WahanaNews.co | Belakangan ini viral di media sosial, wanita lansia terlibat jadi pemeran konten TikTok mandi lumpur. Konten tersebut disebut banyak orang sebagai aksi mengemis secara virtual.
Pembuat konten mandi lumpur di kampung Kabupaten Lombok Tengah, NTB, Sultan Akhyar tak takut kontennya disebut mengemis secara virtual.
Baca Juga:
Aksi Arogansi di SCBD: Polda Metro Jaya Minta Maaf ke Lachlan Gibson, Siap Evaluasi Total
Menurutnya butuh upaya yang cukup besar untuk membuat konten yang bisa menghasilkan banyak gift dari penonton TikTok.
"Kami tidak takut disebut mengemis online. Kami pakai modal, mulai dari handphone, kuota (internet), dan modal membuat kolam," ujar Sultan dikutip dari CNN Indonesia TV, Jumat (19/1).
Sultan menilai tidak semua orang bisa membuat konten yang berhasil seperti yang dia buat. Proses pembuatan konten tersebut membutuhkan pemikiran yang banyak agar bisa berhasil.
Baca Juga:
Lengkap Penderitaan ! Jalan Rusak Sampah Menumpuk Tepat dibelakang Telkom Kota Perdagangan
"Tidak semua orang bisa, membuat dari pemikiran yang banyak. Akting sedikit supaya menarik perhatian netizen," tuturnya.
Sultan secara blak-blakan mengatakan dirinya hanya memiliki satu tujuan, yakni mendapatkan penonton.
"Tujuan utamanya supaya lebih banyak penonton," ujar Sultan.
Sebelumnya, Menteri Sosial Tri Rismaharini akan menyurati pemerintah daerah (pemda) untuk menindak fenomena 'ngemis online' yang viral di TikTok.
"Nanti saya surati ya. Saya imbau ke daerah, tugas saya itu untuk menjalankan. Itu (ngemis online) memang gak boleh," ujar Risma.
Tidak hanya secara online, Risma juga mengatakan pengemis konvensional di jalanan juga dilarang oleh peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) dan peraturan daerah (perda).
"Itu (ngemis) enggak boleh. Jadi ada perppu, perda-nya. Makanya ini kami cari rujukan undang-undangnya. Sekarang masih diproses (suratnya). Nanti kalau sudah jadi suratnya saya tunjukkan," sambungnya.
Sementara itu, Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Derajat Sulistyo Widhyarto mengemukakan bahwa fenomena mengemis melalui media sosial atau medsos akan hilang dengan sendirinya jika warganet tidak mendukung kegiatan tersebut.
"Kalau tidak 'disawer' oleh netizen itu hilang dengan sendirinya," kata Derajat saat dihubungi di Yogyakarta, Jumat (20/1). Seperti dilansir dari Antara.
Menurut dia, pemerintah tidak perlu mengeluarkan regulasi khusus berkenaan dengan fenomena baru tersebut.
Namun, ia melanjutkan, pemerintah perlu mengedukasi pengguna medsos agar tidak mendukung upaya-upaya untuk memanfaatkan rasa belas kasihan orang lain guna mendapat keuntungan di medsos, yang kadang dilakukan dengan mengeksploitasi warga rentan.
"Saya kira netizen bukan orang bodoh. Memang kadang kala mereka bisa mengutamakan emosi sehingga memberikan saweran karena kasihan," kata dia.
Menurut dia, pengguna media sosial di Indonesia perlu dididik supaya tidak mendukung tindakan eksploitasi di platform media sosial.
Derajad juga mengemukakan bahwa di antara pengguna medsos ada yang menganggap aksi mengemis via daring sebagai tontonan yang menghibur.
Ia menyebut sikap itu sebagai salah satu tanda kemunduran atau krisis sosial dalam masyarakat yang terjadi akibat efek samping perkembangan cepat teknologi informasi.
"Adanya medsos (memicu) banyak perubahan perilaku, termasuk orang mendefinisikan hiburan sudah berbeda. Bahkan tontonan menyakiti kucing juga dianggap hiburan," kata dia.
"Mereka mengikuti zaman, artinya kalau secara sosial pengemis itu tetap ada, cuma sekarang instrumennya saja yang berbeda," dia menambahkan.
Selain itu, Derajad menyampaikan bahwa fenomena mengemis via medsos tidak lepas dari masalah kemiskinan dan upaya penanggulangannya.
Oleh karena itu, ia melanjutkan, selain mengedukasi masyarakat mengenai penggunaan media sosial, pemerintah juga harus fokus menggiatkan upaya untuk mengatasi kemiskinan.
"Tahun ini kan APBN-nya fokus pada pengentasan kemiskinan. Nah itu saja sebenarnya fokus pemerintah, bagaimana caranya memperkuat ekonomi pada level bawah di daerah," kata dia. [rna]