WahanaNews.co | Belakangan kasus turbulensi di Indonesia kian marak. Bahkan diprediksi turbulensi jadi lebih sering terjadi seiring meningkatnya suhu global.
Dilansir USA Today, Minggu (11/6/2023), menurut para pakar, turbulensi akan semakin memburuk dan tren ini kemungkinan akan terus berlanjut akibat perubahan iklim.
Baca Juga:
Dampak Erupsi Gunung Lewotobi, Bandara Bali Batalkan 90 Penerbangan Dalam Sehari
Lalu, apakah penyebab turbulensi?
Turbulensi sendiri terbagi atas beberapa jenis, serta beberapa alasan terjadinya, berikut ini pembagiannya:
● Mountain wave turbulence, seperti namanya, terjadi ketika angin menghantam gunung.
Baca Juga:
Ternyata Ini Penyebab Kenapa Traveler Sering Jet Lag Saat Naik Pesawat
Itulah sebabnya mengapa sering terjadi guncangan saat terbang melintasi pegunungan.
● Convective Turbulence, umumnya dikaitkan dengan badai dan disebabkan oleh udara hangat yang naik.
●Clear air turbulence, dapat disebabkan oleh sejumlah faktor dan umumnya lebih sulit diprediksi dari dua jenis lainnya.
Tapi turbulensi ini juga yang paling mungkin terjadi di pesawat.
Hal itu karena tipe ini lebih sulit untuk diprediksi, sehingga lebih sulit untuk dihindari.
Apakah perubahan iklim membuat turbulensi makin buruk?
Menurut Paul Williams, seorang profesor ilmu atmosfer di University of Reading, tidak ada data yang jelas tentang bagaimana perubahan iklim mempengaruhi Mountain wave turbulence atau Convective turbulence.
Tetapi turbulensi berjenis Clear air turbulence beresiko menjadi lebih sering dan intens.
"Suhu udara meningkat karena perubahan iklim. Atmosfer semakin bergejolak, akan ada turbulensi yang lebih parah di atmosfer," ujar Williams.
Thomas Guinn, ketua ilmu penerbangan terapan di Embry-Riddle Aeronautical University, setuju akan hal tersebut.
"Turbulensi akan cenderung jadi lebih sering dan lebih intens dengan adanya perubahan iklim," kata Guinn.
Baik Williams maupun Guinn menunjukkan bahwa turbulensi yang parah sebenarnya meningkat lebih tinggi daripada turbulensi ringan.
Studi terbaru yang dilakukan Williams menunjukkan bahwa turbulensi parah meningkat sebesar 149 persen, dibandingkan turbulensi ringan yang hanya 59 persen. Namun, turbulensi parah kemungkinan tetap akan sangat jarang terjadi.
"Jumlah total turbulensi sangat kecil, tidak sampai 0,1 persen yang memiliki turbulensi parah saat ini, itu sangat kecil," ujar Williams.
Bahkan jika data tersebut menunjukkan turbulensi parah meningkat, Williams mengatakan bahwa hal itu tidak akan sering dialami penumpang.
"Peningkatan 149 persen, itu antara dua kali lipat dan tiga kali lipat. Anda bisa mengambil 0,1 persen dan dan mengkalikannya. Itu masih sebesar 0,2 atau 0,3% saja," jelas Williams.
Musim terjadinya turbulensi juga bergeser seiring dengan perubahan iklim. Saat ini, turbulensi clear air turbulence lebih sering terjadi pada musim dingin, tetapi juga mulai sering terjadi pada musim hangat.
"Di musim panas di masa depan, jumlah turbulensi clear air turbulence akan sama seringnya dengan yang terjadi di musim dingin saat ini," kata Williams.
Apakah turbulensi akan sangat membahayakan?
Williams menjelaskan, bahwa jika turbulensi yang parah meningkat, hal itu hanya mengubah status dari sesuatu yang sangat jarang terjadi menjadi jarang terjadi.
Jika pesawat mengalami turbulensi yang parah, penumpang umumnya dapat tetap aman selama mereka tertib menggunakan sabuk pengaman.
"Jika Anda mengenakan sabuk pengaman, kemungkinan terluka saat terjadi turbulensi sangat kecil," Guinn juga menambahkan.
Williams setuju bahwa penumpang biasa dapat tetap aman dalam turbulensi selama mereka mengenakan sabuk pengaman. Tapi resiko yang memburuk justru akan terjadi bagi pramugari.
"Saya rasa sekitar 80% dari cedera yang terjadi pada pramugari," ujarnya,
Namun ia menambahkan, bahwa seiring dengan semakin canggihnya prakiraan turbulensi dan teknologi pesawat terbang, maka turbulensi akan semakin berkurang pengaruhnya terhadap penerbangan.[sdy/detik]