WahanaNews.co
| Pada
tanggal 21 April 2021, Indonesia dikejutkan dengan kabar hilangnya kapal selam
KRI Nanggala-402 di perairan Bali saat sedang menjalani latihan.
Panglima TNI, Marsekal Hadi Tjahjanto,
menyebutkan bahwa kapal selam menghilang tidak lama setelah diberikan izin
menyelam dan diperkirakan berada di palung dengan kedalaman 700 meter di bawah
permukaan air.
Baca Juga:
6 Fakta Menarik Halmahera Barat, Ada Pantai yang Bisa Mengusir Kegalauan Pengunjungnya
KRI Nanggala-402 yang hilang membawa 53 awak
kapal dengan cadangan oksigen yang hanya bisa bertahan selama 72 jam.
TNI telah mengerahkan banyak KRI lain untuk
melakukan penyelamatan terhadap 53 awak kapal tersebut.
Hal ini kemudian ramai dibicarakan di media
sosial, terutama mengenai mengapa para awak kapal selam tidak keluar dari pintu
emergency dan berenang ke luar untuk menyelamatkan dirinya sendiri?
Baca Juga:
Serahkan Rumah Pada Ahli Waris KRI Nanggala 402, Bupati Sidoarjo Dampingi Menhan Prabowo
Berikut penjelasannya:
Hal pertama yang harus diketahui adalah kapal
selam tidak memiliki pintu emergency yang bisa dibuka dengan leluasa.
Pintu kapal selam jauh lebih rumit dari yang
dibayangkan karena dirancang agar tidak bisa dimasuki air laut.
Untuk penggantinya, ada kompartemen penyelamat
di mana bagian tersebut tidak bisa dimasuki air karena memiliki sistem isolasi
walau bagian lain kapal selam telah bocor.
Dilansir dari San Francisco Maritime
National Park Association, dalam kompartemen tersebutlah awak kapal
menyelematkan diri.
Kesempatan mereka untuk tetap selamat juga
bergantung pada kedalaman air tempat kapal selam tersebut berada.
Tekanan Hidrostatis Air Laut
Jika KRI Nanggalang-402 hilang di kedalaman
700 meter, apakah yang terjadi jika kru nekat keluar dari kapal?
Jika awak kapal membuka pintu kapal selam
pada kedalaman tersebut, air akan memasuki kapal dengan sangat cepat dan
mebanjiri kapal dalam hitungan detik.
Dalam kedalaman rendah, awak kapal mungkin
masih bisa menahan tekanan air yang masuk dan mencoba berenang ke luar.
Namun di kedalaman 700 meter, kondisi air
tidak seperti yang dirasakan di kolam renang.
Dilansir dari Schmidt Ocean Institute,
tekanan hidrostatis air meningkat sebanyak 1 atm setiap kedalaman 10 meter.
Jika tekanan di udara adalah 1 atm, maka
tekanan di kedalaman 700 meter adalah 700 atm.
Sementara manusia hanya bisa bertahan pada
tekanan sekitar 3 hingga 4 atm.
Berenang dalam air laut di kedalaman 700
adalah hal yang tidak mungkin bagi manusia, rasanya mungkin akan sama seperti
dinjak 100 ekor gajah di kepala.
Saat air masuk ke kapal selam, kurang dari
hitungan detik gendang telinga akan pecah, paru-paru akan termampatkan,
menyebabkan rasa sakit yang luar biasa lalu pecah, selanjutkan akan diikuti
oleh pembuluh darah dan organ seluruh tubuh yang ikut hancur.
Sehingga membuka pintu kapal selam dan
berenang keluar adalah hal yang mustahil kecuali kapal selam tersebut masih
berada di kedalaman dangkal.
Penyelamatan Eksternal
Sebagai referensi, kita bisa melihat
penyelamatan kapal selam yang pernah terjadi.
Misalnya, kapal selam mini Priz AS-28 Rusia,
yang tenggelam di Samudera Pasifik pada 7 Agustus 2005 karena terjerat kabel.
Pemerintah Rusia dibantu Inggris, Amerika
Serikat, dan Jepang melakukan pencarian dan mengevakuasi kapal selam.
Setelah posisi kapal dan penyebabnya terjebak
ditemukan, tim penyelamat mulai memotong kabel yang menjeratnya.
Dilansir dari Maritime Journal,
setelah kabel yang menjerat Priz AS-28 dipotong, tangki pemberatnya diledakkan,
sehingga kapal bisa kembali naik ke permukaan.
Sehingga, semua awak kru Priz AS-28 bisa
selamat setelah 3 hari lebih terjebak dalam kapal tersebut.
Dari hal tersebut, kita dapat menyimpulkan
bahwa penyelamatan eksternal (bantuan tim penyelamat) adalah jalan keluar
paling baik untuk menyelamatkan awak kapal KRI Nanggala-402 yang hilang.
Namun, waktu adalah musuh dalam penyelamatan
kapal selam.
Awak kapal harus segera diselamatkan sebelum
persediaan oksigen habis dan sebelum mereka terjangkit penyakit akibat banyak
menghirup karbon dioksida dalam kapal yang tenggelam. [dhn]