WahanaNews.co, Jakarta - Dalam waktu lima tahun terakhir, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Selatan telah menangani 127 insiden konflik antara buaya dan manusia di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Situasi ini dipicu oleh kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh penambangan bijih timah yang dilakukan secara ilegal.
Baca Juga:
BKSDA Bawa Orangutan Hasil Sitaan ke Pusat Rehabilitasi di Sumatera Utara
"Dalam lima tahun terakhir ini, konflik manusia dan buaya meningkat," kata Polhut Ahli Madya BKSDA Sumsel M Andriansyah di Pangkalpinang, melansir Antara, Selasa (5/3/2024).
Ia mengatakan konflik buaya dan manusia di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mencapai 127 kasus tersebar di Belitung Timur sebanyak 23 kasus, Belitung 6 kasus, Bangka Barat 10 kasus, Bangka Tengah 17 kasus, Bangka Selatan 15 kasus, Bangka 36 kasus, dan Pangkalpinang 20 kasus.
"Konflik antara buaya dan manusia ini telah menimbulkan masalah serius di banyak belahan dunia, termasuk Kepulauan Bangka Belitung," katanya.
Baca Juga:
Evakuasi Bayi Orangutan oleh BKSDA Kalimantan Barat dari Mata-Mata
Dia menyatakan bahwa bahaya konflik antara satwa dan masyarakat telah menjadi sangat signifikan, dengan manusia berisiko kehilangan properti dan bahkan nyawa.
Di sisi satwa, banyak yang menjadi korban dengan terbunuh, ditangkap, atau dilukai sebagai bentuk balas dendam manusia.
"Pada awal tahun ini, beberapa insiden buaya menyerang warga yang sedang mencari ikan dan menambang timah di kolam dan sungai telah terjadi, menyebabkan kerugian jiwa dan kehilangan anggota tubuh," ujarnya.
Menurutnya, alasan di balik serangan buaya terhadap manusia termasuk berburu makanan, mempertahankan wilayah, melindungi sarang atau anaknya, dan kadang-kadang disebabkan oleh kesalahan identitas.
"Beberapa serangan oleh buaya terjadi karena buaya merasa terpojok, sehingga buaya tersebut melakukan serangan sebagai respons terhadap apa yang dianggap sebagai ancaman di wilayahnya," jelasnya.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]