Oleh: Drs. Thomson Hutasoit
Baca Juga:
Mama Dada Mu Ini Dada Ku
Sesungguhnya akar permasalahan berbangsa dan bernegara tidak
lain dan tidak bukan dipicu pertarungan politik perebutan kekuasaan para orang
dan/pihak ingin berkuasa, baik kekuasaan sosial politik, finansial, penguasaan
sumber daya alam (SDA) maupun akses perikehidupan lainnya dilandasi ambisius
haus berkuasa dengan menghalalkan segala cara unutuk merebutnya.
Baca Juga:
Perseteruan Kandidat Penghuni Sorga
Setuju atau tidak sesungguhnya kegaduhan, keonaran,
benturan, gesekan, konflik yang terjadi di negeri ini adalah "Gaja
Paturtar Tojak Angha Lisat" dalam terjemahan bebas "Gajah Bertarung
Katak Terjepit dan Terlindas" bermakna elite-elite atau punggawa politik
berebut kekuasaan rakyat kecil tak bernoda, tak berdaya, tak berdosa menjadi
korban pertarungan perebutan kekuasaan para pemegang akses kekuasaan dan
berpengaruh besar ditengah masyarakat, bangsa dan negara.
Para pemegang akses kekuasaan (Gaja-red) mampu menggerakkan,
mengendalikan, memobilisasi segala kekuatan melalui kekuatan finansial, akses
sosial politik, gerakan massa untuk pertarungan perebutan kekuasaan dari lawan
politiknya agar bisa menguasai segala hal-ikhwal berbangsa dan bernegar.
Bila diperhatikan cermat dan seksama dari 270 juta lebih
penduduk Republik Indonesia tidak lebih dari satu persen elite kekuasaan
menguasai dan mengendalikan arah perjalanan roda pemerintahan dari waktu ke
waktu.
Sekalipun kuantitas mereka sangat sedikit atau minoritas
mereka mampu menguasai, mengendalikan, memobilisasi mayoritas "rakyat nama
tanpa wujud" dengan kemampuan mereka miliki.
Ketika para punggawa (Gaja-red) kekuasaan bertarung merebut
kekuasaan maka rakyat kecil, rakyat miskin, rakyat tak berdaya, rakyat tak
berdosa (Tojak-red) akan menjadi terjepit dan terlindas sebagaimana kearifan
budaya (culture wisdom), keatlrifan lokal (local wisdom) leluhur Batak Toba.
Para elite-elite politik pemegang akses kekuasaan telah
memanfaatkan "ketidakcerdasan" rakyat dengan berbagai framing
terminologi kata-kata seolah-olah memperjuangkan kepentingan rakyat sedang
diterpa berbagai kesulitan hidup sehingga mereka memosisikan diri "dewa
penyelamat" memberi air kehidupan di gurun pasir kering- kerontang.
Berbagai taktik strategi kamuflase pun dilancarkan
terstruktut, sistematis, masif (TSM) dengan kemasan-kemasan canggih untuk
membius alam sadar seperti; kedermawanan sesaat, kepedulian palsu, berlagak
dewa penyelamat, dll dengan kalkulasi kompensasi ketika kekuasaan telah
berhasil direbut dan dipegang nantinya.
Sesungguhnya biang kerok karut-marut yang terjadi ditengah
masyarakat, bangsa dan negara tidak lain dan tidak bukan hanyalah dipicu
pertarung perebutan kekuasaan dari segelintir elite politik (Gaja-red) ingin
berkuasa dan rakyat kecil tak berdaya (Tojak-red) terjepit dan mati terlindas.
Tapi anehnya rakyat marjinal yang telah mengalami
berulangkali kekecewaan dari pergantian kekuasaan mudah tergoda rayuan- rayuan
palsu dari elite-elite politik yang selalu ingkar janji atau wanprestasi atas
komitmen politik pada kontestasi politik sebelum- sebelumnya.
Padahal Bung Karno telah mengingatkan, "Hanya keledai
mau terperosok dua kali ke dalam satu lobang yang sama" artinya rakyat
harus pintar dan cerdas melihat, mengenal elite-elite politik haus kuasa yang
tidak sungguh-sungguh memperjuangkan nasib penderitaan rakyat dalam arah kebijakan
negara selama ini.
Rakyat seharusnya melacak dan menelusuri rekam jejak digital
para elite politik apakah mereka benar-benar tulus ikhlas memperjuangkan
kemaslahatan masyarakat secara holistik atau hanya memperjuangkan kepentingan
politik pribadi, kelompok, golongan sebagaimana dipertontonkan para politisi
yang menjadikan kekuasaan sebagai tujuan.
Bila mereka benar-benar ingin merebut kekuasaan sebagai alat
perjuangan mewujudkan kepentingan rakyat, nusa dan bangsa maka mereka tidak
akan menghalalkan segala cara, seperti; mengadudomba, membenturkan anak-anak
Ibu Pertiwi Indonesia dengan isu-isu sektarian-primordial sentimen suku, agama,
ras, dan antargolongan (SARA), politik identitas serta menyebar berita hoax
atau kebohongan, fitnah, hasut, hujat, nyinyir, culas, provovasi, agitasi,
ujaran kebencian menimbulkan kekacauan, kegaduhan, keonaran berbangsa dan
bernegara.
Indikasi-indikasi ini tidak terlalu sulit dan sukar
melacaknya apabila rakyat tidak mudah tergoda dan terkecoh rayuan-rayuan mulut
manis bermasker kedermawanan palsu dan kepedulian kamuflase bermahar
kompensasi.
Kearifan budaya bumi Nusantara dan salah satu diantaranya
kearifan budaya Batak Toba "Gaja Paturtar Tojak Angha Lisat"
membangun kecerdasan bahwa karut-marut politik di negeri ini tidak lain tidak
bukan hanyalah imbas "Pertarungan perebutan kekuasaan segelintir elite
politik haus kuasa" mengorbankan nasib rakyat tak bersalah dan berdosa.
Bila para elite politik haus kuasa berhenti berebut
kekuasaan dan mau duduk bersama memikirkan kemajuan nusa dan bangsa maka
kegaduhan, kekacauan, keonaran politik pasti segera berakhir dan kondusivitas
berbangsa dan bernegara akan terwujud nyata. Bravo Indonesia.....!!! Salam Introspeksi
diri....!!! Horas.....!!! Salam NKRI....!!!
Penulis adalah Pemerhati Pembangunan dan Seni Budaya