WahanaNews.co | Herry Mulya, ahli waris Anas Burhan, pemilik
tanah di Jalan Akasia 2, RT 001 RW 09, Kelurahan Tajur, Kecamatan
Ciledug, Kota Tangerang, Banten, buka suara soal polemik tembok beton
yang dianggap menutup akses rumah warga.
Kepada wartawan, dia
menceritakan alasannya membangun tembok beton tersebut.
Baca Juga:
TM dan MH Diciduk Polisi Gara-gara Narkotika: Ini Kronologinya!
Dia juga mengklaim, pembangunan tembok tersebut telah melalui proses pembicaraan dan
mediasi dengan pihak terkait dan warga.
"Itu ada [mediasi] dan kami ikut
semua. Makanya kalau enggak itu mediasi tembok segitu mah pasti kita sudah
dibakar orang bikin pagar segitu kokoh," ucap Herry, Minggu (21/3/2021).
Menurut Herry, pihak-pihak terkait, termasuk warga, awalnya memang menolak rencana pembangunan tembok
beton.
Baca Juga:
Begini Kronologi Pencurian Bersajam, yang Dilaporkan di Polsek Batangkuis
Namun, setelah ia mengeluarkan bukti
kepemilikan tanah, semuanya setuju.
"Karena bukan mereka yang
terdampak tapi ada warga ratusan orang yang pakai jalan itu di sana yang
keberatan. Waktu itu ramai, segala macam orang di situ yang saya hadapi.
Sehingga setelah menunjukkan bukti-bukti maka akhirnya para pihak setuju untuk
membolehkan kami pagar," ujarnya.
Selain itu, ia juga
membantah temuan hasil peninjauan lapangan yang dilakukan oleh jajaran Pemkot
Tangerang bersama BPN Kota Tangerang yang menyebut bidang tanah yang menjadi
polemik telah tercatat sebagai jalan.
Menurutnya, tanah itu masih milik
mendiang orangtuanya, Anas Burhan.
Anas, kata Herry, tak pernah
menghibahkan tanah tersebut untuk menjadi jalan umum.
"Bentuknya akta jual-beli, tapi
itu lengkap semua dokumen mulai dari desa, lurah, camat, PPAT-nya, semuanya
ada. Jadi kalau ada pernyataan itu sudah dihibahkan itu tidak mungkin apa lagi
ada akta hibah," ucap dia.
Kronologi
Herry menceritakan kronologi tentang
pembangunan tembok beton tersebut.
Pada tahun 2007, Herry mengatakan
keluarganya terdesak kebutuhan dan membutuhkan uang.
Kata dia, sebagian tanah seluas 2.500
meter milik keluarganya harus ia jadikan jaminan.
Pada 2011, akhirnya dari tanah 2.500
meter, seluas 1.080 dibeli dan berpindah tangan ke Hadiyanti dan Al-Munir
Muchtar.
Namun, kata Herry, pihak Hadiyanti
mengklaim semua tanah itu miliknya.
"Diakui di mana-mana itu milik
dia. Mungkin setelah bertahun-tahun semenjak dia punya 2011 itu, dia meneruskan
bisnis kolam renang, fitness dan
semuanya," ucapnya.
"Padahal izinnya kami punya
semua, tidak termasuk objek yang dijual dan kami tidak menerima kompensasi satu
sen pun untuk itu," tambahnya.
Tahun 2009, Herry melihat pengumuman
di depan rumah Hadiyanti itu dijual.
Lantas ia pun mendatangi mereka dan
menawarkan diri untuk membeli kembali tanah tersebut.
Ia menawarkan Rp 500.000.000
untuk luas tanah 1.080 meter.
Namun, penawaran itu ditolak oleh
pihak Hadiyanti dengan alasan nominal yang diajukannya lebih rendah dari harga
beli Hadiyanti saat 2011.
"Alasannya katanya jauh lebih
kecil daripada waktu dia bayar ke saya. Padahal saya yang transaksi sama dia,
jauh lebih kecil dari yang kita tawarkan. Kemarin kami tawarkan Rp 500.000.000
untuk pembelian 1.080 meter plus bangunan dan kolam renang. Padahal, kami
terima waktu itu (waktu dibeli) Rp 157. 500.000,"
ucapnya.
Selain itu, Herry juga curiga tanah
yang akan dijual Hadiyanti itu termasuk tanah milik keluarganya.
Oleh sebab itu, ia melakukan mediasi
dan memagar batas tanah miliknya dengan pagar tembok beton.
"Yang kami khawatirkan adalah dia
waktu menawarkan memasukan tanah kami. Akhirnya kami berembug agar tidak ada
penyerobotan. Akhirnya kami minta dipagari," ucapnya.
Pemerintah Kota (Pemkot) Tangerang
telah merobohkan tembok beton yang dibangun keluarga Herry pada Rabu (17/3/2021).
Tembok setinggi 2,5 meter itu dianggap
menghalangi jalan umum dan menghambat aktivitas warga.
Namun, setelah perobohan tembok beton
itu Herry menyebut pihaknya akan kembali membeton ulang untuk menandai tanah
miliknya.
"Iya kami ada rencana untuk
memasang lagi setelah berkoordinasi dengan pihak terkait," ujarnya. [dhn]