WAHANANEWS.CO, Jakarta - Generasi Z yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012 adalah kelompok yang benar-benar tumbuh beriringan dengan kemajuan teknologi.
Sejak kecil, mereka sudah terbiasa berinteraksi dengan layar, baik televisi, komputer, maupun ponsel pintar.
Baca Juga:
Menginspirasi Generasi Z: Zizie, Mahasiswa dengan Semangat Berwirausaha
Internet bukan lagi barang mewah bagi mereka, melainkan kebutuhan harian.
Semua serba cepat: informasi tersedia di ujung jari, hiburan hanya satu klik, dan tren global menyebar ke seluruh dunia dalam hitungan detik.
Kehidupan terasa praktis, penuh pilihan, dan serba instan.
Baca Juga:
KPU Gorontalo Sosialisasikan Pendidikan Pemilih bagi Generasi Milenial dan Gen-Z di Daerah
Namun, di balik kemudahan itu, muncul fenomena yang semakin mendapat perhatian: hedonisme di kalangan anak muda.
Bukan berarti seluruh Gen Z hanya memikirkan kesenangan, tetapi pola hidup yang menekankan pada kepuasan instan memang lebih mudah tumbuh di dunia digital.
Generasi ini terbiasa memesan makanan secara daring dan menerimanya dalam beberapa menit, menonton film kapan saja tanpa menunggu jadwal tayang, atau menemukan jawaban dari Google dalam sekejap.
Kebiasaan ini membentuk ekspektasi bahwa kebahagiaan seharusnya datang cepat, tanpa proses panjang atau pengorbanan berarti.
Media sosial turut menjadi panggung besar gaya hidup ini. Platform seperti Instagram dan TikTok kerap menampilkan kehidupan “sempurna” yang dipenuhi barang mewah, liburan eksotis, dan pengalaman premium.
Budaya konsumerisme digital pun tumbuh, menjadikan kemewahan sebagai tolok ukur kesuksesan.
Ditambah lagi, fenomena FOMO (fear of missing out) mendorong sebagian anak muda untuk mengikuti tren dan mengeluarkan uang demi sekadar “tidak ketinggalan”, meskipun kebutuhan sebenarnya tidak mendesak.
Dampaknya tak bisa diremehkan. Secara individu, banyak yang kesulitan mengelola keuangan karena terbiasa berbelanja impulsif ketimbang menabung.
Kemampuan menunda kepuasan menurun, sementara tekanan sosial dari perbandingan di media sosial dapat memengaruhi kesehatan mental.
Secara sosial, hal ini berpotensi mengikis empati, memperlebar jarak antara kelompok ekonomi, dan menurunkan minat terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan.
Beberapa faktor memperkuat tren ini: algoritma media sosial yang terus menampilkan konten konsumtif, tekanan dari teman sebaya, minimnya pendidikan finansial di sekolah maupun di rumah, serta berkurangnya komunikasi intens antara orang tua dan anak.
Nilai-nilai hidup yang dulu diajarkan secara langsung kini kerap tergeser oleh arus informasi digital.
Meski begitu, fenomena ini bukan tanpa solusi. Sekolah, keluarga, dan masyarakat memiliki peran penting untuk membentuk keseimbangan pola pikir Gen Z.
Pendidikan karakter, literasi digital, dan literasi finansial dapat diintegrasikan dalam pembelajaran.
Proyek sosial yang melibatkan kontribusi nyata kepada masyarakat dapat menumbuhkan empati dan rasa tanggung jawab.
Di rumah, komunikasi terbuka antara orang tua dan anak menjadi kunci.
Menunjukkan bahwa kebahagiaan tidak selalu berasal dari barang mahal atau liburan mewah akan lebih efektif daripada hanya memberi nasihat.
Mengajak anak terlibat dalam kegiatan sosial atau kerja sukarela juga dapat menanamkan nilai bahwa berbagi sama berharganya dengan menerima.
Media sosial sendiri, jika digunakan secara bijak, dapat menjadi sarana positif.
Mengajarkan anak memahami cara kerja algoritma, mengembangkan kreativitas, dan memproduksi konten inspiratif dapat mengubah peran mereka dari sekadar konsumen menjadi kreator.
Pada akhirnya, hedonisme di kalangan Gen Z adalah refleksi perubahan zaman.
Fenomena ini sebaiknya tidak hanya dipandang negatif, melainkan dipahami sebagai dinamika generasi yang hidup di tengah percepatan teknologi.
Dengan bimbingan yang tepat, mereka tetap bisa menikmati kemajuan digital sambil memegang teguh nilai kemanusiaan, kesadaran finansial, dan tanggung jawab sosial.
Jika semua pihak bersinergi, tantangan ini bisa menjadi peluang untuk melahirkan generasi muda yang tidak hanya cerdas teknologi, tetapi juga bijak dan berempati.
[Redaktur: Ajat Sudrajat]