WAHANANEWS.CO, Jakarta - Tragedi nuklir Chernobyl pada 26 April 1986 menjadi salah satu bencana terbesar dalam sejarah modern.
Ledakan reaktor di kota kecil Ukraina itu menewaskan sekitar 60 ribu jiwa seketika dan meninggalkan jejak radiasi yang dampaknya masih terasa hingga kini.
Baca Juga:
IAEA Minta Akses ke PLTN Zaporizhzhia
Awalnya, Chernobyl adalah bagian dari ambisi besar Uni Soviet untuk menguasai energi nuklir dunia. Sejak 1977, mereka telah membangun reaktor berdaya 1.000 megawatt cukup untuk memasok listrik sebuah negara selama bertahun-tahun.
Pada 1986, empat reaktor sudah beroperasi penuh, sementara beberapa lainnya masih dalam tahap percobaan.
Mengutip The Guardian, percobaan dilakukan untuk memastikan sistem pendingin dapat bekerja tanpa henti. Pendinginan mutlak diperlukan agar inti reaktor tidak panas berlebihan.
Baca Juga:
Genjot Energi Nuklir, Presiden Prancis Janji Perancis Tidak Gunakan Energi Fosil
Generator pun diaktifkan agar turbin tetap menyalurkan air ke dalam sistem.
Namun, persoalan muncul dari kepemimpinan yang buruk. Deputi Kepala Teknisi Anatoly Stepanovich Dyatlov bersikeras tes dilakukan hari itu juga, meski teknisi menilai tidak siap.
Kepala Teknisi Nicholai Fomin pun mengabaikan fakta bahwa tenaga reaktor hanya 200 megawatt, jauh di bawah batas minimal 700 megawatt.
Mengutip Chernobyl: 01:23:40 (2014), Fomin bahkan menutup-nutupi kondisi tersebut. Akibat ancaman mutasi, para teknisi akhirnya terpaksa menuruti perintah Dyatlov.
Saat malam tiba, generator dijalankan. Turbin sempat berfungsi, namun daya melemah hingga suhu inti reaktor melonjak tajam.
Tombol SCRAM yang seharusnya bisa mengaktifkan sistem darurat ternyata tidak berfungsi karena tak pernah diperiksa.
Dalam hitungan menit, suhu reaktor mencapai 3.000 derajat Celcius sebelum akhirnya meledak hebat.
Gelombang radiasi menyebar luas ketika warga masih tertidur. Banyak yang tidak sempat menyelamatkan diri.
Bahkan, alat pendeteksi radiasi kala itu tak mampu mengukur tingkat paparan saking tingginya. Keesokan paginya, debu nuklir beterbangan, menandai awal dari malapetaka panjang.
BBC melaporkan, total korban jiwa akibat radiasi dalam jangka panjang mencapai 90 ribu orang. Sementara 600 ribu lainnya menderita paparan radiasi meski tidak meninggal.
WHO mencatat, efek radiasi Chernobyl menjalar hingga 200 ribu km ke wilayah Eropa, dan kawasan itu diperkirakan baru bisa dihuni kembali setelah 20 ribu tahun.
Dari peristiwa ini, ada pelajaran penting yang bisa dipetik: kepemimpinan yang bijak, keterbukaan informasi, serta uji coba yang detail dengan prosedur ketat mutlak diperlukan dalam proyek berisiko tinggi demi menyelamatkan jutaan nyawa.
[Redaktur: Ajat Sudrajat]