PERSERIKATAN Bangsa-Bangsa (PBB) akhirnya berhasil melakukan kontak pertama
dengan militer di Myanmar sejak terjadinya kudeta awal pekan ini.
Dalam
komunikasi pertama pada Jumat (5/2/2021), PBB kembali menekankan posisi
organisasi dunia itu terhadap pengambilalihan kekuasaan secara paksa oleh
militer Myanmar.
Baca Juga:
Presiden El-Sisi Antar Langsung Keberangkatan Presiden Prabowo Menuju Doha
Sejak
awal, Sekjen PBB, Antonio Guterres, lantang berjanji melakukan segala cara untuk memastikan
kudeta itu gagal.
Proses
pengambilalihan kekuasaan pemerintahan secara paksa terlebih menggunakan kekuatan
militer menjadi perhatian besar secara global.
Masalahnya,
bentrokan antara militer bersenjata dengan sipil berulang kali meninggalkan
catatan buruk penegakan hak asasi manusia di dunia.
Baca Juga:
Kunjungan Mendadak Penuh Keakraban, Presiden Prabowo dan Presiden El-Sisi Sambangi Akmil Mesir
Seperti
dalam kudeta militer di Mesir, yang terjadi di tengah protes massal menentang pemerintahan
Presiden Mohammed Morsi.
Pemberontakan
yang dipimpin Jenderal Abdul Fattah al-Sisi memunculkan pro dan kontra atas
kepemimpinannya di Mesir sejak 2014.
Pendukung
pensiunan Perwira Tinggi Militer ini menyebutnya telah memulihkan stabilitas di
negara itu.
Tetapi, para
kritikus berpendapat, ada hak asasi manusia yang harus dibayar mahal untuk
kekuasaannya.
Melansir
BBC, lebih dari 1.000 pengunjuk rasa
tewas dalam bentrokan dengan pasukan keamanan.
Sementara
puluhan ribu orang dilaporkan telah ditahan dalam tindakan keras terhadap
penentang pemerintah.
Cara
Sisi mengatasi pemberontakan oleh militan ekstremis yang berbasis di
Semenanjung Sinai juga mendapat sorotan, setelah "operasi militer"
juga banyak menimbulkan korban.
Pria yang
Tenang
Orang-orang
yang mengenal Sisi mengatakan, kepribadian publiknya yang tenang dan saleh, bercampur
kesederhanaan dan kehangatan, telah dibentuk sejak dia muda.
Sisi
lahir pada November 1954, dan dibesarkan di Gamaleya, jantung kota Islam kuno
Kairo.
Keluarga
Sisi bekerja di bazaar. Selama beberapa generasi, mereka membuat dan menjual
perabot bergaya arab.
Bisnis
mereka tampaknya mendapat respons yang baik dari konsumen. Karya kakeknya dikutip dalam gelar
doktoral dari 1940-an tentang gaya hias.
Pada
1970-an, Kementerian Kebudayaan Mesir juga memberi keluarga itu
sebuah sertifikat, yang menyebut mereka perajin Arab terbaik di Mesir.
Sisi
muda sering bekerja di toko sepulang sekolah. Dia tahu bagaimana melakukannya, bahkan
disebut ahli dalam berdagang, menurut kerabatnya, mengutip Guardian.
Dia
disebut sebagai anak yang sangat serius. Kegemarannya bermain catur dan angkat
beban.
Tapi,
dia tidak pernah bermain petak umpet dengan anak seusianya.
Keluarganya
dianggap salah satu yang terkaya di daerah itu. Meski, menurut orang sekitarnya, kekayaan
mereka tidak pernah ditunjukkan secara terang-terangan.
Mereka
dikenal sangat rendah hati oleh masyarakat sekitar.
Karier
Militer Gemilang
Tidak
seperti saudara laki-lakinya yang menjadi hakim senior atau pegawai negeri,
Sisi bersekolah di sekolah menengah yang dikelola tentara.
Setelah
lulus dari Akademi Militer Mesir pada 1977, dia bertugas di infanteri, lalu
naik ke komando divisi mekanis.
Dia
kemudian bertugas sebagai atase militer di Arab Saudi, sampai akhirnya diangkat
menjadi Kepala Intelijen Militer.
Beberapa
petinggi sudah melihat bahwa Sisi sepertinya tengah dipersiapkan menjadi
Menteri Pertahanan berikutnya.
Pada
2005-2006, dia sempat dikirim ke perguruan tinggi perang tentara Amerika
Serikat (AS) di Pennsylvania.
Di
sana, naluri politiknya diasah. Pada 2011, namanya semakin dikenal setelah
diangkat sebagai anggota Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata (Scaf).
Pasukan
inilah yang mengambil alih pemerintahan Mesir menyusul pemberontakan besar yang
memaksa Presiden lama, Hosni Mubarak, mengundurkan diri.
Jenderal
Sisi, ternyata, membangun relasi dengan Ikhwanul Muslimin. Padahal,
gerakan Islam berpengaruh itu dilarang di bawah pemerintahan Mubarak.
Pada
Juni 2012, Mohammed Morsi, seorang tokoh senior di Ikhwan, menjadi
Presiden Mesir pertama yang dipilih secara demokratis.
Dua
bulan kemudian, dia menunjuk Jenderal Sisi sebagai panglima militer dan Menteri
Pertahanan Mesir.
Kehendak
Rakyat
Sisi
lebih banyak dikenal sebagai pribadi yang terkendali. Dia adalah seseorang yang
berbicara hanya ketika dia harus melakukannya.
Tapi,
protes yang terus terjadi setelah pergantian pemerintahan,
akhirnya membuatnya tidak bisa berdiam diri.
Masyarakat
mengkritik besarnya pengaruh Islam yang dipimpin Ikhwanul Muslimin dalam kehidupan
publik.
Gelombang
kemarahan utamanya ditujukan pada Presiden Morsi atas kesulitan ekonomi yang
masih terus berlanjut di tanah Mesir.
Tekanan
publik meningkat pada akhir Juni 2013.
Jenderal
Sisi akhirnya memperingatkan akan menurunkan tentaranya jika pemerintah tidak
menanggapi "kehendak rakyat".
Pada 1
Juli, Sisi mengeluarkan ultimatum kepada Morsi untuk menyelesaikan krisis dalam
waktu 48 jam atau menghadapi intervensi militer.
Morsi
menawarkan beberapa negosiasi, tetapi menolak mundur atau menyetujui pemilihan
umum awal.
Alhasil,
pada 3 Juli, militer memecatnya dan menahan Morsi.
Publik
baru mendengar jelas suara Sisi pada 3 Juli 2013. Tepatnya saat Sang Jendral
muncul di televisi untuk mengumumkan pencopotan Presiden Morsi dari jabatannya.
Konstitusi
kemudian ditangguhkan, dan pemerintahan sementara dilantik.
Seorang
Presiden boneka, Adly Mansour, dilantik. Tetapi, jelas
bahwa Sisi, yang mempertahankan gelar Menteri Pertahanan, memegang
kekuasaan.
Sisi
menyatakan, Morsi telah gagal memenuhi "harapan untuk konsensus
nasional". Langkahnya pun mendapat dukungan rakyat Mesir.
Puluhan
ribu orang merayakan kudeta militer itu di Tahrir Square, mereka meneriakkan
"rakyat dan tentara adalah satu".
Kejahatan
Kemanusiaan
Sebelum
ditahan, Morsi menolak apa yang dia sebut sebagai "kudeta militer penuh".
Pendapat
Morsi beralasan. Pasalnya, tidak semua mendukung kudeta yang
dilakukan Sisi.
Para
pendukung Ikhwanul Muslimin dan kelompok lain yang menentang tindakan militer
mengadakan protes di seluruh Mesir.
Unjuk
rasa satu ini ditanggapi pasukan keamanan dengan kekuatan mematikan.
Menurut
kelompok hak asasi manusia, setidaknya 900 pengunjuk rasa tewas di alun-alun
Rabaa al-Adawiya dan al-Nahda Kairo pada 14 Agustus 2013.
Tapi
pemerintah mengklaim, banyak pengunjuk rasa bersenjata, dan sejumlah polisi juga tewas.
Tindakan
keras terhadap Ikhwan terus berlanjut setelah itu. Para pemimpin kelompok dan
ribuan pendukungnya ditangkap.
Organisasi
itu sekali lagi dilarang di Mesir. Banyak yang kemudian dijatuhi hukuman mati
atau hukuman penjara yang lama.
Hukuman
dijatuhkan dalam persidangan massal, yang menurut para aktivis melanggar hak
proses hukum yang mendasar.
Maju Jadi
Presiden
Pada
Januari 2014, Jenderal Sisi dipromosikan menjadi Perwira Tinggi, pangkat
tertinggi tentara Mesir.
Pihak
militer kemudian memberinya restu untuk mencalonkan diri sebagai Presiden.
Dua
bulan kemudian, dia mengumumkan pengunduran dirinya dari militer dan
meluncurkan kampanye pemilihannya.
Di
bawah slogan "Hidup Mesir", dia menguraikan rencana ambisius.
Janjinya,
mengembangkan pertanian, perumahan, pendidikan, dan daerah miskin, serta
meningkatkan lapangan kerja.
Sisi
terpilih sebagai Presiden pada Mei 2014 dengan kemenangan telak, 97
persen suara.
Mengenai
rencananya untuk memerangi kemiskinan, dia berjanji orang Mesir akan melihat
standar hidup yang lebih baik dalam dua tahun.
Dia
meminta sektor swasta dan publik untuk membantu orang miskin dengan memilih
"margin keuntungan yang lebih rendah".
Jika
itu tidak dilakukan, maka tentara sendiri akan menawarkan barang-barang
berkualitas tinggi dengan harga lebih rendah.
Namun,
standar hidup banyak orang di Mesir justru menurun selama masa jabatan pertama
Presiden Sisi.
Mata
uang Mesir terdevaluasi pada 2016.
Penarikan
bahan bakar dan subsidi lainnya untuk memenuhi persyaratan kesepakatan dengan
Dana Moneter Internasional (IMF), memengaruhi daya beli orang Mesir.
Inisiatif
lain, peluncuran
sejumlah mega proyek untuk menghidupkan kembali ekonomi, juga
perluasan Kanal Suez senilai US$ 8,2 miliar (Rp 115 triliun) dan ibu kota baru yang
diperkirakan menelan biaya US$ 45 miliar (Rp 630,9 triliun).
Kebijakan
Kontroversial
Pemerintah
mengatakan, kebijakan itu diperlukan untuk menarik investasi dan
membantu memulihkan ekonomi, yang sangat menderita akibat penurunan pariwisata
setelah revolusi 2011.
Tetapi, banyak
yang mempertanyakan, apakah uang untuk proyek-proyek itu akan lebih baik
digunakan untuk memperbaiki infrastruktur dan layanan publik.
Terlebih, saat
itu banyak orang Mesir berjuang untuk sekadar memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Salah
satu tantangan terbesar Presiden Sisi adalah situasi keamanan di Semenanjung
Sinai.
Wilayah
yang berbatasan dengan Gaza dan Israel ini merupakan "rumah" bagi militan
ekstremis paling aktif di Mesir.
Tentara
Mesir telah melancarkan serangan keamanan di Sinai, tak lama setelah Morsi
digulingkan.
Tetapi
situasinya terus memburuk. Bahkan, pada 2014, satu kelompok ekstremis lokal mengucap janji setia kepada
kelompok ISIS.
Kelompok
yang dikenal sebagai Provinsi Sinai ini menjadikan militer Mesir sebagai sasaran utamanya.
Mereka
adalah dalang di balik jatuhnya sebuah jet penumpang Rusia di atas semenanjung
Sinai pada Oktober 2015, menewaskan semua 224 orang di dalamnya.
Pada
akhir 2017, presiden melancarkan kampanye militer baru melawan kelompok
militan.
Lebih
dari 300 orang tewas dalam serangan bom dan senjata di sebuah masjid di Sinai
utara akibat serangan itu.
Periode
Pemerintahan Kedua
Suasana
Pemilu Presiden 2018 sangat berbeda dengan semangat Pemilu
sebelumnya.
Kelompok-kelompok
oposisi menyerukan boikot dan kelompok-kelompok hak asasi manusia menggambarkan
pemungutan suara itu sebagai "dagelan".
Pasalnya, tiga
pesaing lainnya mundur, dan satu lagi, seorang mantan panglima militer, ditangkap.
Langkah
itu sukses mengamankan Sisi menuju kemenangan telak.
Tahun
berikutnya, amendemen konstitusi yang kontroversial disahkan setelah
referendum.
Undang-undang
baru, yang menurut Human Rights Watch
akan "mengonsolidasikan pemerintahan otoriter", memperpanjang batas
kepresidenan dan berarti Sisi akan dapat tetap berkuasa hingga 2030.
Ekspresi
publik dari oposisi di Mesir telah dibatasi oleh undang-undang 2013 yang
melarang demonstrasi tidak sah.
Namun,
pengunjuk rasa menentang pembatasan pada 2016.
Kemarahan
publik meningkat atas keputusan Sisi mentransfer kedaulatan dua pulau di Laut
Merah ke Arab Saudi.
Demonstrasi
juga terjadi pada akhir 2019, dipicu oleh serangkaian video yang diterbitkan
oleh mantan kontraktor militer yang tinggal di pengasingan di Spanyol.
Isinya,
menuduh Sisi dan pejabat senior melakukan korupsi. Tuduhan itu dibantah oleh Presiden.
Meski
protes itu relatif kecil dan berumur pendek, mereka adalah yang pertama secara
langsung menentang aturan Sisi selama bertahun-tahun.
Dukungan
Internasional
Pemerintah
Sisi telah dikritik karena catatan merah penegakan hak asasi manusia di tanah
Mesir. Terutama setelah pembunuhan mahasiswa Italia Giulio Regeni pada 2016.
Namun,
"Negeri Firaun" tetap menjadi sekutu dekat AS.
Pada
2017, Sisi menjadi pemimpin Mesir pertama yang mengunjungi Gedung Putih sejak
revolusi 2011, dan berkunjung lagi pada 2019.
AS juga
setuju untuk menjadi tuan rumah pembicaraan mengenai perselisihan
berkepanjangan antara Mesir, Sudan dan Ethiopia.
Konflik
ketiganya terkait rencana bendungan Ethiopia di sungai Nil yang ditentang oleh
Mesir.
Pemimpin
Mesir telah menggambarkan dirinya sebagai satu-satunya orang yang mampu menjaga
ketertiban di Mesir.
Presiden
AS, Donald Trump, menyatakan dukungannya dengan menyatakan Sisi sebagai
"diktator favorit saya".
Sisi, pada
2018, berjanji bahwa apa yang terjadi tujuh atau delapan tahun
yang lalu tidak akan terulang di Mesir.
"Anda
tampaknya tidak cukup mengenal saya. Tidak, demi Tuhan, harga stabilitas dan
keamanan Mesir adalah milik dan kehidupan saya, juga kehidupan tentara,"
tegasnya. [dhn]