WahanaNews.co | Ekstrovert identik dengan orang-orang yang ceria dan memiliki kemampuan bersosialisasi yang baik.
Berbeda dari orang dengan kepribadian introvert, orang ekstrovert senantiasa penuh energi dan menyebarkan aura positif.
Baca Juga:
Membantah Mitos: 5 Cara Menjadi Pengusaha Sukses bagi Si Introvert
Meski demikian, orang ekstrovert juga bisa terkena stres dan depresi lho. Hanya saja, orang terdekat seperti teman atau anggota keluarga lebih sulit mendeteksi gejala depresi pada orang ekstrovert ketimbang orang introvert.
Fakta ini "tertuang" pada studi yang dimuat dalam jurnal International Psychogeriatrics. Alasan depresi pada ekstrovert sulit dideteksi Peneliti studi Paul D.
Duberstein, profesor psikiatri di University of Rochester Medical Center di New York, AS menjelaskan mengapa gejala stres dan depresi sulit dikenali pada orang ekstrovert.
Baca Juga:
Cenderung Introvert, Ini Ciri-ciri Orang dengan Intelektualitas Tinggi Menurut Psikologi
Ia menilai, orang terdekat mungin kesulitan melihat orang ekstrovert yang bahagia dan menyenangkan sebagai orang yang sedih atau tertekan.
"Jika saya tahu seseorang ekstrovert, saya tahu mereka bersikap hangat, sosial, menyenangkan," kata Duberstein kepada MyHealthNewsDaily.
"Sangat sulit bagi seseorang untuk melihat orang ekstrovert selain dari itu."
Peneliti bertanya kepada hampir 200 orang berusia 60 tahun ke atas untuk mengungkapkan apakah mereka mengalami depresi atau memiliki riwayat depresi.
Kemudian, peneliti menilai tingkat ekstroversi peserta melalui tes kepribadian, serta mewawancarai teman dan anggota keluarga mereka tentang apakah peserta pernah mengalami depresi atau tidak.
Para peneliti juga sudah memperhitungkan faktor-faktor seperti kedekatan dan lamanya hubungan.
Hasil studi Hasilnya, semakin ekstrovert individu, semakin kecil kemungkinan teman dan anggota keluarga memperhatikan gejala depresi pada individu tersebut.
Duberstein tidak mengharapkan hasil ini. Justru dia berharap orang introvert akan lebih sulit mengungkapkan tanda-tanda depresi.
"Kami menjalankan analisis ini dengan berbagai cara untuk memastikan temuan itu kuat, dan saya tidak bisa membantah temuan itu," tuturnya.
Walau peserta yang dilibatkan adalah orang berusia lanjut, temuan ini juga bisa berlaku untuk orang yang lebih muda.
"Gagasan gambaran yang lebih besar adalah ketika depresi terlewatkan, maka itu tidak terlewatkan secara acak," lanjut Dubenstein.
"Orang dengan gaya kepribadian tertentu lebih mungkin mengalami depresi yang tidak disadari oleh teman dan anggota keluarga, itulah intinya."
Duberstein menekankan agar kita tidak terlalu cepat berasumsi jika orang ekstrovert yang dicintai tampak selalu bahagia dan tidak pernah stres atau depresi.
"Hanya karena orang itu bahagia, supel, mudah bergaul, hangat, dan suka berteman, bukan berarti mereka kebal dari depresi," papar Dubenstein.
Studi ini merupakan bagian dari studi besar yang meneliti mengapa lansia memiliki tingkat bunuh diri lebih tinggi daripada orang yang lebih muda.
Dalam temuan tersebut, orang tua yang imajinatif dan terbuka terhadap pengalaman baru lebih kecil kemungkinannya untuk bunuh diri dibandingkan orang yang berpikiran sempit dan tidak fleksibel. [rna]