WahanaNews,co | Luasan ruang terbuka hijau di DKI Jakarta yang menyusut menjadikannya bak barang mewah saat ini.
Komitmen perluasan dan pemanfaatan potensi ruang terbuka hijau sangat diperlukan di tengah perkembangan kota dan kerusakan lingkungan yang kian menekan Ibu Kota.
Baca Juga:
Bongkar Eks Gedung Johar Baru Teater, Walikota : Akan Difungsikan RTH
Tinggal di kota yang hijau, sejuk, dengan udara yang bersih adalah dambaan setiap orang.
Apalagi, jika tersedia banyak ruang publik yang rindang dan bersih untuk berolahraga atau sekadar duduk di taman menikmati suasana perkotaan.
Sayangnya, pemandangan itu menjadi langka di perkotaan, terutama di kota-kota besar.
Baca Juga:
Kelolah Sampah dengan Baik, Pontianak Terima Sertifikat Adipura
Dengan karakteristiknya yang padat penduduk, pembangunan tinggi, cepatnya perubahan lahan, ruang terbuka hijau (RTH) sulit untuk dipertahankan dan ditambah.
Padahal, RTH bermanfaat untuk menjaga keberlanjutan lingkungan perkotaan dengan menyerap polutan, menyediakan oksigen, mengurangi banjir, dan pengendali perkembangan kota.
Hal ini menjadi sorotan media arsitekturre-thinkingthefuture.com terhadap DKI Jakarta yang sempat ramai diberitakan beberapa waktu lalu.
Menurut situs ini, DKI Jakarta menjadi salah satu kota dengan penataan kota terburuk di dunia.
Salah satu yang mendasari pernyataan tersebut adalah kurangnya ruang publik dan ruang hijau.
Data luasan RTH di DKI Jakarta menunjukkan penyusutan dari tahun ke tahun.
Berdasarkan data yang disampaikan pakar arsitektur lanskap dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga, pada 2016, luas RTH DKI Jakarta pada 1965 masih 37,2 persen.
Namun, luas RTH DKI Jakarta lalu menurun menjadi 25,8 persen tahun 1985 dan 9 persen pada 2000.
Luas RTH sempat meningkat tetapi relatif kecil, yaitu 9,8 persen tahun 2010 dan 9,98 persen tahun 2015.
Padahal, menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, proporsi RTH pada wilayah kota minimal 30 persen dari luas wilayah.
Persentase ini terdiri dari 20 persen RTH publik dan 10 persen RTH privat.
DKI Jakarta dalam Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030 juga menargetkan luas RTH 30 persen dari luas wilayah DKI pada 2030.
Jika ditinjau per wilayah kota pun, tidak ada kota di DKI Jakarta yang mampu memenuhi standar.
Misalnya di Jakarta Timur, data Walhi 2020 menyebutkan kebutuhan RTH sesuai standar mencapai 5.641 hektar.
Namun, ketersediaannya saat ini hanya 635,68 hektar atau 11,3 persen dari total kebutuhan.
Dilihat dari capaian saat ini, target tersebut dirasa sulit terpenuhi.
Untuk memenuhi target RTH DKI Jakarta dibutuhkan penambahan 20,2 persen luas lahan hijau.
Masalahnya, perluasan RTH berjalan lambat. Dalam kurun waktu 20 tahun saja, penambahan luasan RTH hanya kurang dari 1 persen. Dari 9 persen pada 2000 menjadi sekitar 9,9 persen pada 2018.
Melemah
Ironisnya, penyusutan tersebut terjadi seiring dengan melemahnya kebijakan penataan ruang terkait penetapan target RTH.
RTH sudah menjadi bagian dari penataan Kota DKI Jakarta sejak 1965.
Namun, pada periode 1965-2010, luasan RTH yang ditargetkan terus menurun.
Target menurun seiring dengan laju pembangunan yang terus meningkat sehingga memberikan kesan bahwa peruntukan lahan untuk RTH sudah tidak banyak lagi tersedia.
Melalui Rencana Induk Jakarta 1965-1985 ditetapkan target luasan RTH seluas 37,2 persen atau 24.315,04 hektar.
Selanjutnya, pada 1984, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menetapkan luasan RTH seluas 25,85 persen melalui Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Jakarta 1985-2005.
Karena ada perubahan pada 1999, melalui RUTR 2005 kemudian digantikan RTRW DKI Jakarta 2010, luasan RTH ditargetkan seluas 13,94 persen atau 9.111,6 hektar.
Meski target diturunkan, Pemprov DKI belum mampu memenuhinya.
Misalnya, pada 2000, persentase RTH dari luas wilayah DKI Jakarta tersisa 9 persen.
Sementara menurut target seharusnya tersedia 13,94 persen.
Dengan demikian, komitmen untuk menjaga atau memperluas RTH masih kurang optimal.
Untungnya, dengan adanya UU Penataan Ruang, Pemprov DKI mengikuti standar yang ditetapkan, yaitu 30 persen dari luas wilayah.
Upaya ini patut diapresiasi sebagai wujud kepedulian pemerintah terhadap permasalahan RTH yang berlarut-larut dari tahun ke tahun.
Namun, upaya yang dilakukan masih jauh dari target.
Menambah luasan RTH tidak mudah dilakukan.
Dengan terus bertambahnya penduduk, bertambah pula kebutuhan ruang untuk tempat tinggal dan aktivitas.
Sementara lahan terbatas.
Akhirnya, kebutuhan ruang untuk hidup dan perekonomian lebih diutamakan.
Kondisi ini turut menambah rumit upaya menambah lahan melalui pembebasan lahan.
Hal ini berkaitan dengan permasalahan administrasi lahan dan harga tanah yang mahal.
Pada akhirnya, upaya penambahan RTH melalui pembebasan lahan dirasa kurang optimal dalam menunjang tercapainya target 2030.
RTH Eksisting
Memperluas lahan RTH juga diharapkan beriringan dengan upaya mempertahankan lahan hijau eksisting.
Hal ini tentunya berkaitan dengan membatasi pembangunan pada zona-zona yang sudah ditentukan sebagai RTH atau area dengan RTH.
Yang tidak banyak disadari adalah area-area RTH eksisting ini memiliki lanskap yang beragam, mulai dari yang terkelola, seperti taman kota, hutan kota, lapangan olahraga, pemakaman, hingga RTH yang tidak terkelola, seperti lahan tidak terbangun, rerumputan liar, atau bekas lahan terbangun.
Area tidak terkelola inilah yang justru memiliki potensi, tetapi sering terabaikan.
Berdasarkan jurnal Urban Green Space Distribution Related to Land Values in Fast-Growing Megacities, Mumbai and Jakarta - Unexploited Opportunities to Increase Access to Greenery for the Poor (2020), di DKI Jakarta, area RTH tidak terkelola ini mencapai 1.830,96 hektar.
Jumlah itu setara dengan 2,7 persen dari luas wilayah DKI.
Luasan itu merupakan 21,9 persen dari total RTH yang dimiliki DKI menurut pengolahan citra Landsat tahun 2017 yang mencapai 8.354,47 hektar.
Menurut pola sebarannya, RTH tidak terkelola ini cenderung berada di lahan-lahan dengan nilai tanah rendah.
Area hijau ini juga memiliki vegetasi yang lebih lebat dibandingkan RTH terkelola.
Dengan vegetasi yang lebih lebat ini, RTH tidak terkelola memiliki fungsi ekologis lebih tinggi dan berdampak bagi lingkungan kota.
Karena itu, mempertahankan area ini akan memberikan manfaat besar.
Keberadaannya di lahan bernilai rendah yang cenderung menjadi tempat bermukim kelompok masyarakat bawah juga memberikan kesetaraan manfaat ekologis bagi masyarakat tersebut.
Mengelola dan menata RTH menjadi ruang publik tanpa menghilangkan manfaat ekologisnya juga dapat menjadi solusi kurangnya ruang-ruang publik di DKI, khususnya bagi kelompok masyarakat menengah bawah.
Tantangan untuk mempertahankan area tersebut adalah mengatur pembangunan agar tidak menggusur RTH ini.
Dengan tuntutan perkembangan kota yang pesat, lahan bernilai rendah rentan menjadi sasaran penggusuran dan pembangunan.
Serupa dengan langkah itu, para pakar tata kota juga menyarankan pemanfaatan lahan yang tidak terpakai untuk dikelola menjadi RTH, misalnya dengan menyewa lahan-lahan kosong milik swasta yang tidak digunakan.
Melihat ragam kebijakan yang telah dibuat, target luasan RTH yang akan dicapai sudah jelas dan sesuai dengan standar nasional.
Namun, yang terpenting adalah tindakan nyata penerapan upaya-upaya perluasan area RTH.
Di sisi lain, memperluas RTH juga tidak akan berarti jika lahan hijau eksisting tidak turut dipertahankan.
Mempertahankan dan memperluas RTH kiranya menjadi bagian penting yang terus diperjuangkan dalam penataan kota.
Apalagi, ke depannya, perkotaan akan menghadapi tekanan pertumbuhan penduduk dan perubahan lingkungan yang lebih ekstrem.
Dalam masa pandemi, warga kota juga semakin menyadari dan mengharapkan ruang-ruang publik hijau yang dapat dimanfaatkan untuk berolahraga dan melepas penat.
Kota yang hijau dan rindang niscaya akan meningkatkan kualitas hidup warganya. [dhn]
Artikel ini sudah tayang di Kompas.id dengan judul "Menyoal Penyediaan Ruang Terbuka Hijau di Jakarta". Klik untuk baca: www.kompas.id/baca/riset/2021/08/31/menyoal-penyediaan-ruang-terbuka-hijau-di-jakarta/.