WahanaNews.co | Pagar dengan tinggi sekitar lima sampai enam meter membatasi daratan dan air laut di Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara.
Daratan yang tak terendam air laut ditandai sebuah plang bertuliskan, “Tanah milik PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) cabang Sunda Kelapa”.
Baca Juga:
Jakarta di Prediksi Bakal Tenggelam
Sementara di balik pagar tinggi itu, di tengah-tengah genangan air laut pesisir Jakarta, terdapat sebuah bangunan yang sudah rusak terbengkalai karena terendam.
Dari ciri atap yang bertumpang, bangunan tersebut adalah sebuah masjid.
Wartawan bertemu dengan salah seorang warga Muara Baru yang telah lama bermukim di daerah tersebut, Kusmo (47).
Baca Juga:
Usia 6 Negara Ini Diprediksi Tinggal 100 Tahun Lagi, Termasuk Indonesia!
Dari mulutnya, diceritakanlah bahwa bangunan yang kini terendam air laut itu awalnya memang sebuah masjid.
Masjid Wal Adhuna namanya.
Ia menuturkan, setidaknya hampir sekitar 13 tahun masjid itu sudah terendam air laut di Teluk Jakarta tersebut.
Kusmo mengaku tidak mengetahui secara pasti kapan masjid tersebut didirikan.
Namun, seingatnya, masjid tersebut sudah berdiri tegak ketika ia datang ke daerah tersebut bersama orangtuanya pada 1984 silam.
"Sekarang orang-orang yang tahu asal-usul masjid itu udah enggak ada. Tapi ketika umur 10 tahun datang ke sini menyusul bapak, masjid itu sudah ada," tutur Kusmo, ketika disambangi wartawan, Jumat (1/10/2021).
Kusmo menceritakan bahwa kondisi masjid tersebut saat ini kontras dibandingkan dengan masa jayanya sebagai rumah ibadah dulu.
Terutama ketika pelbagai kegiatan keagamaan maupun aktivitas sosial kerap dilakukan warga Gang Gudang Koja.
Berdasarkan penuturan Kusmo, dahulunya wilayah ini juga masih dijadikan tempat untuk sandaran bagi kapal-kapal pengangkut kayu.
Berbagai kawasan pergudangan juga memadati area tersebut.
Ia ingat betul, dahulu ratusan jamaah rutin menunaikan ibadah salat lima waktu di sana.
Jumlah tersebut menurutnya akan melonjak kala salat Jumat ataupun ketika memasuki hari raya.
Pasalnya, bangunan itu menjadi satu-satunya masjid terdekat yang berada di sekitar pemukiman masyarakat dan pelabuhan.
"Wah dulu mah ramai banget, soalnya masjid yang lain itu adanya di depan dekat jalan raya. Jadilah orang-orang beribadah di sini," kenangnya.
Intensitas ibadah dan aktivitas masyarakat di masjid, menurut Kusmo, mulai berkurang secara drastis ketika pelabuhan tersebut dipindahkan ke daerah Sunda Kelapa pada 2008-an silam.
Apalagi terjadi kenaikan air laut atau penurunan muka tanah yang membuat masjid itu kini dikelilingi air.
Dari yang awalnya hanya sebatas mata kaki pada 2009 silam, saat ini ketinggian permukaan air laut sudah naik hingga mencapai satu setengah meter.
Cat hijau yang dulunya menyelimuti masjid tersebut juga tidak lagi bisa ditemukan.
Dinding-dinding masjid yang kerap dihantam oleh gelombang pasang sudah mulai mengelupas.
Pada beberapa bagian masjid juga jamak ditemukan lumut-lumut yang tumbuh subur.
Pintu dan jendela yang dulunya menempel sudah lama hilang terseret arus laut.
Salah satu bangunan masjid bahkan tak lagi memiliki atap di atasnya.
Sementara di bagian kubah masjid, penutup yang terbuat dari lapisan seng juga mulai bolong-bolong di keempat sisinya.
Masjid Wal Adhuna Terpisah dari Daratan
Peristiwa bocornya tanggul di dekat masjid yang membuat kawasan Muara Baru menjadi terendam juga memperparah kondisi tersebut.
Sejak saat itu, dikatakan Kusmo warga mulai tidak menggunakan Masjid Wal Adhuna.
Pascabocornya tanggul dan banjir rob yang sempat melanda wilayah ini, Pemprov DKI Jakarta memang langsung membangun tanggul yang membatasi wilayah pemukiman dengan pesisir pantai.
Hanya saja, tanggul dengan tinggi lima meter tersebut pada akhirnya memisahkan Masjid Wal Adhuna dari daratan.
Tak ada lagi juga bangunan yang dimukimi warga di balik tanggul tersebut.
"Soalnya kawasan pergudangan yang dulu di sekitar masjid sudah dihancurkan ketika proses perpindahan pelabuhan [ke Sunda Kelapa]. Jadilah masjid itu sendirian," ujar Kusno.
Meski begitu, ia mengatakan, pada awal pendirian tanggul, jarak antara masjid dengan bibir pantai masih cukup jauh.
Setidaknya masih ada jarak kurang lebih lima meter yang membatasi.
Saat ini, katanya, seperti yang disaksikan pula oleh CNNIndonesia.com, air laut sudah mencapai batas tanggul dan merendam bangunan masjid itu sepenuhnya.
Aktivitas Warga
Setelah tak lagi bisa digunakan sebagai rumah ibadah, bangunan itu masih berdiri.
Meskipun demikian, Masjid Wal Adhuna tak begitu saja ditinggalkan warga, karena ada warga yang mencoba mencari peruntungan nafkah dari habitat laut di sana, dan anak-anak yang bermain.
Untuk mencapai bangunan tersebut, saat ini para warga harus memanjat dinding dengan tangga kayu yang terletak di salah satu sudut tanggul.
Seperti yang dilakukan Sapto (35) pada Jumat (1/10/2021) pagi.
Dengan memikul dua buah karung berukuran sedang di pundaknya, ia meniti anak tangga secara perlahan.
"Habis nyari kerang di sana," ujarnya sumringah, menunjuk ke arah sekitar bangunan masjid yang terbengkalai.
Ia mengatakan, aktivitas ini memang kerap ia lakukan sehari-hari di pagi hari.
Bersama dua orang rekannya, ia biasa mencari kerang sejak pukul 05.00 hingga 09.00 WIB.
Batu-batuan buatan yang ditaruh untuk menahan abrasi air laut menjadi berkah tersendiri buatnya.
Pasalnya pada batu-batuan tersebutlah kerang hijau kerap menempel, menunggu untuk ia ambil.
"Emang biasanya jam segini pas lagi surut. Kalau lagi pasang mah kelelep kita kalau mau ngambil juga," jelasnya.
Selain mencari kerang, Sapto mengatakan, masyarakat juga sering memancing dari batas tanggul tersebut.
Meskipun diakuinya tidak banyak ikan yang bisa didapatkan dari area pesisir itu.
Tapi saat wartawan berada di sana hanya bersua dengan Sapto di area sekitar masjid yang tenggelam tersebut.
Menambahkan Sapto, Kusmo berujar wilayah pinggiran tanggul juga sering dijadikan area bermain oleh anak-anak.
Untuk sekadar bermain air atau mandi di bibir tanggul.
Pelbagai aktivitas ini bukannya tanpa bahaya.
Salah satu penjaga keamanan dari lahan Pelindo II cabang Sunda Kelapa itu mengatakan, hampir setiap tahun selalu saja ada korban meninggal yang ditemukan.
Meskipun dalam dua tahun terakhir, menurutnya sudah tidak ada lagi korban jiwa akibat kelalaian menerobos tanggul.
"Enggak cuma anak kecil aja, orang dewasa juga ada. Biasanya karena mancing atau main air terus jatuh," jelas pria yang menolak disebutkan namanya itu.
Pihak Pelabuhan Sunda Kelapa sendiri saat ini sudah membatasi akses ke masjid tersebut menggunakan pagar dan portal pembatas.
Pos sekuriti juga ditempatkan di sana untuk menghalau orang agar tidak sembarangan masuk kawasan.
Masjid Wal Adhuna di Muara Baru, Penjaringan, Jakarta utara, seolah menjadi bukti mengenai penurunan muka tanah dan kenaikan air laut.
Kenaikan permukaan air laut karena pemanasan global, dan penurunan permukaan tanah menjadi persoalan baru yang harus segera diatasi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta hingga pemerintah pusat.
Prediksi sebagian wilayah Jakarta akan tenggelam pada 2050 mendatang menjadi sorotan di dalam hingga luar negeri.
Menurut sejumlah pakar dalam negeri hal itu bisa terjadi akibat penurunan muka tanah yang disebabkan oleh eksploitasi air tanah yang tak terkendali, serta perubahan iklim.
Menurut peta prediksi yang diunggah di situs Climate Central yang diakses Jumat (1/10/2021), wilayah DKI yang diperkirakan akan tenggelam meliputi Jakarta Barat, Jakarta Utara, Jakarta Pusat, dan Jakarta Timur.
Wilayah Jakarta yang diperkirakan tenggelam pada 2050 mendatang itu terbentang dari Pantai Indah Kapuk, Ancol, Kalideres, Harmoni, Gambir, Kemayoran, Sunter, Kelapa Gading, Cilincing, Pulogadung, hingga Cakung.
Bahkan, menurut peta prediksi itu, air laut akan menggenangi hampir separuh Bandara Internasional Soekarno-Hatta di Cengkareng, Tangerang, Banten.
Kemudian kawasan utara Bekasi, Jawa Barat, yang merupakan daerah penyangga Jakarta juga diperkirakan akan berada di bawah permukaan air laut pada 2050 mendatang.
Kepala Dinas Sumber Daya Air (SDA) DKI Jakarta, Yusmada Faizal, tidak menampik soal ancaman yang mengintai Jakarta itu.
Yusmada mengatakan setidaknya ada tiga kondisi yang menjadi dapat menyebabkan wilayah Jakarta tenggelam.
Ancaman pertama, kata dia, datang dari meluapnya air di hulu yang melintasi sungai-sungai di Jakarta.
Kedua, berasal dari intensitas curah hujan yang memang jatuh di Jakarta.
"Sementara yang ketiga datang dari laut sejalan dengan fenomena meningkatnya muka air laut," jelasnya, Kamis (2/9/2021).
Di sisi lain, ia mengatakan saat ini laju penurunan muka tanah di Jakarta telah berkurang dalam beberapa tahun belakangan.
Ia mengatakan, sejak 2007 hingga 2017, di daerah pesisir Jakarta, penurunan muka tanah berada di bawah 10 cm per tahun.
Angka itu, kata dia, menurun dari yang sebelumnya di atas 10 cm per tahun.
Ihwal pengendalian kenaikan air laut di wilayah pesisir, Yusmada mengatakan langkah pertama yang akan pihaknya lakukan ialah dengan membangun tanggul pantai di kawasan tersebut.
Selain itu, ia juga mengaku akan membangun polder-polder, waduk dan pompa untuk pengendalian air, serta perencanaan sistem peringatan dini.
"Kita berharap penurunan tanah ini bisa terkontrol dengan cepat dan akurat sehingga kita bisa membuat kebijakan lebih akurat," ujarnya. [qnt]