WAHANANEWS.CO, Jakarta - Fenomena orang lebih nyaman bercerita kepada orang asing ketimbang kepada sahabat dekat atau keluarga, semakin sering dijumpai dalam keseharian.
Psikolog komunikasi Prasanti mengungkap, kondisi itu tak lepas dari cara manusia mencari telinga yang benar-benar mau mendengar tanpa menghakimi.
Baca Juga:
Kasus Bunuh Diri Mahasiswi PPDS Undip, Polisi Dalami Dugaan Perundungan
“Curhat ke orang asing kadang terasa lebih ringan karena mereka tidak punya keterikatan emosional dengan kita. Mereka tidak membawa beban penilaian, sehingga kita lebih bebas mengekspresikan perasaan,” kata Prasanti dalam keterangannya pada Kamis (2/10/2025).
Menurutnya, orang asing kerap menjadi wadah aman untuk menumpahkan keluh kesah. Tidak ada rasa takut akan digosipkan, tidak ada kekhawatiran rahasia menyebar ke lingkaran terdekat.
“Mereka tidak punya kepentingan apa pun, jadi kita bisa merasa netral,” ujarnya.
Baca Juga:
Kapolres Gorontalo Gelar Jumat Curhat Bersama Masyarakat Kecamatan Limboto
Namun, Prasanti menegaskan bahwa fenomena ini juga membawa sisi risiko. Curhat kepada orang asing, apalagi tanpa mengenali latar belakangnya, berpotensi menimbulkan masalah lain.
“Bisa saja informasi yang kita berikan disalahgunakan, atau orang asing itu justru tidak paham konteks, sehingga memberi respons yang salah arah,” kata dia.
Di tengah fenomena ini, muncul tren baru yang lebih mencolok: banyak orang justru memilih curhat ke kecerdasan buatan (AI).
Layanan berbasis AI kini hadir 24 jam, selalu siap “mendengar”, serta memberi jawaban instan tanpa rasa lelah. Sebagian orang merasa lebih nyaman karena AI dianggap tidak pernah menghakimi.
Namun, menurut sejumlah pakar, kebiasaan ini pun mengandung dampak negatif yang tidak boleh diabaikan.
Ada risiko privasi, sebab data percakapan bisa tersimpan dan digunakan untuk kepentingan lain. Selain itu, jawaban AI tidak selalu akurat atau sesuai konteks pribadi, sehingga berpotensi menyesatkan.
Efek lain yang patut dicermati adalah berkurangnya interaksi sosial nyata. Jika terlalu bergantung pada AI, seseorang bisa kehilangan koneksi emosional dengan manusia di sekitarnya.
“Curhat ke AI tidak memberi sentuhan empati yang sesungguhnya, karena ia hanya mesin. Akhirnya, kita bisa merasa makin kesepian,” ungkap seorang pengamat komunikasi digital.
Tidak berhenti di situ, ada pula ancaman candu. Kebiasaan menuangkan isi hati ke AI secara berlebihan bisa membuat individu enggan membuka diri di dunia nyata.
Padahal, dalam situasi krisis, manusia tetap membutuhkan dukungan emosional dan moral yang nyata dari orang-orang terdekat maupun tenaga profesional.
Prasanti pun menekankan pentingnya keseimbangan. Menurutnya, tidak ada salahnya sesekali curhat ke orang asing atau bahkan mencoba curhat ke AI, selama hal itu dilakukan dengan kesadaran akan batas dan risikonya.
“Yang terpenting adalah jangan menutup diri dari hubungan sosial yang sehat. Dukungan keluarga, sahabat, atau konselor tetap tidak tergantikan,” tutupnya.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]