WAHANANEWS.CO, Jakarta - Tak ada yang bisa memprediksi bagaimana hidup seseorang bisa berubah dalam sekejap. Kadang, sebuah perjalanan singkat bisa menjadi awal dari kisah luar biasa yang mengguncang dunia.
Inilah yang dialami Juliane Koepcke, seorang remaja perempuan yang mendadak harus menghadapi ujian hidup yang luar biasa di tengah belantara Amazon.
Baca Juga:
Respons Bahlil Terkait Kader Golkar Megawati Zebua Cekcok dan Diduga Cekik Pramugari di Pesawat
Juliane Koepcke sama sekali tidak menyangka apa yang akan menantinya saat menaiki pesawat LANSA Penerbangan 508 pada malam Natal, tanggal 24 Desember 1971.
Gadis berusia 17 tahun itu tengah melakukan perjalanan dari Lima, Peru menuju kota Pucallpa yang terletak di bagian timur negara tersebut.
Ia ditemani oleh ibunya dalam perjalanan tersebut, dengan tujuan mengunjungi sang ayah yang bekerja sebagai ahli zoologi di tengah hutan hujan Amazon.
Baca Juga:
Aturan Tak Tertulis Soal Pakaian Saat Terbang: Hindari Ini Demi Kenyamanan & Keamanan
Baru sehari sebelumnya, Juliane merayakan kelulusannya dari sekolah menengah. Ia membawa serta harapan dan rencana masa depan — ingin mengikuti jejak kedua orang tuanya dan mendalami ilmu zoologi.
Namun dalam waktu singkat, segalanya berubah drastis. Perjalanan udara yang semestinya hanya berlangsung sekitar satu jam itu tiba-tiba menjadi bencana ketika pesawat mereka dihantam badai petir.
Kilat menyambar badan pesawat dan menyebabkan kerusakan parah, hingga pesawat mulai kehilangan kendali dan terjun bebas ke dalam hutan lebat di bawahnya.
“Saat itu, ibu saya berkata, ‘Sekarang semuanya sudah berakhir,’” kenang Juliane Koepcke dalam sebuah wawancara.
Beberapa saat kemudian, struktur pesawat mulai hancur di udara. Juliane yang masih terikat pada kursi pesawat terlepas dari badan pesawat yang kini terurai di langit.
Yang berikutnya ia sadari, dirinya terjatuh dari ketinggian sekitar 10.000 kaki — dan mendarat menembus kanopi hutan.
Secara menakjubkan, Juliane selamat dari insiden mengerikan itu. Namun, perjuangannya belum selesai. Di sinilah awal dari kisah ketahanan dan tekad yang luar biasa dimulai.
Kehidupan Awal: Anak Hutan yang Tangguh
Juliane Koepcke lahir di kota Lima pada 10 Oktober 1954. Ia merupakan anak tunggal dari pasangan ilmuwan zoologi asal Jerman yang pindah ke Peru demi mempelajari keanekaragaman satwa liar.
Sejak dekade 1970-an, ayah Juliane dikenal aktif melobi pemerintah untuk melindungi kawasan hutan dari ancaman pembukaan lahan, perburuan liar, dan ekspansi pemukiman yang merusak lingkungan.
Keluarga Koepcke memiliki dedikasi tinggi terhadap kelestarian alam. Mereka bahkan meninggalkan kenyamanan kota dan membangun Panguana, sebuah stasiun penelitian terpencil yang terletak di tengah hutan hujan Amazon.
Di tempat itulah Juliane tumbuh besar, belajar hidup berdampingan dengan alam liar, memahami kerasnya lingkungan, dan mempelajari keterampilan bertahan hidup di salah satu ekosistem paling ekstrem di dunia.
“Saya tumbuh besar dengan kesadaran bahwa tak ada yang benar-benar aman — bahkan tanah yang saya pijak pun bisa berubah,” kata Juliane, yang kini dikenal dengan nama Dr. Juliane Diller, dalam wawancaranya dengan The New York Times pada tahun 2021.
Ia melanjutkan, “Kenangan masa kecil itulah yang berulang kali membantu saya tetap tenang saat menghadapi situasi sulit.”
Salah satu kenangan paling membekas tentu saja adalah pengalaman mengerikan yang terjadi pada Malam Natal tahun 1971.
Penerbangan itu direncanakan berlangsung selama satu jam, namun baru sekitar 25 menit di udara, nasib membawa Juliane masuk ke dalam salah satu kisah bertahan hidup paling luar biasa sepanjang sejarah penerbangan.
Kecelakaan LANSA 508
Juliane Koepcke duduk di kursi 19F di samping ibunya di pesawat berpenumpang 86 orang itu ketika tiba-tiba, mereka mendapati diri mereka berada di tengah badai petir besar.
Pesawat itu terbang ke pusaran awan hitam pekat dengan kilatan petir yang berkilauan melalui jendela.
Saat barang bawaan keluar dari kompartemen atas, ibu Koepcke bergumam, "Semoga ini baik-baik saja." Namun, sambaran petir menyambar mesin pesawat, dan pesawat hancur berkeping-keping.
"Apa yang sebenarnya terjadi adalah sesuatu yang hanya dapat Anda coba rekonstruksi dalam pikiran Anda," kenang Koepcke.
Dia menggambarkan jeritan orang-orang dan suara mesin hingga yang dapat didengarnya hanyalah angin di telinganya.
"Hal berikutnya yang saya tahu, saya tidak lagi berada di dalam kabin," ujar Koepcke. "Saya berada di luar, di udara terbuka. Saya tidak meninggalkan pesawat; pesawat telah meninggalkan saya."
Masih terikat di kursinya, Juliane Koepcke menyadari dia terjatuh bebas dari pesawat. Kemudian, ia kehilangan kesadaran.
Ketika ia terbangun, dia telah jatuh 10.000 kaki ke tengah hutan hujan Peru dan secara ajaib hanya mengalami luka ringan. Bagaimana Juliane Koepcke Bertahan Hidup di Hutan Hujan Selama 11 Hari
Pusing karena gegar otak dan syok atas pengalaman itu, Juliane Koepcke hanya bisa mencerna fakta-fakta dasar.
Ia tahu bahwa dia selamat dari kecelakaan pesawat dan ia tidak bisa melihat dengan jelas dengan satu matanya.
Dengan tulang selangka yang patah dan luka dalam di betisnya, ia kembali tidak sadarkan diri.
Butuh waktu setengah hari bagi Koepcke untuk benar-benar bangun. Awalnya, ia berusaha mencari ibunya tetapi tidak berhasil.
Namun, dalam perjalanan, Koepcke menemukan satu sumur kecil. Meskipun ia merasa putus asa saat itu, ia teringat nasihat ayahnya untuk mengikuti air ke hilir karena di sanalah peradaban akan berada.
Dia menjelaskan, “Sungai kecil akan mengalir ke sungai yang lebih besar, lalu ke sungai yang lebih besar dan lebih besar lagi, dan akhirnya Anda akan menemukan pertolongan.”
Maka Koepcke pun memulai perjalanannya yang sulit ke hilir. Terkadang ia berjalan, terkadang ia berenang.
Pada hari keempat perjalanannya, ia bertemu dengan tiga penumpang lainnya yang masih terikat di kursi mereka.
Mereka mendarat dengan kepala terlebih dahulu di tanah dengan kekuatan yang sangat kuat sehingga mereka terkubur sedalam tiga kaki dengan kaki mereka menjulur lurus ke atas.
Salah satu dari mereka adalah seorang wanita, tetapi setelah memeriksa, Koepcke menyadari itu bukan ibunya.
Di antara para penumpang ini, Koepcke menemukan sekantong permen. Itu akan menjadi satu-satunya sumber makanannya selama sisa hari-harinya di hutan.
Sekitar waktu inilah Koepcke mendengar dan melihat pesawat penyelamat dan helikopter di atas, tetapi usahanya untuk menarik perhatian mereka tidak berhasil.
Kecelakaan pesawat itu telah mendorong pencarian terbesar dalam sejarah Peru, tetapi karena kepadatan hutan, pesawat tidak dapat menemukan puing-puing dari kecelakaan itu, apalagi satu pun orang.
Setelah beberapa lama, Juliane Koepcke tidak dapat mendengar mereka dan tahu dia benar-benar sendirian untuk mencari pertolongan.
Penyelamatan Koepcke
Pada hari kesembilan penjelajahannya di hutan, Juliane Koepcke menemukan satu gubuk dan memutuskan beristirahat di sana, di mana ia teringat akan pikirannya bahwa dia mungkin akan mati sendirian di hutan.
Namun kemudian, dia mendengar suara-suara. Suara-suara itu milik tiga penebang kayu Peru yang tinggal di gubuk itu.
"Pria pertama yang saya lihat tampak seperti malaikat," ujar Koepcke.
Para pria itu tidak merasakan hal yang sama. Mereka sedikit takut padanya dan pada awalnya mengira ia adalah roh air yang mereka percayai yang disebut Yemanjabut.
Namun, mereka membiarkannya tinggal di sana selama satu malam lagi dan keesokan harinya, mereka membawanya dengan perahu ke rumah sakit setempat yang terletak di kota kecil di dekatnya.
Setelah 11 hari yang mengerikan di hutan, Koepcke diselamatkan. Setelah dirawat karena luka-lukanya, Koepcke dipertemukan kembali dengan ayahnya.
Saat itulah dia mengetahui ibunya juga selamat dari jatuh, tetapi meninggal tak lama kemudian karena luka-lukanya.
Juliane Koepcke membantu pihak berwenang menemukan pesawat itu, dan selama beberapa hari, mereka berhasil menemukan dan mengidentifikasi mayat-mayat tersebut.
Dari 92 orang di dalam pesawat itu, Juliane Koepcke adalah satu-satunya yang selamat.
Kehidupan Juliane Koepcke Pascapemulihan
Kehidupan setelah kecelakaan traumatis itu sulit bagi Juliane Koepcke. Dia menjadi pusat perhatian media dan ia tidak selalu digambarkan dalam sudut pandang yang sensitif.
Koepcke mengembangkan rasa takut yang mendalam untuk terbang, dan selama bertahun-tahun, dia mengalami mimpi buruk yang berulang.
Namun, dia selamat seperti saat ia berada di hutan. Ia akhirnya melanjutkan studi biologi di Universitas Kiel di Jerman pada tahun 1980, dan kemudian ia menerima gelar doktornya.
Dia kembali ke Peru untuk melakukan penelitian di bidang mamalia. Ia menikah dan menjadi Juliane Diller.
Pada tahun 1998, ia kembali ke lokasi kecelakaan untuk membuat film dokumenter Wings of Hope tentang kisahnya yang luar biasa.
Dalam penerbangannya bersama sutradara Werner Herzog, ia sekali lagi duduk di kursi 19F. Koepcke menganggap pengalaman itu sebagai terapi.
Itulah pertama kalinya ia mampu fokus pada insiden itu dari kejauhan dan, dengan cara tertentu, memperoleh rasa tuntas yang menurutnya masih belum ia dapatkan.
Pengalaman itu juga mendorongnya menulis memoar tentang kisah bertahan hidupnya yang luar biasa, When I Fell From the Sky.
Meskipun telah mengatasi trauma akibat peristiwa itu, ada satu pertanyaan yang masih menghantuinya: Mengapa ia satu-satunya yang selamat?
Juliane Koepcke mengatakan pertanyaan itu terus menghantuinya. Seperti yang ia katakan dalam film itu, "Itu akan selalu terjadi."
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]