WAHANANEWS.CO, Jakarta - Indonesia menghadapi kenyataan pahit sebagai salah satu negara dengan angka tertinggi anak-anak yang tumbuh tanpa kehadiran aktif seorang ayah, sebuah kondisi yang sering disebut sebagai fatherless.
Fenomena ini menempatkan Indonesia di peringkat ketiga dunia sebagai negara dengan kasus fatherless terbanyak, menandakan jutaan anak kehilangan figur ayah yang seharusnya melindungi, mengarahkan, dan memberi rasa aman, meski sosok itu masih ada secara fisik.
Baca Juga:
DPPPAKB Kalsel dan BKKBN Kolaborasi Tingkatkan Kualitas Pengasuhan Anak Usia Dini
Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Kepala BKKBN Wihaji mengungkapkan bahwa sekitar 80 persen anak di Indonesia tumbuh tanpa keterlibatan emosional dari seorang ayah.
"Sebagian besar ayah hanya hadir secara finansial, membayar SPP atau memberi uang saku, tetapi tidak hadir dalam interaksi emosional maupun komunikasi yang bermakna," kata Wihaji, Selasa (26/08/2025).
Ia menilai kondisi ini bisa berdampak serius terhadap karakter generasi muda, termasuk menjadikan mereka bagian dari apa yang disebut "strawberry generation" yang rapuh dalam menghadapi tantangan hidup dan memiliki kelemahan dalam kepemimpinan.
Baca Juga:
Realitas Kumpul Kebo, Antara Pilihan Hidup dan Konsekuensi Jangka Panjang
Lebih jauh, Wihaji mengingatkan dominasi pengaruh gawai dan media sosial yang semakin menguasai cara pikir anak-anak.
"Mereka cenderung lebih percaya pada informasi digital ketimbang nasihat orang tua, ini situasi yang sangat mengkhawatirkan," ucapnya.
Karena itu, Wihaji mendorong para ayah untuk benar-benar meluangkan waktu berkualitas bersama anak, misalnya makan bersama tanpa gawai dan mengobrol setidaknya 30 menit setiap hari.
Ia menegaskan bahwa keterlibatan emosional orang tua, terutama ayah, jauh lebih penting untuk masa depan anak dibandingkan sekadar pencapaian ekonomi semata.
"Sosok ayah berperan besar dalam pembentukan kepribadian, penguatan nilai-nilai, serta persiapan anak dalam menghadapi masa depan," tambahnya.
Menanggapi hal ini, pengamat sosial dari Universitas Padjadjaran Domy Sokara menilai fenomena fatherless di Indonesia sudah masuk kategori darurat sosial.
"Jika 8 dari 10 anak tumbuh tanpa kelekatan emosional dengan ayah, maka jangan kaget jika kita menuai generasi yang rapuh, mudah terombang-ambing, dan kehilangan arah dalam menentukan identitasnya," ujar Domy.
Ia menegaskan bahwa peran ayah tidak bisa hanya digantikan dengan materi.
"Ketika ayah absen secara emosional, maka anak-anak akan mencari figur pengganti di luar rumah, entah di media sosial, kelompok pertemanan, atau bahkan konten-konten yang berbahaya," tegas Domy.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]