WahanaNews.co | Kesadaran dan pengetahuan masyarakat di Indonesia akan penyakit kanker ovarium masih sangat rendah. Selain itu, rendahnya kesadaran ini juga membuat banyak penderita kanker ovarium enggan menjalani pengobatan yang tepat.
Belum banyak yang memahami soal risiko, tanda, maupun gejala salah satu jenis kanker yang hanya dialami perempuan ini. Padahal, riset membuktikan satu dari 78 perempuan berisiko menderita kanker ovarium dalam hidupnya.
Presenter sekaligus penyintas kanker ovarium, Shahnaz Haque mengatakan ada banyak informasi tidak bertanggungjawab yang berkembang di masyarakat.
Baca Juga:
Cekik dan Banting Wanita di Lift Hotel Jakbar, Polisi Pacar Korban Ditangkap Polisi
Akibatnya, orang yang didiagnosis menderita kanker ovarium malah memilih pengobatan yang tidak sesuai ilmu kesehatan. Sebagai contohnya, banyak penderita kanker ovarium yang lebih memilih pergi ke dukun dibandingkan ke dokter.
"Orang banyaknya malah ke dukun, takut kalau ke dokter nanti malah ovariumnya diambil jadi tidak bisa punya anak," jelasnya dalam jumpa media virtual kampanye 10 jari, kemarin.
Tindakan lain yang juga banyak diambil adalah menjalani pengobatan alternatif yang cenderung tidak masuk akal. Misalnya menjalani praktik yang mengklaim dapat memindahkan kanker ke batu, hewan, atau barang lainnya.
Baca Juga:
Kiprah 6 Perempuan Tangguh yang Menginspirasi Warga Dunia
Sesat pikir ini membuat banyak pasien kanker ovarium akhirnya tidak tertolong dan meninggal dunia. Padahal, ketika pertama kali didiagnosis menderita kanker ovarium, sangat penting untuk berkonsultasi dengan ahli medis dan menjalani terapi yang tepat.
Pembedahan dan kemoterapi yang kini menjadi pengobatan umum untuk kanker ovarium masih memiliki keberhasilan tinggi jika dilakukan di stadium awal.
"Jangan takut dengan pengobatannya, takutlah pada penyakitnya," tandas istri musisi Gilang Ramadhan.
Perempuan penderita kanker nekat ke dukun karena takut diangkat rahimnya atau tak bisa memiliki anak jika memeriksakan diri ke dokter. Dr. dr. Brahmana Askandar, SpOG(K), K-Onk, Ketua Himpunan Onkologi Ginekologi Indonesia (HOGI) mengatakan kekhawatiran ini seharusnya tidak beralasan.