Oleh JOSEPH OSDAR
Baca Juga:
Peringati Bulan Bung Karno, Kader PDI-Perjuangan Jalan Sehat Bareng Tri Adhianto & Ono Surono
SENIN, 21 Juni 2021, kita memeringati 51 tahun
wafat Bung Karno.
Saya teringat sebuah kisah pada Rabu, 21 Juni
2001, di Hotel Lestari, Blitar, Jawa Timur.
Baca Juga:
Bupati Karo Tinjau Proyek Pelebaran Jalan, Usulkan Pemugaran Akses ke Rumah Pengasingan Bung Karno
Tanggal dan bulan itu adalah peringatan wafat
(haul) 100 tahun Bung Karno.
Sebelum berangkat ziarah ke makam Bung Karno,
saya dengan beberapa orang ngobrol di ruang lobi hotel.
Mereka, antara lain, putri Bung Karno,
Rachmawati Soekarnoputri, dan suaminya, Beni Sumarno (sekarang sudah almarhum),
dan Edi Sukmoro (waktu itu sebagai salah satu dekan di Universitas Bung Karno
Jakarta).
Saat itu, datanglah Nyonya Ratna Sari Dewi,
istri Bung Karno.
Perempuan yang saat itu berusia 61 tahun (kini
81 tahun) hidungnya mengendus-endus udara seraya berkata, "Saya bau Bapak, bau
Bapak."
Maksudnya, ia mencium aroma Bung Karno.
Rachmawati, salah satu putri Bung Karno
berkata, "Mungkin Bu Dewi mencium aroma parfum Shalimar yang sering dipakai
Bung Karno."
Saya tanya pada Beni Sumarno, apakah ia memakai
parfum itu.
"Ya tadi pagi, tapi rasanya sekarang sudah
hilang aromanya," jawab Beni.
Beni membawa saya ke kamar hotelnya ketika saya
minta untuk mencoba memakai parfum itu.
Di kamar saya semprotkan parfum itu di sekujur
tubuh saya.
Kemudian, saya keluar kamar dan mendekati Dewi
dan Rachma.
Saya berharap ada reaksi dari Dewi.
Setelah beberapa lama tidak ada reaksi, saya
sedikit merapat ke Dewi, sambil bertanya, "Bu Dewi menciu bau parfum saya?"
Ia menjawab, "saya tidak bau apa-apa."
Sampai di makam Bung Karno, saya masih sedikit
memikirkan peristiwa itu.
Ketika duduk di halaman area makam, saya
bercerita tentang peristiwa aroma Bung Karno itu kepada beberapa orang yang
saat itu berziarah ke makam Bung Karno.
Mereka hampir berpendapat sama dengan Edi
Sukmoro tentang aroma parfum Bung Karno.
"Itu suasana atau fenomena mistis," kata salah
seorang dari peziarah di situ.
Mereka adalah rombongan dari Bengkulu.
Hampir tiap tahun mereka berziarah ke makam
Bung Karno.
Banyak cerita mistis yang mereka alami dengan
makam itu.
Malam harinya, saat itu diadakan acara haul
Bung Karno di alun-alun Blitar, dihadiri Presiden RI (waktu itu) KH Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) dan Wakil Presiden (waktu itu) Megawati Soekarnoputri.
Kopkamtib Mengatur "Mistik"
Saya jadi ingat laporan atau tulisan senior
saya, wartawan Kompas, Soemarkotjo
Soediro (sekarang almarhum), yang meliput pemakaman Bung Karno di Blitar pada
21 Juni 1970.
Dalam tulisan cukup panjang, Soemarkotjo yang
inisialnya SS itu, antara lain, berkisah dengan kalimat-kalimat yang sangat
hati-hati, karena banyak hal tentang Bung Karno masih cukup tabu di masa itu.
Almarhum menuliskan diksi kata "mistik", tapi
suasana mistis sendiri tidak diceritakan.
Soemarkotjo menuliskan suasana mistis yang
dibicarakan masyarakat luas di saat pemakaman itu dikaitkan dengan kekawatiran
penguasa akan munculnya pengkultusan (devosi) pada Bung Karno dan mengeramatkan
makam Bung Karno.
Di tengah ribuan orang yang datang dari
berbagai penjuru Indonesia yang memenuhi seluruh wilayah Blitar saat itu,
Soemarkotjo melaporkan cerita-cerita mistis.
"Baru
beberapa saat pemakaman usai, pengagum mistik mulai mengemuka," tulis
Soemarkotjo, yang dituliskan kembali pada 1974.
Menurut Soemarkotjo, masalah-masalah mistis itu
menjadi persoalan sendiri bagi pemerintah.
Di kalangan luas, tulis Soemarkotjo, tersiar
kekhawatiran, kalau-kalau makam Bung Karno ini akan dikeramatkan masyarakat.
"Residen
Kediri yang membawahi wilayah Blitar menyatakan hal itu tidak perlu
dikhawatirkan."
"Kebetulan
ada juga Residen Pati yang mempunyai wilayah penuh dengan makam-makam keramat.
Apakah menurut pengalamannya di daerah Pati, makam Bung Karno tidak akan
dikeramatkan? Menurut Residen Pati, penduduk tidak mengkeramatkan makamnya,
tapi meluhurkan orangnya," demikian tulisan Soemarkotjo yang diterbitkan
kembali dalam buku Laporan Wartawan
Kompas 1965-2005.
"Walaupun
demikian, Residen Kediri menyatakan, kalau sampai terjadi pengeramatan atas
makam Bung Karno, tindakan-tindakan pencegahan dapat diatur oleh Kompkamtib
mengenai cara-cara orang yang akan berziarah ke makam."
Sumarkotjo menulis kalimatnya sangat hati-hati
saat itu.
Kopkamtib, Komando Operasi Pemulihan Keamanan
dan Ketertiban, adalah lembaga "penggebug" lawan-lawan rezim Soeharto di masa
pemerintahanya.
Dalam kesimpulan artikel berjudul Bung Karno Tutup Usia,Soemarkotjo
membuat kalimat cukup menarik.
"Pelarangan
dan penekanan begitu saja setiap tendensi untuk mengkultuskan Bung Karno, apa
pun argumentasi berdasarkan fakta-fakta yang kuat, di kemudian hari bisa
mengakibatkan terjadinya arus balik yang justru merugikan perkembangan negara
ini."
Dalam buku berjudul Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya - Otobiografi seperti
dipaparkan kepada G Dwipayana dan Ramadhan KH yang diterbitkan pada 1989,
Soeharto, Presiden RI 1967-1998, juga bicara soal wafatnya Bung Karno.
Di bawah sub judul Bung Karno Wafat(halaman 244-249), Soeharto antara lain
mengatakan, "Sejak awal 1968, Bung Karno
berada dalam karantina politik....."
"Benar,
semasa itu Bung Karno diminta keterangan untuk keperluan Kopkamtib. Tetapi
setelah saya ketahui bahwa sakitnya cukup serius, saya perintahkan untuk
berhenti dengan pemeriksaan itu," demikian pengakuan Soeharto.
Soeharto juga memutuskan Bung Karno harus
dimakamkan di Blitar.
Dikatakan juga pemakaman dilakukan secara
kenegaraan.
Tempat pemakaman ini banyak mendapat
penentangan, termasuk dari keluarga besar Bung Karno.
Dalam buku itu, Soeharto juga membahas soal
mistik.
"Bagi
saya, pengertian mistik adalah ilmu kebatinan, bukan klenik, " kata
Soeharto, di bawah sub judul Mengenaik
Mistik dan Kepercayaan(halaman 311).
Bung Karno Punya Kekuatan Supranatural
Dalam buku Bung
Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesiaoleh Cindy Adams, yang
diterbitakan Yayasan Bung Karno dan Penerbit Media Pressindo tahun 2007, Bung
Karno antara lain mengatakan, "Kakekku
menanamkan pada diriku kebudayaan Jawa dan mistik. Dari Bapak datang teosofi
dan Islamisme. Dari Ibu, Hinduisme dan Budhisme, Sarinah memberiku humanisme.
Dari Pak Cokro datang sosialisme. Dari kawan-kawannya datang nasionalisme."(Halaman
90).
Dalam buku itu, di halaman 4, Bung Karno juga
mengatakan, "Banyak orang percaya aku
adalah seorang yang memiliki kekuatan supranatural yang mampu melakukan
penyembuhan."
"Seorang
petani kelapa yang anaknya sakit keras bermimpi, dia harus datang padaku dan
minta air buat anaknya. Dia yakin, air apa pun yang kuberikan mengandung
zat-zat yang dapat menyembuhkan. Aku tidak bisa berdebat dengan dia, karena
orang Jawa percaya kepada mistik dan dia yakin anaknya akan meninggal kalau
tidak memperoleh obat dariku. Kuberi air itu - air leding biasa yang kuambil
sendiri dari dapur - kepadanya. Dua minggu kemudian anak itu sehat kembali."
Beberapa kisah lain. Satu di antaranya,
orang-orang Bali ada yang percaya Sukarno penjelmaan Dewa Wisnu, Dewa Hujan
dalam agama Hindu.
"Karena
setiap kali aku datang ke Tampaksiring.......selalu turun hujan, bahkan juga di
tengah musim kemarau," kata Bung Karno dalam buku itu.
"Orang
Bali yakin, aku membawa berkah kepada mereka. Saat terakhir aku terbang ke
Bali, mereka sedang mengalamai musim kering. Begitu aku mendarat, air tercurah
dari langit. Jujur, aku mengucapkan syukur kepada Sang Maha Pencipta, bila
turun hujan selama aku tinggal di Tampaksiring, karena kalau tidak hujan,
kewibawaanku akan berkurang."
Itu sekelumit tentang Bung Karno.
Negara Solo dan Yogyakarta
Tapi, yang cukup penting, 4 Juli 1927, di
Bandung, Bung Karno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan tujuan
Indonesia merdeka sepenuhnya.
Gagasan tentang tujuan itu mendapat tantangan
keras dari teman-temannya karena rakyat dinilai belum siap dan akan langsung
ditumpas Belanda sebelum dimulai.
Tapi Bung Karno berteriak, "Rakyat sudah siap, Indonesia merdeka
sekarang, dan itu menjadi semboyan kita....Kita harus mengusahakan persatuan
nasional...Jangan bergerak pelan-pelan. Bukankah 350 tahun sudah cukup pelahan."
Ketika Bung Karno secara terbuka sering
berteriak tentang "negara kesatuan dan kata merdeka sekarang" di Bandung
(1922-1927) itu, Nusantara masih banyak dihuni kerajaan, kesultanan dan negara
di bawah kekuasaan feodalist, seperti negara Surakarta (Solo), Negara
Yogyakarta dan seterusnya.
Istilah "negara Surakarta dan negara Yogyakarta
" itu saya pinjam dari seorang keturunan ketujuh Pangeran Diponegoro, Ki Roni
Sodewo (51 tahun), ketika mengikuti kuliah umum Prof Dr Peter Carey, sejarahwan
Inggris, yang diselenggarakan Universitas Sam Ratulangi Manado, Rabu, 16 Juni
2021.
Setelah teriakan itu, 18 tahun kemudian, 17
Agustus 1945, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan RI merdeka.
Pada 1967 Bung Karno lengser.
Dalam artikelnya, Sukarno dalam Perjalanan Bangsa,sejarahwan dari Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warmam Adam, mengatakan, "Ketika Bung Karno dijatuhkan dari kekuasaan,
negara kita memiliki utang 2,5 miliar dollar AS. Namun ketika presiden
penggantinya lengser tahun 1998, utang pemerintah dan swasta, yang diwariskan
kepada bangsa Indonesia meningkat 6000 persen, yaitu 150 dollar AS."
Kini, kata Asvi Warman Adam, pembangunan
Indonesia terganjal oleh utang.
"Sebagian
besar anggaran negara setiap tahunnya harus disisihkan untuk membayar utang dan
bunganya," ujar Asvi Warman, dalam pengantar buku Di bawah Bendera Revolusicetakan kelima, Juni 2005.
Dalam biografinya, di bawah sub judul Bung Karno wafat, Soeharto mengatakan, "Yang jelas, kita harus memberikan
penghargaan atas jasa-jasa beliau sebagai pejuang luar biasa. Sejak dulu beliau
adalah pejuang, perintis kemerdekaan. Dan sebagai Proklamator beliau tidak ada
bandingnya." (Joseph Osdar, Kolumnis)-qnt
Artikel ini telah tayang di Kompas.com
dengan judul "Cerita Mistis Sekitar
Bung Karno", Klik untuk baca:www.kompas.com/tren/read/2021/06/21/194937465/cerita-mistis-sekitar-bung-karno.