah tertinggi, dengan masing-masing mencatatkan sebesar 791, 671, dan 374 kilometer persegi yang mengalami penurunan tanah lebih dari 5 milimeter per tahun.
Mengutip laman World Economic Forum, seperti dilansir dari CNN Indonesia, Jumat (1/11/2024) penduduk kota yang tenggelam kemungkinan besar akan menghadapi masalah yang parah. Penurunan permukaan tanah dapat mengakibatkan hilangnya tanah secara signifikan, ketidakamanan air, kerusakan infrastruktur, dan pemindahan penduduk.
Di Indonesia, pemerintah telah memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Ibu Kota Nusantara di pulau Kalimantan karena kekhawatiran tersebut.
Solusi untuk penurunan muka tanah akan membutuhkan beberapa langkah, mulai dari evaluasi ulang terhadap penggunaan air dan infrastruktur, hingga upaya cerdas untuk membangun ketahanan dalam perencanaan dan desain kota.
Giant Sea Wall
Terpisah, Presiden Prabowo Subianto disebut berencana membangun tanggul laut raksasa atau giant sea wall yang membentang dari pesisir Banten hingga Jawa Timur untuk mencegah kawasan pesisir utara tenggalam.
Hal tersebut diungkapkan oleh Utusan Khusus Presiden Bidang Energi dan Lingkungan Hidup Hashim Djojohadikusumo usai melakukan pertemuan dengan Menteri Koordinator Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Hashim mengatakan proyek tanggul laut raksasa itu harus segera dimulai. Pasalnya, ada ancaman sawah-sawah di pantai utara (pantura) Pulau Jawa akan tenggelam.
"Program Pak Prabowo adalah kita bikin tanggul laut raksasa dari Banten sampai ke Jawa Timur. Program ini mungkin memakan waktu 20 tahun. Mungkin dua atau tiga presiden yang melaksanakan. Tapi harus mulai sekarang," ujar adik Prabowo itu di Kantor AHY, Kamis (31/10).
"Kalau tidak mulai sekarang, sawah-sawah di pantai utara akan tenggelam, bisa berapa juta hektare kita hilang. Ini semacam emergency, harus segera karena ini memerlukan waktu yang cukup lama," imbuh Hashim.
Prediksi Joe Biden
Pada 2021, Presiden Amerika Serikat(AS) Joe Biden, sempat melontarkan 'ramalan' RI memindahkan ibu kotanya imbas tenggelamnya Jakarta.
Hal itu disoroti saat membahas ancaman terbesar yang dihadapi Amerika, yakni perubahan iklim.
"Faktanya, jika permukaan laut naik 2,5 kaki (76,2 cm) lagi, jutaan orang akan bermigrasi dan berebut tanah yang subur," ujar Biden, dalam pidato di acara National Counterterrorism Center Liberty Crossing Intelligence Campus McLean, Virginia, 27 Juli 2021, dikutip dari situs Gedung Putih.
"Apa yang terjadi di Indonesia jika proyeksi [kenaikan air laut]-nya benar, bahwa dalam 10 tahun ke depan mereka mungkin harus memindahkan ibu kotanya karena mereka akan berada di bawah air?" lanjut dia.
Menurut lembaga antariksa AS (NASA), berdasarkan pengukuran satelit, kenaikan permukaan air laut secara global sejak 1993 hingga 2 Mei 2022 mencapai 101,2 mm (10,1 cm), atau 3,3 mm per tahun.
Kenaikan muka laut itu diperparah oleh faktor perluasan air laut saat memanas, yang juga terkait pemanasan global.
[Redaktur: Alpredo Gultom]