WahanaNews.co | Jembatan Bantengan di Jalan Klaten-Karanganom, Klaten, Jawa Tengah, menyimpan kisah tentang eksekusi seratusan tahanan yang diduga terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI) setelah Gerakan 30 September (G-30-S).
Berikut kesaksian sejumlah warga di sekitar jembatan yang berada di wilayah Desa Tarubasan, Karanganom, itu.
Baca Juga:
Wakapolres Subulussalam Hadiri Upacara Peringatan Hari Kesaktian Pancasila
"Sebelum untuk menguburkan (orang-orang yang diduga berkaitan dengan) PKI, namanya sudah Jembatan Bantengan. Dulu (bangunan) jembatannya tidak begitu," kata warga setempat, Sartono (70), kepada wartawan, Jumat (23/9/2022) siang.
Menurut Sartono, Jembatan Bantengan dulunya terbuat dari bambu dan kayu.
Jalannya menurun dan sering untuk memandikan kerbau.
Baca Juga:
Warga Klaten Ditembak OTK Saat Melintas di Kampung, Polisi Lakukan Penyelidikan
"Saya tidak tahu pasti, tapi mungkin karena untuk memandikan kerbau jadi disebut Bantengan. Dulu jembatan sesek bambu," imbuh Sartono.
Warga lain, Priyo Suharjo (74), menuturkan, jembatan itu dulunya jalan menurun dan terbuat dari bambu.
"Jembatan bambu, menurun jalannya. Sejak dulu juga namanya Bantengan," kata Priyo kepada wartawan.
Saat dipilih sebagai tempat eksekusi, Priyo mengatakan, para tahanan yang diduga berkaitan dengan PKI itu dibariskan di bawah jembatan.
"Mereka diminta berdiri di cekungan, di bawah kanan kiri jembatan. Ya kadang ada 10 atau 15 orang yang ditembak, turunnya (dari truk) di pojok desa itu lalu disuruh jalan kaki (sampai ke jembatan)," kenang warga Desa Tempursari itu.
Saat orang-orang itu ditembaki, kata Priyo, suaranya terdengar sampai ke desa sekitar.
Warga desa di sekitar jembatan itu pun beramai-ramai menonton dari jauh.
"Rumah saya pinggir jalan, kalau ada tembakan, warga dari desa sekitar ramai melihat. Setelah selesai, dikuburkan seadanya, sehingga bau," lanjut Priyo.
Karena dikubur secara asal, imbuh Priyo, aroma busuk dan anyir darah mayat-mayat itu menyebar.
Bau busuk itu masih tercium sampai berminggu-minggu.
Walhasil, warga sekitar jembatan kemudian menyempurnakan penguburannya.
"Suami saya juga ikut mengubur, karena biasanya cuma dikubur sekenanya. Daripada bau, ya dikubur oleh warga sekitar jembatan," ucap nenek 9 cucu itu.
Mereka menyempurnakan penguburan itu secara sukarela.
"Meski sudah dikubur, kalau lewat masih ada baunya. Sekarang ditumbuhi pohon bambu dan pisang," pungkas Priyo. [gun]