WAHANANEWS.CO, Jakarta - Membangun mental anak yang kuat tak cukup hanya dengan seruan sederhana seperti “Ayo, kamu harus kuat”. Dibutuhkan kata-kata yang mampu menumbuhkan empati, kesadaran diri, serta kepercayaan bahwa emosi bukanlah kelemahan.
Psikoterapis Amy Morin membagikan kisah reflektif yang membuka mata banyak orangtua. Seorang ayah datang berkonsultasi bersama putranya yang berusia delapan tahun dan berkata, “Saya sangat bangga pada anak saya karena dia begitu kuat. Dia tidak menangis sekali pun sejak neneknya meninggal.”
Baca Juga:
Berikut Ini Firasat Hamil Anak Laki-laki yang Sering Dirasakan Seorang Ibu
Menurut Morin, yang dikutip dari The Bump via Kompas, perilaku seperti itu menunjukkan betapa sering kekuatan mental disalahartikan dan dijadikan tolok ukur keliru dalam mendidik anak.
“Kekuatan mental justru melibatkan kemampuan untuk mengekspresikan emosi dengan cara yang sehat, seperti menangis saat sedih,” jelas Morin.
Ia menekankan bahwa anak-anak perlu memahami bahwa menunjukkan perasaan bukan tanda kelemahan, melainkan wujud keberanian untuk jujur terhadap diri sendiri.
Baca Juga:
Hati-Hati! Ini Ciri-ciri Orang Toxic Parents yang Bisa Merusak Anak
Berikut beberapa kalimat sederhana yang direkomendasikan Morin agar anak tumbuh dengan mental kuat, tangguh, dan berani menghadapi hidup tanpa kehilangan empatinya.
1. “Wajar kok kamu merasa seperti itu.” Kalimat ini sederhana namun sangat kuat karena membantu anak merasa dimengerti. Saat orangtua memvalidasi perasaan anak, mereka belajar bahwa sedih, marah, atau kecewa adalah hal normal yang bisa dihadapi dengan cara sehat. Validasi semacam ini menumbuhkan rasa aman dan kepercayaan mendalam antara anak dan orangtua.
2. “Boleh kok sedih, tapi tidak boleh melampiaskan dengan cara menyakiti.”
Anak perlu tahu perbedaan antara perasaan dan perilaku. Kalimat ini mengajarkan bahwa marah tidak salah, tapi memukul atau berteriak bukanlah solusi. Orangtua dapat membimbing anak untuk mengatur emosi dengan menarik napas dalam, diam sejenak, atau bercerita tentang perasaannya. Dengan begitu, anak belajar mengendalikan diri tanpa menekan emosi.
3. “Yuk, kita cari solusi bareng-bareng.”
Banyak orangtua tergoda untuk langsung memperbaiki masalah anak, padahal jika selalu diambil alih, anak tak belajar menghadapi kesulitan sendiri. Dengan mengajak mencari solusi bersama, orangtua menunjukkan dukungan tanpa mengambil kendali, sekaligus menumbuhkan rasa percaya diri dan kemampuan berpikir kritis pada anak.
4. “Kamu tadi berani banget, meski hasilnya belum sesuai harapan.”
Kegagalan sering dianggap momok, tapi anak bermental kuat tahu bahwa gagal adalah bagian dari proses belajar. Ucapan ini mengajarkan bahwa keberanian untuk mencoba lebih penting dari hasil akhir. Anak pun tumbuh berani menghadapi tantangan baru tanpa takut salah.
5. “Dari hal ini, apa yang bisa kita pelajari?”
Kalimat reflektif ini membantu anak memandang kesalahan bukan sebagai kegagalan, melainkan sebagai kesempatan untuk bertumbuh. Dengan pendekatan ini, anak belajar mengembangkan pola pikir berkembang (growth mindset) — bekal penting menghadapi tantangan di masa depan.
6. “Kamu mau menyelesaikan masalahnya, atau mau bicara dulu soal perasaan kamu?”
Pertanyaan ini membantu anak membedakan antara emosi dan masalah nyata. Anak jadi lebih peka mengenali kebutuhannya sendiri — apakah ingin solusi atau hanya ingin didengar. Kemampuan ini penting agar mereka tidak mudah stres dan mampu mengelola tekanan dengan lebih matang.
7. “Hari ini, hal apa yang bisa kita syukuri?”
Melatih rasa syukur membantu anak melihat sisi positif dari hidup, bahkan dalam kondisi sulit. Anak belajar bahwa tidak semua harus sempurna untuk bisa bahagia. Dengan kebiasaan ini, mereka tumbuh lebih tenang dan tahan banting.
8. “Kalau temanmu punya masalah seperti ini, kamu akan bilang apa ke dia?”
Kalimat ini menumbuhkan empati sekaligus mengajarkan anak berbicara lembut kepada diri sendiri. Dengan memahami sudut pandang orang lain, anak belajar bahwa berbelas kasih bukan hanya untuk sesama, tetapi juga untuk dirinya sendiri.
Selain kalimat yang memperkuat, ada pula ucapan yang sebaiknya dihindari karena dapat melemahkan ketahanan emosional anak.
Misalnya, “Berhenti nangisnya.” Banyak orangtua menganggap menangis tanda kelemahan karena dididik dengan pola serupa di masa lalu. Padahal, menangis adalah cara alami menyalurkan emosi. Orangtua sebaiknya fokus pada perilaku, bukan emosinya.
Ucapan lain yang kurang tepat adalah “Semuanya bakal baik-baik saja.” Meskipun niatnya menenangkan, kalimat ini bisa membuat anak bergantung pada jaminan semu.
Morin menyarankan agar orangtua memberi anak keterampilan menghadapi tantangan, bukan sekadar keyakinan kosong bahwa semuanya akan aman.
Adapun kalimat “Tenang ya” juga perlu diubah pendekatannya. Tak semua anak bisa langsung tenang hanya karena diminta. Orangtua sebaiknya membantu anak belajar cara menenangkan diri, seperti bernapas perlahan atau memeluk diri sendiri saat panik. Dengan begitu, mereka belajar mengelola emosi secara mandiri dan sehat.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]