WahanaNews.co | Profesor
yang berbasis di Swiss, Sai Reddy mengakui bahwa istilah Covid-22 yang ia
gunakan untuk memprediksi gelombang baru penularan Covid-19 tahun 2022,
merupakan sebuah kekeliruan.
Baca Juga:
Tips Cara Mengatur Ruang Pribadi Hindari Konflik dengan Pasangan Saat Pandemi
Ia mengakui tidak tepat menamai kemungkinan gelombang baru
penularan Covid-19 itu sebagai Covid-22 yang kemudian menimbulkan kebingungan
masyarakat.
"Saya ingin meluruskan, tidak tepat menyebutnya sebagai
Covid-22, karena nama resmi dan yang benar untuk penyakit yang disebabkan oleh
SARS-CoV-2 adalah Covid-19," tuturnya mengutip iNews.
Istilah Covid-22 yang
pertama kali dilontarkan oleh Profesor yang berbasis di Swiss, Sai Reddy,
menjadi trending di media sosial dan mengundang kritik para ahli.
Baca Juga:
Dukung Estafet Keketuaan ASEAN 2024, Indonesia Beri Hibah ke Laos Senilai Rp 6,5 Miliar
Para ahli pun mengkritik penamaan Covid-22 untuk fase
pandemi berikutnya pada 2022 yang kemungkinan akan menghadirkan varian yang
lebih berbahaya akibat mutasi varian virus corona.
Professor Jeremy Rossman, dosen honorer senior bidang
virologi di University of Kent, tidak membenarkan untuk memberi label varian
virus corona dengan cara ini dan mengatakan tidak ada yang namanya Covid-22.
"Kriteria untuk varian baru yang disebut Covid-22 tidak
ditentukan saat ini; Bukan hanya varian baru, namun hal ini juga memungkinkan
munculnya spesies virus baru. Sebagai referensi, kami hanya memiliki satu
spesies Covid-19 saat ini." Kata Rossman seperti dikutip dari NewsWeek,
Rabu (25/8).
Sebelumnya, Profesor Imunologi dari Universitas ETH, Sai
Reddy, melontarkan istilah Covid-22 dalam wawancara dengan koran berbahasa
Jerman-Swiss, Blick, terkait pandemi.
Dalam wawancara itu Sai melontarkan istilah Covid-21 dan
Covid-22. Covid-21 disebut sebagai gambaran gelombang baru infeksi virus corona
imbas munculnya varian Delta di 2021.
Sementara pernyataan Covid-22 yang ia lontakan adalah untuk
menunjukkan kemungkinan gelombang penularan Covid-19 baru yang lebih buruk dari
tahun ini, pada awal tahun 2022 sekitar Januari hingga Maret.
"Yang ingin saya sampaikan adalah ketika SARS-CoV-2 berevolusi
secara harfiah, pemikiran kita tentang bagaimana merespons dan menangani
pandemi juga harus berkembang," tambahnya.
Bahkan dengan varian Covid saat ini, Istilah Covid-22 atau Covid-21
tidak ada, sebab para ilmuwan belum mengidentifikasi mutasi genetik yang
menyebabkan virus menjadi spesies baru. Rossman menambahkan bahwa mungkin saja
kita tidak akan pernah menggunakan istilah seperti ini.
Mark Harris, seorang profesor di School of Molecular and
Cellular Biology di University of Leeds, juga mempertebal kritik tersebut dan
menyebut istilah Covid-22 "tidak membantu dan tidak akurat."
"Covid adalah singkatan dari Penyakit Coronavirus.
Virus yang menyebabkan ini adalah SARS-CoV-2," ungkapnya. "Delta
bukan Covid-21 atau varian dari Covid-19, ini adalah varian dari SARS-CoV-2.
Setiap varian di masa depan juga akan menjadi SARS-CoV-2." tambahnya.
Senada dengan itu, profesor Kebijakan dan Manajemen
Kesehatan di School of Public Health City University of New York (CUNY), Bruce
Y. Lee, mengatakan bahwa belum ada Covid-20 atau Covid-21 karena semua varian
yang muncul selama pandemi yang sedang berlangsung berasal dari garis keturunan
atau keluarga yang sama dengan SARS-CoV-2.
"Alpha, Beta, Delta, Gamma, Lambda, dan varian
perhatian dan minat lainnya yang terdaftar di situs web Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) semuanya dihasilkan dari mutasi progresif pada materi genetik
SARS-CoV-2," kata Lee seperti dikutip dari Forbes, Selasa (24/8).
Menanggapi hal tersebut, Profesor Reddy mengklarifikasi
komentarnya tentang Covid-22 dalam sebuah pernyataan, ia tidak mengharapkan
pernyataanya menimbulkan kritik dan reaksi heboh di media sosial.
"Saya tidak menyadari bahwa saya menggunakan istilah "Covid-21"
atau " Covid-22" akan menyebabkan reaksi seperti itu," katanya.
Reddy mengatakan bahwa negara-negara di seluruh dunia telah
melakukan kebijakan yang melonggarkan mobilitas setelah sebelumnya menerapkan
lockdown. Namun dalam beberapa kasus, ada juga yang kembali menerapkan lockdown
karena lonjakan kasus masih terus meningkat.
"Sekarang ketika kita mulai berpikir tentang 2022, kita
perlu mempertimbangkan kembali bagaimana menanggapi Covid-19. Pikiran saya yang
disebutkan di atas memperjelas bahwa meningkatkan vaksinasi dan akses ke
vaksinasi adalah prioritas yang paling penting." Kata Reddy. [rin]