WahanaNews.co, Jakarta - Ikan belida kembali terdeteksi di Jawa setelah sebelumnya diumumkan telah punah pada tahun 2020 oleh Lembaga Konservasi Dunia (IUCN).
Penemuan ini dilakukan oleh tim peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang bekerja sama dengan berbagai organisasi, baik dalam negeri maupun luar negeri.
Baca Juga:
Pemerintah Aceh Bagikan 7,5 Ton Ikan Segar Cegah Inflasi dan Stunting
Para peneliti menggunakan metode morfologi dan molekuler dengan melakukan analisis urutan asam deoksiribonukleat (DNA) barcoding berdasarkan data genetik global Barcode of Life Data (BOLD).
Selanjutnya, mereka membandingkan karakterisasi morfologi dengan koleksi spesies Chitala lopis yang disimpan di Natural History Museum, London.
"Jika ditinjau secara intraspesifik, jarak genetik C. lopis, C. Hypselonotus, dan C. borneensis sangat rendah sehingga pembeda gen mitochondrial antarspesies tidak identik," kata peneliti sekaligus Kepala Pusat Riset Konservasi Sumber Daya Laut dan Perairan Darat BRIN, Arif Wibowo, dikutip dari Kompas.id.
Baca Juga:
Program Makan Gratis, Menteri KKP: Menu Ikan Harus Disesuaikan dengan Wilayahnya
"Karakter morfologi C. lopis memiliki tinggi tubuh posterior dan panjang pre-dorsal lebih dominan dibandingkan C. Borneensis," sambungnya.
Hasilnya, ikan belida Chitala lopis masih ada di Pulau Jawa. Penemuan ini sekaligus memperluas sebaran spesies tersebut di tiga pulau, yakni Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.
Penjelasan BRIN
Haryono, Peneliti Utama di bidang Ikan (Iktiologi) dari Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi-BRIN, menyatakan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan spesies yang sebelumnya dianggap punah kemudian ditemukan kembali adalah intensitas penelitian.
Meskipun IUCN telah melakukan penilaian sebelumnya sebelum memasukkan ikan belida Chitala lopis ke dalam daftar merah, penelitian yang mendalam dapat menghasilkan kesimpulan bahwa ikan tersebut sebenarnya masih ada atau mengalami rediscovery (penemuan kembali).
"Salah satu faktor penyebabnya adalah intensitas penelitian. Bisa jadi hewan tersebut masih ada dengan populasi yang rendah dan tidak ada penelitian, sehingga tidak terungkap atau tidak ditemukan," ungkap Haryono, melansirKompas.com, Senin (18/12/2023).
Tak hanya pada ikan belida Chitala lopis, rediscovery juga pernah terjadi pada hewan lain yang telah dinyatakan punah tetapi ditemukan lagi, salah satunya adalah mamalia endemik di Pegunungan Cyclops yaitu echidna paruh panjang attenborough (Zaglossus attenboroughi).
Berbeda dengan ikan belida Chitala lopis yang ditemukan setelah 3 tahun dinyatakan punah, Zaglossus attenboroughi baru ditemukan 62 tahun lagi setelah dinyatakan punah.
"Kata kuncinya adalah penelitian sangat diperlukan. Bisa jadi ada suatu hewan yang masih banyak populasinya di suatu wilayah tetapi tidak pernah dilakukan penelitian atau eksplorasi, maka tidak pernah terungkap (keberadaannya)," jelas Haryono.
Selain menguak fakta eksistensi ikan belida, temuan ini juga menjawab persoalan taksonomi ikan belida di Indonesia.
Menurut para ahli, mayoritas ikan belida di Indonesia termasuk dalam spesies C. lopis. Namun, jenis lain yang sering ditemukan adalah C. borneensis dan C. hypselonotus.
Padahal, menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1 Tahun 2021 tentang Jenis Ikan yang Dilindungi, terdapat empat spesies famili Notopteridae yang dilindungi.
Tiga di antara spesies tersebut adalah C. lopis, C. borneensis, dan C. hypselonotus.
Menindaklanjuti temuan ini, IUCN mengungkapkan, spesies Chitala termasuk spesies dengan kategori least concern yang mengindikasikan tingkat risiko kepunahan masih rendah di Indonesia, kecuali C. lopis yang dianggap punah.
Dengan temuan C. lopis ini, status konservasi pada IUCN perlu dievaluasi. Selain itu, diperlukan pula revisi status konservasi C. hypselonotus dan C. borneensis dari least concern menjadi critically endangered (kritis) karena keterbatasan stok dan sebaran.
Upaya pelestarian ikan belida
Dengan ditemukannya ikan belida setelah dinyatakan punah, diperlukan upaya konservasi untuk melestarikan kembali ikan spesies Chitala itu.
Menurut Haryono, upaya pelestarian ikan belida bisa dimulai dari peraturan terkait jenis ikan dilindungi yaitu Kepmen KP no 1 tahun 2021 yang disampaikan melalui edukasi, sosialisasi, dan sanksi yang tegas.
Selain itu, perlu dilakukan pula upaya domestikasi dan restocking.
"Konservasi secara in situ dan ex situ sangat diperlukan termasuk menjaga kondisi habitatnya agar tetap dapat mendukung atau layak untuk hidup dan berkembang biak ikan tersebut," kata Haryono.
Edukasi kepada masyarakat juga penting untuk dilakukan, terutama terkait pengenalan jenis ikan dilindungi, kenapa jenis ikan tersebut dilindungi dan tidak boleh ditangkap, tindakan yang harus dilakukan apabila tidak sengaja menangkap ikan tersebut, serta sanksi bagi oknum yang melanggar atau melakukan penangkapan ikan tersebut.
"Begitu pula kepada para pemangku kepentingan terkait di sekitar habitat ikan," tandas Haryono.
Tampilan fisik ikan belida
Ikan belida, sebuah spesies ikan air tawar yang umum dijumpai di perairan Indonesia, memiliki potensi sebagai komoditas bisnis, baik sebagai ikan hias maupun bahan konsumsi manusia.
Secara fisik, tubuh ikan belida memiliki bentuk memanjang yang menyerupai pisau atau lidah sehingga sering disebut sebagai knife fish atau ikan pisau.
Ikan ini termasuk dalam suku kecil dan mudah dikenali melalui bentuk sirip yang panjang yang terhubung dengan sisik-sisik kecil yang mirip dengan sirip ekor.
Ukuran ikan belida umumnya berkisar antara 15-90 sentimeter, tetapi tubuhnya dapat tumbuh hingga mencapai 150 sentimeter.
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (Kepmen KP) Nomor 1 tahun 2021 mencatat bahwa Indonesia memiliki empat spesies ikan belida, yaitu belida borneo (Chitala borneensis), belida sumatera (Chitala hypselonotus), belida lopis (Chitala lopis), dan belida jawa (Notopterus notopterus).
Namun, populasi ikan belida mengalami penurunan karena seringkali ditangkap secara berlebihan dan menggunakan alat tangkap yang merugikan lingkungan.
Penelitian menunjukkan bahwa ikan belida semakin langka karena eksploitasi berlebihan, sementara keberlanjutan penangkapan tetap terjadi karena ikan ini memiliki nilai ekonomi tinggi dan digunakan sebagai bahan baku untuk berbagai makanan, termasuk pempek dan kerupuk.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]