Oleh: Drs. Thomson Hutasoit
Baca Juga:
Jokowi Kembalikan Kedaulatan Indonesia
Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) beserta Ibu
Negara Iriana Jokowi beserta rombongan melakukan kunjungan ke Tanah Leluhur
bangso Batak di kawasan Kaldera Toba selama tiga (3) hari yakni 29-31 Juli
2019.
Kunjungan orang nomor satu (1) di republik ini sungguh amat
luar biasa bagi masyarakat kawasan Kaldera Toba yang selama ini terkesan
"dianaktirikan" di dalam arah kebijakan pembangunan, baik tingkat
lokal maupun tingkat nasional.
Baca Juga:
Mama Dada Mu Ini Dada Ku
Kunjungan luar biasa memberi suntikan semangat atau spirit
menatap hari esok lebih baik bagi masyarakat kawasan Kaldera Toba, tidak
mustahil pula memicu pandangan negatif serta kecemburuan membabi buta bagi
pihak-pihak tak rela dan tak setuju percepatan kemajuan pembangunan di kawasan
Kaldera Toba.
Pemikiran dan pandangan demikian sah-sah saja, karena bagi
segelintir pihak, percepatan kemajuan pembangunan di Kaldera Toba akan
mengancam kepentingan mereka.
Toh dalam ungkapan kearifan adat budaya Batak Toba telah
dikenal istilah "hosom, teal, elat, late (hotel)" bermakna stigma
negatif syirik, dengki, iri, dendam, culas, dll.
Karena seperti istilah Tukul Arwana, "SMS"; "senang melihat susah, susah melihat
senang" masih banyak ditemui di
negeri "panggung sandiwara" ini.
Niat tulus ikhlas, tekad kuat Presiden Jokowi mengembangkan
Danau Toba destinasi wisata kelas dunia dengan komitmen anggaran sebesar Rp 2,4
triliyun pada APBN 2020 tentu mengundang nafsu kompetisi memperebutkan
pengelolaan mata anggaran tersebut.
Dan tidak mustahil pula telah beradu taktik strategi agar
pengelolaan anggaran (proyek) jatuh ke tangannya.
Sekalipun alokasi anggaran baru meluncur pada tahun anggaran
APBN 2020, tapi kemungkinan besar telah ada pula merasa diri paling pantas dan
layak mendapat prioritas dengan berbagai argumen tak masuk akal.
Akibatnya, muncul perebutan atau pertarungan tak sehat pada
masyarakat kawasan Kaldera Toba. Sangat mungkin...!
Kearifan adat budaya leluhur mengatakan, "Unang
marsigulut di imbulu ni leang-leang" dalam terjemahan bebas bermakna,
jangan berebut hal tak penting atau tak guna.
Sifat, karakter negatif terlahir dari ego centris akan
berpotensi menimbulkan kegagalan percepatan kemajuan pembangunan kawasan
Kaldera Toba, seperti ungkapan "dang di au, dang di ho, tumagon tu
begu".
Mindset seperti itu harus segera dihilangkan dari benak
seluruh masyarakat kawasan Kaldera Toba agar niat tulus Presiden Jokowi
memajukan tanah leluhur bangso Batak tidak gagal di ranah implementasi.
Ungkapan dang di au, dang di ho, tumagon tu begu, harus
direvolusi total dengan ungkapan, dang di au, dang di ho, tumagon di hita.
Ketika penulis mengamati cermat dan seksama di media sosial
(medsos) sudah banyak bertebaran pemikiran dan pandangan negatif sangat kontra
produktif menyambut dan memberhasilkan "Cahaya Terang" arus
percepatan kemajuan pembangunan kawasan Kaldera Toba.
Bahkan, telah muncul "pahlawan kesiangan" merasa diri paling berjasa dan paling hebat
memperjuangkan pengembangan, percepatan pembangunan kawasan Tano Batak.
Sadar atau tidak arogansi berpikir (pantang so bilak,
pabilak-bilakhon, pantang so jago dohot pajago-jagohon) sesungguhnya salah satu
daya rusak paling berbahaya dalam mendukung dan/atau memberhasilkan percepatan
kemajuan pembangunan di tanah leluhur yang mengalami perlakuan diskriminatif
selama ini.
Masyarakat kawasan Kaldera Toba harus beraksioma dan
berikhtiar, "tamtam na do tajomna, rim ni tahi do gogona" karena
kesamaan pemikiran, kesamaan persepsi, kesamaan derap langkah, kesamaan
Visi-Misi serta persatuan dan kesatuan masyarakat kawasan Kaldera Toba energi
maha dahsyat menghadirkan dan/atau memberhasilkan percepatan kemajuan
pembangunan di kawasan Kaldera Toba.
Seluruh stakeholders dan masyarakat kawasan Kaldera Toba
harus mampu memberi sumbangsih pemikiran secara konkrit, termasuk seluruh
Diaspora kawasan Danau Toba, karena sebesar apapun anggaran digelontorkan
pemerintah, tanpa dukungan nyata pemerintah daerah serta masyarakat kawasan
Kaldera Toba akan sia-sia belaka.
Apalagi sifat, karakter "marsigulut di imbulu ni
leang-leang" belum bisa dihilangkan secara total.
Orang bijak mendahulukan yang paling penting daripada yang
penting.
Mendahulukan kebutuhan daripada keinginan sesungguhnya
adalah pola pikir arif dan bijaksana yang perlu di bangun setiap orang yang
menyatakan mencintai dan merindukan percepatan kemajuan pembangunan kawasan
Kaldera Toba.
Hentikan segala polemik, diskusi berpotensi melemahkan dan
menggagalkan percepatan kemajuan pembangunan Kaldera Toba dengan mengurangi
diskusi, diskursus, perbincangan, perdebatan berdasar ego centris atau
ke-Aku-an.
Au do na tutu, au do na toho, au do na tikkos, dll harus
direvolusi total dengan ungkapan kearifan adat budaya, "Aek godang tu aek
laut. Dos ni roha sibaen na saut". Bravo
Tano Batak"! Bravo Indonesia"! Bravo Presiden Jokowi...! Medan, 02 Agustus
2019. (tum)
Penulis adalah pemerhati pembangunan dan sosial budaya