WahanaNews.co, Jakarta - Penelitian menunjukkan bahwa seseorang, terutama pria, yang secara finansial bergantung pada pasangannya cenderung tidak setia.
Menurut laporan dari Forbes, sebuah studi yang berjudul "Her Support, His Support: Money, Masculinity, and Marital Infidelity" menemukan bahwa dalam pasangan heteroseksual usia 18 hingga 32 tahun, mereka yang memiliki pendapatan lebih rendah daripada pasangan memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk terlibat dalam perselingkuhan pernikahan.
Baca Juga:
Polisi Biadab di Makassar, Dipergoki Selingkuh Lalu Seret Istri di Jalanan Pakai Mobil
Temuan ini didasarkan pada data dari National Longitudinal Survey of Youth, yang dikumpulkan antara 2001 dan 2011 oleh Christin L. Munsch, seorang asisten profesor sosiologi di University of Connecticut.
Munsch menyatakan, "Temuan ini mengindikasikan bahwa baik pria maupun wanita tidak menyukai ketidaksetaraan dalam hubungan mereka. Ketika mereka membandingkan diri mereka dengan pasangan, mereka tidak ingin terus merasa tidak sepadan."
Siapa yang memiliki potensi lebih besar untuk berselingkuh, pria atau wanita?
Baca Juga:
Dugaan Penistaan Agama, Polda Metro Jaya Panggil Istri Pejabat Kemenhub
Dalam penelitiannya, Munsch meneliti korelasi antara tingkat pendapatan dan kemungkinan seseorang terlibat dalam perselingkuhan.
Sebagai contoh, individu yang memiliki penghasilan lebih tinggi cenderung dianggap sebagai pencari nafkah, sementara mereka yang berpenghasilan rendah lebih mungkin bergantung secara ekonomi pada pasangan mereka.
Studi tersebut menemukan bahwa meskipun kedua jenis kelamin memiliki risiko perselingkuhan yang lebih tinggi ketika tergantung pada pasangan untuk dukungan ekonomi, ternyata ada perbedaan perilaku yang mencolok antara pria dan wanita.
"Temuan kami menunjukkan bahwa, meskipun laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki potensi untuk berselingkuh saat bergantung secara ekonomi, pria cenderung lebih mungkin terlibat dalam perselingkuhan daripada wanita," tambahnya.
Menurut Munsch, hal ini didasari karena secara historis laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah keluarga. Laki-laki yang bergantung secara ekonomi kepada istri merasa "dikebiri" alias kehilangan maskulinitas oleh istrinya yang menjadi pencari nafkah.
Oleh karena itu, pria cenderung terlibat dalam perilaku selingkuh yang dianggap sebagai tindakan "maskulin" sebagai respons terhadap rasa sakit yang mereka alami akibat tergerusnya maskulinitas mereka.
Sementara itu, wanita yang memegang peran sebagai pencari nafkah memiliki potensi lebih rendah untuk terlibat dalam selingkuh. Menurut Munsch, secara tradisional, wanita bergantung pada suami untuk dukungan, sehingga wanita yang mencari nafkah merasa kurang terancam dengan perubahan status quo.
Dalam usaha untuk menjaga hubungan, wanita dengan pendapatan lebih tinggi justru sangat berhati-hati agar tidak merusak perasaan dan harga diri suaminya.
"Wanita pencari nafkah sangat menyadari bahwa mereka melanggar norma, sehingga mereka melakukan tindakan yang dapat meningkatkan maskulinitas suaminya," ungkap Munsch.
"Contohnya, seorang istri mungkin memberikan kartu kredit kepada suaminya, sehingga saat makan di restoran, suaminya akan berperilaku seolah-olah dia yang membayar," tambahnya.
Menurut Munsch, tindakan-tindakan kecil seperti itulah yang dijadikan "alternatif" selingkuh bagi perempuan demi mempertahankan hubungan pernikahannya.
Laki-laki yang pendapatannya lebih besar tetap berpotensi selingkuh
Studi Munsch juga menemukan bahwa laki-laki tetap cenderung selingkuh meskipun mereka adalah pencari nafkah keluarga. Menurut Munsch, hal ini terjadi karena laki-laki yang berpenghasilan lebih tinggi merasa lebih berkuasa.
"Ada penelitian lain yang juga membahas tentang kekuasaan dan perselingkuhan. Orang-orang yang memiliki kekuasaan cenderung selingkuh," ujar Munsch.
Namun demikian, laki-laki yang menjadi pencari nafkah memiliki risiko lebih rendah untuk terlibat dalam perselingkuhan dibandingkan dengan laki-laki yang mengandalkan istri mereka secara ekonomi.
"Peningkatan jumlah pria pencari nafkah hanya sedikit jika dibandingkan dengan peningkatan jumlah pria yang bergantung pada istri mereka secara ekonomi," ungkap Munsch.
Penelitian Munsch menyimpulkan bahwa laki-laki yang menyumbang 70 persen dari total pendapatan sebagai pencari nafkah, sementara perempuan hanya menyumbang 30 persen sisanya, memiliki kemungkinan lebih rendah untuk terlibat dalam perselingkuhan. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa suami cenderung tidak merasa terancam terhadap harga dirinya.
Meskipun demikian, penting untuk tidak terlalu khawatir, karena risiko perselingkuhan masih dianggap kecil, bahkan di antara laki-laki yang sepenuhnya bergantung pada istri mereka.
"Meskipun ada kemungkinan lebih tinggi bagi laki-laki untuk berselingkuh ketika mereka bergantung secara ekonomi, prediksi kemungkinan perselingkuhan dalam setahun hanya sekitar 15 persen jika mereka benar-benar bergantung secara ekonomi," kata Munsch.
"Jadi, 85 persen dari laki-laki yang bergantung secara ekonomi tidak terlibat dalam perselingkuhan," tambahnya.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]