WahanaNews.co | Kabupaten Sumedang memiliki banyak sejarah yang menarik untuk diketahui publik. Salah satunya adalah sejarah dari Pohon Hanjuang yang memiliki makna kuat dalam peradaban di Kabupaten Sumedang.
Diketahui, selama ini Pohon Hanjuang atau disebut juga pohon andong atau pohon ti, oleh banyak orang dipercaya memiliki khasiat bagi kesehatan.
Baca Juga:
Antusiasme Warga Warnai Kunjungan Irwansyah Putra ke Pasar Inpres Sumedang
Akan tetapi, secara tradisi pohon ini suka dipakai sebagai simbol pembatas lahan perkebunan atau pesawahan. Bahkan, sebagian orang percaya jika Pohon Hanjuang sebagai sawen tolak bala atau cara tradisional untuk menolak berbagai gangguan kekuatan gaib dan wabah penyakit.
Di Kabupaten Sumedang sendiri atau tepatnya di Dusun Pangjeleran, Desa Padasuka, Kecamatan Sumedang Utara, ada sebuah situs bernama situs pohon hanjuang yang usiaya telah mencapai ratusan tahun.
Pohon hanjuang tersebut konon syarat akan nilai sejarah. Pohon tersebut tumbuh dalam bangunan benteng seluas kurang lebih 4 meter x 5 meter.
Baca Juga:
Gebyar Pelayanan Prima 2024, Sumedang Kembali Bawa Pulang Penghargaan Bergengsi
Namun sayangnya, pohon hanjuang yang tumbuh saat ini merupakan sisa dari akar-akar pohon hanjuang yang pernah ada.
Disebut pernah ada karena pohon hanjuang sebelumnya yang memiliki batang sebesar betis orang dewasa dengan tinggi sekitar 4 meteran telah raib dicuri orang pada sekitaran 2000 - 2010
"sebelum saya jadi juru kunci disini, dulu mah pohon hanjuang ini besar sebesar betis, bahkan dari jalan bisa kelihatan. Namun antara tahun 2000 sampai 2010 ke bawah ada yang ngambil dan siapa yang mengambilnya tidak ada orang yang tahu," ungkap Apun (70) sambil menyebutkan bahwa ia menjadi juru kunci situs tersebut sejak tahun 2020.
Pohon hanjuang tersebut konon ditanam oleh Jaya Perkosa sebagai sebuah petanda yang ditujukan bagi Prabu Geusan Ulun yang saat itu sebagai Raja Kerajaan Sumedang Larang.
Hal itu sebagaimana yang tercantum dalam sebuah tulisan prasasti di dalam situs tersebut.
"Kula Nanjeurkeun ieu tangkal hanjuang
Ciri asih ka Prabu Geusan Ulun
Meun Seug ieu tangkal hanjuang daunna subur
Ciciren kula unggul
Tapi meun seug ieu tangkal hanjuang
Layu atau perang
Ciciren kula ka soran di palagan"
±1585
"Saya menandaskan pohon hanjuang ini, sebagai tanda kasih sayang kepada Prabu Geusan Ulun
Kalau semisal pohon hanjuang ini daunnya subuh, itu pertanda saya menang. Tapi kalau semisal pohon hanjuang ini layu atau perang, itu pertanda saya kalah di medan perang" ±1585.
Menurut Apun, tulisan diatas berkaitan dengan peristiwa peperangan antara Kerajaan Sumedang Larang dengan Kasultanan Cirebon.
Saat itu, sambung Apun, Jaya Perkosa berpesan kepada Prabu Geusan Ulun jika pohon hanjuang itu tumbuh subur maka itu tandanya ia memenangkan dalam laga peperangan tersebut. Sementara jika sebaliknya maka ia menerima kekalahan.
"Makanya disana ada tertulis kata 'ka soran', itu artinya kalah," terangnya.
Mengenal Sosok Jaya Perkasa atau Jaya Perkosa atau Jaya Prakosa atau Sang Hyang Hawu
Jaya Perkosa sendiri, sambung Apun, adalah seorang utusan pada saat peristiwa penyerahan mahkota Binokasih dari Kerajaan Padjadjaran ke Kerajaan Sumedang Larang.
"Kerajaan Sumedang Larang saat itu berada di Kawasan Kutamaya atau sekarang di daerah sekitaran Desa Padasuka, Kecamatan Sumedang Utara," paparnya.
Menurut cerita, kata Apun, Jaya Perkosa ini memiliki 2 saudara lainnya. Salah satu adiknya,yakni Eyang Nanggana, sementara adiknya yang lain tidak diketahui.
"Situs Eyang Jaya Perkosa itu ada di Dayeuh Luhur Ganeas, sementara situs Eyang Nanggana tidak jauh dari situ juga atau di Cileuwi," ujarnya.
Sementara itu, dilansir dari Sejarah Kerajaan Sumedang Larang, Jurnal Patanjala Vol. 3, No. 1, pp. 161-166 (Euis Thresnawaty S, 2011), disebutkan bahwa Jaya Perkosa atau Jaya Prakosa atau Sang Hyang Hawu merupakan salah satu dari empat kandage late atau empat bersaudara mantan Senapati Kerajaan Sunda Padjadjaran.
Tiga mantan Senapati Kerajaan Sunda Padjadjaran lainnya, yakni Batara Dipati Wiradijaya (Mbah Nanganan), Sang Hyang Kondang Hapa dan Batara Pancar Buana (Mbah Terong Peot).
Keempat kandaga late ini mendapat utusan dari Prabu Raga Mulya atau dikenal juga dengan sebutan Prabu Surya Kencana atau Prabu Nusya Mulya sebagai pemegang kekuasaan terakhir Kerajaan Padjadjaran untuk menyerahkan Mahkota Binokasih kepada Kerajaan Sumedang Larang yang saat itu Rajanya bernama Prabu Geusan Ulun.
Mahkota Binokasih merupakan mahkota yang dikenakan oleh Raja-raja Padjadjaran secara turun temurun. Runtuhnya Kerajaan Sunda Padjadjaran membuat Kerajaan Sumedang Larang secara otomatis menjadi sebagai pewaris tahta kekuasaan pada masa itu. [rsy]