WAHANANEWS.CO, Sumedang - Sebuah video yang menampilkan adegan yang diduga sebagai penganiayaan terhadap seorang wanita oleh pacarnya telah menggemparkan dunia maya dan warga Sumedang.
Video tersebut sudah diunggah bersamaan oleh akun Instagram @maul**** serta akun @sekr*** sejak dua hari yang lalu. Kedua akun tersebut merupakan akun resmi pasangan korban dan pelaku, yang kini sudah mendapatkan sebanyak 9.226 like, 2.833 komentar serta 6.766 repost.
Baca Juga:
Polisi Kejar Pelaku Penyiram Air Keras ke Tubuh Wanita di Bekasi
Dalam video yang beredar luas tersebut, tampak seorang wanita menangis terisak dengan tangan seseorang mencengkeram lehernya. Unggahan berikutnya juga menampilkan tangkapan layar percakapan yang berisi kata-kata kasar.
Berdasarkan keterangan unggahan tersebut, korban yang diketahui bernama ASN mengaku telah menjalin hubungan dengan pemilik akun. Ia mengungkapkan bahwa dirinya kerap mengalami kekerasan, baik verbal maupun non-verbal, selama masa hubungan mereka.
"Menjalani hubungan selama satu tahun dengan pemilik akun ini, selama itu juga saya kerap mendapatkan kekerasan verbal dan non verbal, entah apapun masalahnya pemukulan yang saya dapatkan. Pengancaman yang tiada henti," tulis kalimat pertama dalam awal caption.
Baca Juga:
Bravo Polres Simalungun Ungkap Jaringan Narkoba, Sita 12,36 Gram Sabu-sabu dari Dua Tersangka
"Setiap ada kata (putus) yang bersangkutan tidak menerima, dan langsung kembali melayangkan pukulan, jambakan, tendangan, cekikan di leher, dan sentilan di hidung, di bibir, tonjokan, ya seperti itu," kata dia di kalimat kedua postingan.
"Seluruh hidup saya telah usai rasanya, semua dimanipulasi, saya merasa sangat hancur. Namun sampai saat ini tidak mendapat jalan keluar," sambungnya.
Dari caption terakhir dituliskan bahwa video saat terjadinya kekerasan tersebut diambil sendiri oleh sang pacar dari korban.
"Video diambil sendiri oleh dia. Sepenggal chat berikut tidak bisa menggambarkan betapa mengerikannya hidup dalam lingkaran setan ini. Saya berharap bisa selesai secara baik-baik dan kekeluargaan, namun pihak terkait terus mengancam saya," akhir kalimat dalam caption dipostingan tersebut.
ASN (22), korban dalam kasus ini, telah mencari perlindungan dari Pemerintah Kabupaten Sumedang melalui DPPKBP3A.
Kepala Bidang P3A, Ekki Riswandiyah, membenarkan hal tersebut dan menjelaskan bahwa kekerasan yang terekam dalam video viral itu terjadi pada Juni 2024 di Bandung.
Korban dan pelaku diketahui telah berpacaran hampir setahun, namun hubungan mereka diwarnai dinamika toksik, termasuk kecurigaan dan kecemburuan yang berlebihan, yang kerap memicu kekerasan verbal maupun non-verbal.
Menurut keterangan Ekki, korban sebenarnya telah berupaya mengakhiri hubungan pada Juni 2024, namun ditolak oleh pelaku. Setelah kembali bersama, korban kembali mengalami kekerasan dan akhirnya memutuskan untuk mencari perlindungan di DPPKBP3A Sumedang.
Awalnya, korban tidak berkeinginan untuk melaporkan kejadian ini ke pihak berwajib, melainkan memilih untuk mempublikasikan video tersebut, yang diambil dari akun Instagram pelaku.
Setelah itu, dikatakan Ekki, korban langsung dimintai keterangan oleh Polres Sumedang yang didampingi oleh pihaknya. Selain itu juga, masih kata Ekki, pihak korban sudah menghubungi Jabar Bantuan Hukum (JBH).
"Niatnya hanya ingin putus baik-baik dan tidak ada ancaman. Nah kemarin kami langsung mendampingi korban bersama dengan Unit PPA Polres Sumedang sampai malam bikin berita acara wawancara dan juga melihat kondisi psikis tapi pihak korban juga sudah menghubungi JBH Jabar Bantuan Hukum," ucap dia.
"Sebetulnya korban tidak ingin kasusnya naik ke tuntutan hukum karena memang pertama juga ingin pisah secara baik-baik tapi karena takut ancaman pencemaran nama baik sama undang-undang ITE jadi kelihatannya didampingi JBH untuk kasusnya tetap naik," sambungnya.
Menurut Ekki, korban yang merupakan warga Kecamatan Sukasari, Kabupaten Sumedang, saat kejadian sedang bekerja sebagai freelancer di Bandung, berdekatan dengan tempat tinggal pelaku.
"Kami melihat domisili korban. Oleh karena itu, Puspaga dan DPPKBP3A memberikan pendampingan psikologis kepada korban, sementara pendampingan hukum dilakukan oleh JBH dan Polres. Kami juga berupaya melakukan mediasi dengan keluarga pelaku," jelasnya.
Ekki menambahkan, korban masih mengalami trauma pasca insiden tersebut, diperburuk oleh ancaman yang diduga masih dilancarkan oleh pelaku, termasuk permintaan penghapusan video yang telah diunggah ke media sosial.
"Dari sisi psikis, kondisi korban masih diliputi rasa takut dan trauma. Hal ini diperparah oleh ancaman-ancaman yang terus dilayangkan pelaku, termasuk permintaan agar video tersebut dihapus," pungkas Ekki.
Psikolog Ungkap Pemicu Kekerasan
Kekerasan dalam hubungan pacaran, terutama yang dilakukan oleh pihak pria, belakangan ini semakin sering menjadi sorotan.
Fenomena ini tidak hanya menjadi masalah sosial, tetapi juga memprihatinkan dari sisi psikologis. Menurut Psikolog asal Bandung, Prasanti, kekerasan tersebut sering kali dipicu oleh berbagai faktor yang saling terkait, baik dari latar belakang individu maupun tekanan sosial.
“Kekerasan yang dilakukan oleh pria dalam hubungan pacaran sering kali berakar dari ketidakstabilan emosional. Banyak pelaku memiliki kesulitan mengelola emosi seperti kemarahan atau frustrasi, sehingga mereka cenderung melampiaskannya pada pasangan,” ujar Prasanti saat diwawancarai pada Jumat (13/12/2024).
Ia menambahkan, pola asuh di masa kecil juga menjadi faktor signifikan.
“Jika seseorang tumbuh di lingkungan penuh kekerasan atau menjadi korban kekerasan, mereka cenderung meniru pola perilaku yang pernah mereka alami. Ini membentuk pola pikir bahwa kekerasan adalah cara yang sah untuk menyelesaikan konflik,” jelasnya.
Tidak hanya itu, rasa insecure dan dorongan untuk mendominasi pasangan juga menjadi pemicu utama.
“Beberapa pria merasa tidak aman dalam hubungan dan mencoba mengontrol pasangan mereka dengan kekerasan. Ini adalah bentuk upaya mempertahankan kendali karena mereka merasa superioritasnya terancam,” tutur Prasanti.
Dari sisi sosial, norma gender dan maskulinitas toksik turut memperburuk keadaan. “Budaya patriarki sering kali menekan pria untuk menunjukkan kekuatan fisik sebagai bagian dari identitas mereka. Kekerasan digunakan sebagai cara menegaskan kekuasaan, terutama ketika mereka merasa kehilangan kendali atas pasangan,” ungkapnya.
Prasanti juga mencatat bahwa gangguan mental atau penyalahgunaan zat sering kali memicu kekerasan. “Kondisi seperti gangguan kepribadian, depresi, atau penyalahgunaan alkohol membuat seseorang kehilangan kemampuan berpikir rasional dan bertindak impulsif. Ini juga menjadi alasan mengapa beberapa pria melakukan kekerasan,” katanya.
Ia mengakhiri penjelasannya dengan menyoroti pentingnya keterampilan komunikasi dalam hubungan.
“Kekerasan juga sering terjadi karena ketidakmampuan menyelesaikan konflik dengan sehat. Pelaku memilih kekerasan sebagai jalan pintas karena mereka tidak tahu cara berkomunikasi secara efektif,” kata Prasanti.
Untuk mengatasi fenomena ini, Prasanti mengimbau masyarakat untuk lebih peduli terhadap pendidikan emosional sejak dini.
“Pendidikan emosional, terapi psikologis, dan upaya mengubah norma gender yang merugikan adalah langkah yang harus diambil agar kekerasan dalam hubungan dapat diminimalkan,” tutupnya.
[Redaktur: Sandy]