WahanaNews.co, Jakarta - Seorang mahasiswa Universitas Negeri Jakarta (UNJ), sebut saja Anggara, masih merasakan dampak traumatis karena dipaksa untuk bekerja mengangkat barang di Jerman pada bulan Oktober 2023 yang lalu.
Anggara merupakan salah satu dari sekitar 250 mahasiswa UNJ yang mengikuti program magang mahasiswa ke Jerman, yang dikenal dengan istilah ferienjob.
Baca Juga:
Thomas Muller Resmi Pensiun dari Tim Nasional Jerman Setelah 14 Tahun Berkarier
Dia sendirian ditempatkan di sebuah perusahaan DHL di Greven di Distrik Strinfurt, bagian dari Rhine-Westphalia Utara.
Untuk mencapai kota dengan suasana pedesaan tersebut, Anggara harus melakukan perjalanan dengan kereta cepat selama sekitar 3 jam dari Bandar Udara Internasional Frankfurt.
Dia mengatakan bahwa perjalanan ke Jerman memakan waktu sekitar 9 jam dengan pesawat dari Indonesia.
Baca Juga:
Euro 2024: Slovenia vs Serbia Berakhir Imbang 1-1
"Jumlah pesertanya ratusan se-universitas. Kalau se- program studi ada empat mahasiswa. Kami pernah dikumpulkan di aula kampus sebelum berangkat," kata Anggara, melansir Tempo, Selasa (26/3/2024).
Anggara waktu itu menginjak semester 5, berangkat dengan biaya tiket pesawat, LoA (surat pengurusan beasiswa) dan temporary work permit (dokumen karyawan asing memasuki suatu negara untuk pekerjaan jangka waktu tertentu) dari dana talangan koperasi UNJ senilai Rp 25,8 juta.
Nilai itu sudah dihitung dengan bunga pinjaman yang harus dikembalikan.
Pada pagi tanggal 4 Oktober 2023, Anggara tiba di Jerman pada pukul 08.00 waktu setempat. Dia berhasil melewati pemeriksaan Imigrasi tanpa masalah.
Awalnya, dia merasa percaya diri, tetapi setelah menghabiskan tiga jam berkeliling di Bandara Frankfurt, dia mulai merasa kesal.
Meskipun agak tenang ketika bertemu dengan seorang teman sejawat di bandara, perasaannya kemudian berubah karena keduanya harus berpisah karena lokasi kerja yang berbeda.
"Sampai Jerman pun saya tidak tahu akan bekerja sebagai apa ditempatkan di mana," kata Anggara.
Anggara kemudian menghubungi seorang Indonesia yang sudah lama tinggal di Jerman bernama Enik Waldkonig. Enik pun membalas pesan agar Anggara masuk grup.
"Petunjuknya sih sampai sana diminta masuk grup untuk komunikasi, tapi bagaimana berkomunikasi karena saya belum dimasukkan ke grup tersebut," kata Anggara.
Karena komunikasi tidak berjalan baik, Enik dan suaminya Ron Waldkonig menemui Anggara di Bandara Frankfurt.
Tak ada basa basi, Enik memesankan tiket kereta ke Greven keberangkatan pukul 12.00 siang waktu Jerman. Belakangan Enik telah ditetapkan sebagai tersangka dugaan TPPO bersama empat tersangka lain.
Setelah menempuh perjalanan dengan kereta cepat selama 2,5 jam, Anggara sampai di stasiun kereta api di Greven pukul 14.30 siang.
Parahnya lagi, Anggara baru dijemput seorang berwarga negara Jerman bernama Asmir dari Agen Run Time sekitar pukul 7 malam.
Dia lalu dibawa ke sebuah penginapan tiga lantai di Wohnung. Di sana Anggara ditempatkan di lantai dua dengan kamar mandi digunakan beramai-ramai.
"Sampai penginapan diminta istirahat untuk keesokan hari mulai bekerja di DHL Greven," kata Anggara.
Keesokan harinya, Anggara mendatangi perusahaan tersebut. Jarak tempuh dari penginapan di Wohnung ke Griven sekitar 6 kilometer pergi-pulang dengan jalan kaki.
Berjalan kaki dilakukan apalagi kalau malam hari di atas pukul 21.00 karena kendaraan umum tidak ada dan situasi malam sepi.
Pertama kali di DHL, Anggara tidak diterima dengan apik selayaknya orang baru bekerja.
Dia sudah dicegat Asmir di halaman parkir dan diminta teken kontrak yang secara detail dia tidak diberi kesempatan membacanya.
Kerja Kasar
Setelah teken kontrak perjanjian kerja selama tiga bulan lalu di-briefing sebentar dengan tugas angkat barang dengan beban 30 kilogram.
"Ya pekerjaannya angkat barang tiga puluh kilo baik barang datang atau barang keluar dari kendaraan ke konveyor," kata Anggara.
Anggara sempat syok apalagi suhu udara di sana membuatnya kedinginan. Tapi dia berusaha untuk menjalani pekerjaan itu.
"Ya walau berat, kebetulan saya menyiapkan olah raga fisik juga saat masih di Indonesia," kata mahasiswa asal Jakarta bertinggi 170 centimeter itu.
Seminggu berlalu Anggara bekerja di DHL itu. Pada hari ke-8, dia tumbang. Anggara pingsan dan dilarikan ke Rumah Sakit di Jerman.
"Semalam saja di rumah sakit, kata dokter saya kelelahan berat," ujarnya.
Pada pekan ketiga, Anggara kembali masuk rumah sakit.
"Katanya saya kena hepatitis. Tapi setelah sampai di Indonesia, saya cek lagi dokter bilang saya baik-baik saja," katanya.
Akhirnya setelah merampungkan tiga pekan bekerja, Asmir memberitahu penghentian sepihak dan berjanji akan menyalurkan ke pekerjaan lain. Tapi itu tak terjadi.
"Begitu saya diberhentikan sepihak pada pekan ketiga itu, Enik menghubunginya melalui grup WhatsApp seraya menanyakan: Anggara kapan kamu pulang ke Indonesia? Saya jelaskan kondisinya tapi dia tak menggubris," kata Anggara.
Sampai pada akhirnya Anggara menghubungi Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Jerman. "Saya dibantu pulang ke Indonesia," kata Anggara.
Tak hanya Enik, pihak kampus UNJ juga menyalahkan Anggara.
"Pak AJ dari Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Pelajaran (LP3) marah-marah ke saya, saya mulai tertekan sebab ada ancaman akan di-Drop Out (DO)," ujar Anggara.
AJ sekarang juga sudah ditetapkan sebagai tersangka. Dalam kondisi tertekan, Anggara berkomunikasi dengan keluarga di Tanah Air, yang kemudian mengirimkan uang untuk membeli tiket pulang seharga Rp 12 juta.
Belakangan keluarga Anggara telah mengirim uang Rp 30 juta untuk membayar biaya rumah sakit saat di Jerman. "Ibu saya terpaksa meminjam uang ke sanak saudara, demi saya bisa pulang," ujar Anggara.
Tak kurang dari Rp 45 juta dikeluarkan keluarga untuk keperluan kepulangan Anggara termasuk untuk bayar tiket pesawat, bayar bagasi, dan biaya rumah sakit.
"Saya juga tak digaji selama kerja tiga minggu. Dan saat ini masih ada beban utang dana talangan kampus. Sampai saat ini saya tak bisa bayar," katanya pasrah.
Nasi sudah menjadi bubur. Anggara mengatakan meskipun trauma dia masih semangat melanjutkan kuliah. Saat ini Anggara duduk di semester VI. "Banyak teman-teman yang tidak berani bicara," ujar Anggara.
Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri mengungkap kasus dugaan tindak pidana perdagangan orang atau TPPO dengan modus program magang mahasiswa ke Jerman atau dikenal dengan istilah ferienjob. Salah satu kampus yang mengirim mahasiswanya adalah Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Sebelumnya, Koordinator Center of International Services UNJ, Sri Rahayu, menyatakan jika kampusnya tidak memiliki niat untuk mengorbankan para mahasiswanya ketika memutuskan mengikuti program ini.
“Masa iya universitas mau jual mahasiswanya, kan, enggak mungkin. Yang kami harapkan para mahasiswa memiliki kompetensi,” katanya saat ditemui Tempo, Jumat, 22 Maret 2024.
Ferienjob merupakan kerja paruh waktu selama tiga bulan yang biasa diikuti mahasiswa di Jerman saat musim libur. Jenis pekerjaan yang dilakukan umumnya yang mengandalkan tenaga fisik atau kerja kasar yang bisa jadi tidak linier dengan studi mahasiswa pesertanya.
Meski melakukan pekerjaan kasar, ucap Ayu, harapan UNJ dari program ini adalah para mahasiswanya bisa mendapatkan pengalaman, mengembangkan soft skill, dan membangun jejaring di Jerman.
Semua kekisruhan ini, kata Sri, berawal saat salah satu guru besar asal Jambi berinisial Sihol Situngkir datang dan mendekati para pejabat tinggi di UNJ sekitar Desember 2022.
Sihol memperkenalkan program ferienjob dan menyarankan UNJ mengirim mahasiswa karena bisa masuk ke dalam program Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM) dan dikonversi menjadi 21 SKS.
Sihol mendekati UNJ bersama para petinggi PT Sinar Harapan Bangsa (PT SHB) dan PT CVGEN, perusahaan agensi di Indonesia yang membantu menghubungkan para mahasiswa dengan agen penyalur di Jeman untuk ditempatkan di sejumlah perusahaan.
Belakangan Sihol Situngkir dan petinggi PT SHB dan PT CVGEN telah ditetapkan sebagai tersangka.
Direktur Beranda Perempuan Indonesia, Zubaedah, menyakini masih ada banyak penyintas dugaan tindak pidana perdagangan orang atau TPPO bermodus mahasiswa magang di Jerman yang belum angkat bicara.
Dia menduga tak bicaranya para korban tersebut lantaran mendapat intimidasi.
“Beberapa korban masih sulit speak up,” kata Zubaidah saat dihubungi pada Ahad, 25 Maret 2024. Lembaga Zubaidah kini mendampingi para penyintas dari Universitas Jambi.
Dia meminta pemerintah dan universitas mengusut secara menyeluruh atas praktik lancung ini. Zubaedah bersama lembaganya juga mendesak pemerintah menginvestigasi sindikat perekrutan mahasiswa untuk program magang bodong ini.
Sejalan itu, dia juga minta pemerintah Indonesia menghentikan seluruh praktik perekrutan mahasiswa ke luar negeri yang merugikan. “Menghukum para pelaku TPPO yang menarget mahasiswa. Menjamin pemulihan dan kompensasi korban dan keluarga,” kata Zubaidah.
Zubaidah juga meminta pemerintah agar rutin berkonsultasi dengan berbagai kelompok peduli migran, TPPO, dan mahasiswa. Bersamaan langkah itu, dia meminta pemerintah segera melakukan penyuluhan kepada seluruh universitas atas persoalan ini.
Elegi Mahasiswa Magang di Jerman: Dikira Daging, Ternyata Lengkuas
Ribuan mahasiswa dari 33 universitas di Indonesia diduga menjadi korban tindak pidana perdagangan orang atau TPPO dengan modus magang di Jerman. Diiming-imingi belajar sembari bekerja di negeri Panzer, mahasiswa kepincut mengikuti program tersebut.
Sembilan mahasiswa dari Universitas Jambi dibuat kecut setelah tiba di Jerman untuk mengikuti program ferienjob itu. Ibarat makan rawon, mahasiswa justru menggigit lengkuas, bukan daging.
Demikian itu kisah RM, salah satu korban dari praktik TPPO yang berasal dari Universitas Jambi. “Program ferienjob ini dipromosikan dan direkomendasikan oleh universitas dengan iming-iming program kerja magang dengan gaji tinggi dengan nilai konversi sebanyak 20 SKS,” kata Zubaidah Direktur Beranda Perempuan Indonesia yang juga mendampingi RM, dalam keterangan resminya pada Ahad, 24 Maret 2024.
Zubaidah bercerita RM pada awalnya merasa yakin untuk mengikuti program dengan durasi tiga bulan itu. Alasannya, RM melihat ada salah satu guru besar di Fakultas Ekonomi menjadi partner program ferienjob ini. Setelah melewati berbagai proses, RM akhirnya bekerja di Jerman. “RM bekerja di Jerman sebagai buruh bangunan dan buruh angkut barang di salah satu perusahaan jasa pengiriman paket di Jerman,” kata dia.
Zubaidah menyebut RM bekerja di Jerman untuk mengangkat beban paket mencapai 0,5-30 kilogram secara manual. Tak hanya itu, dia juga bekerja dalam durasi yang panjang sekaligus tak wajar hingga kelelahan.
Berharap mendapat gaji setimpal, Zubaidah menyebut RM dibuat kecut saat menerima upah. Jauh panggang dari api, upah RM lebih rendah dari nominal yang ditawarkan dalam kontrak.
“Upah per bulan tidak cukup untuk membayar biaya akomodasi yang harus ia tanggung sendiri. RM dan 8 mahasiswa korban dari UNJA lainnya didampingi oleh Beranda Perempuan,” kata Zubaidah.
Minta Pemerintah dan Universitas Tanggung Jawab
Beranda Perempuan dan Beranda Migran merasa prihatin atas praktik tindak pidana perdagangan orang atau TPPO berkedok magang di Jerman.
Dari praktik lancung ini telah menelan sekitar 1.047 korban dari 33 universitas di Indonesia.
Direktur Beranda Perempuan Indonesia, Zubaidah, meminta semua pihak yang terlibat untuk bertanggung jawab dan mengusut kasus ini hingga ke akar-akarnya.
Dia menyebut ribuan orang yang masih menyandang status mahasiswa ini menjadi korban juga ada campur tangan universitas masing-masing.
“Mereka terjebak pada program magang bodong ini karena ada campur tangan dari universitas. Mahasiswa diperlakukan sebagai objek percobaan pendidikan yang dengan seenaknya dimobilisasi untuk mencukupi kebutuhan tenaga kerja manual di Jerman,” kata Zubaidah melalui, mengutip Tempo.
Lembaga Zubaidah saat ini mendampingi para penyintas TPPO di Universitas Jambi.
Zubaidah menilai praktik seperti ini merupakan cermin dari sistem pendidikan yang memposisikan universitas sebagai mesin pencetak tenaga kerja murah.
Alih-alih menjadi tempat menuntut ilmu, dia menilai universitas berperan mempromotori perdagangan manusia.
“Universitas telah abai dan lalai dalam menjamin keamanan dan perkembangan,” kata dia.
Kepada universitas yang telibat, Zubaidah melalui lembaganya menuntut akuntabilitas kampus untuk menghentikan seluruh program magang di luar negeri yang merugikan mahasiswa dan keluarga.
Pasca-peristwa ini, dia meminta kampus memberikan pendampingan gratis kepada para korban dan keluarga yang telah dirugikan.
“Memberikan jaminan keamanan dan perlindungan bagi korban untuk melanjutkan kuliah,” kata dia.
Tak hanya itu, dia juga meminta kampus untuk menjamin pemulihan dan kompensasi korban dan keluarga atas praktik ini. “Lindungi korban dari segala bentuk intimidasi,” kata Zubaidah.
Sementara itu, Zubaidah juga meminta pertanggungjawaban dari pemerintah atas dugaan TPPO yang melibatkan mahasiswa ini.
Dia mendesak pemerintah menginvestigasi sindikat perekrutan mahasiswa untuk program magang bodong ini.
Sejalan itu, dia juga minta pemerintah Indonesia menghentikan seluruh prkatik perekrutan mahasiswa ke luar negeri yang merugikan.
“Menghukum para pelaku TPPO yang menarget mahasiswa. Menjamin pemulihan dan kompensasi korban dan keluarga,” kata Zubaidah.
Zubaidah juga meminta pemerintah agar rutin berkonsultasi dengan berbagai kelompok peduli migran, TPPO, dan mahasiswa.
Bersamaan langkah itu, dia meminta pemerintah segera melakukan penyuluhan kepada seluruh universitas atas persoalan ini.
Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri menguak kasus dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan modus program magang di Jerman atau ferienjob.
Direktur Tipidum Bareskrim Polri Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro mengatakan kasus itu mulai terendus setelah 4 orang mahasiswa yang mengikuti ferienjob melapor ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Jerman.
“Awal mulanya, kami mendapat laporan dari KBRI di Jerman bahwa terdapat 4 orang mahasiswa yang datang ke KBRI dan sedang mengikuti ferienjob di Jerman,” kata Djuhandhani dalam siaran pers pada Rabu, 20 Maret 2024.
Melansir laman KBRI di Berlin, Jerman, ferienjob bukanlah program magang, tetapi lebih tepat dikatakan sebagai program kerja paruh waktu (part-time) dalam masa libur.
Kegiatan itu diklaim sebagai bagian dari pasar kerja dan bukan bagian dari Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM).
Ferienjob diatur dalam Pasal 14 ayat (2) Ordonansi Ketenagakerjaan Jerman (Beschäftigungsverordnung/BeschV) yang dilakukan hanya saat libur semester yang resmi (official semester break).
Sesuai kalender akademik di Indonesia, libur panjang semester biasanya dilakukan pada pertengahan tahun.
Jenis pekerjaan yang dilakukan dalam program ferienjob umumnya termasuk pekerjaan yang mengandalkan tenaga fisik, seperti packing barang, jasa angkut kardus logistik, mencuci piring di restoran, atau menangani koper di bandara (porter).
Ferienjob tidak diselenggarakan dalam kerja sama bilateral antarpemerintah dan tidak berkaitan dengan kegiatan akademik di perguruan tinggi.
Tujuannya untuk mengisi kekurangan tenaga kerja fisik di perusahaan-perusahaan Jerman dan hanya untuk memanfaatkan masa liburan dengan bekerja serta memperoleh uang tambahan.
Sedangkan pengalaman budaya dan peningkatan keterampilan bahasa bukan fokus utama dari ferienjob.
Isi Kontrak Ferienjob
Melansir Tempo, Pusat Penempatan Luar Negeri dan Tenaga Ahli (ZAV) dari Badan Ketenagakerjaan Federal Jerman menyarankan calon peserta ferienjob untuk langsung menghubungi perusahaan guna mengklarifikasi hal-hal terkait pekerjaan, termasuk jam kerja, jam istirahat, akomodasi, transportasi lokal, tiket perjalanan PP ke Jerman, gaji, dan kewajiban lainnya.
Sesuai kebijakan Jerman, masa kerja ferienjob maksimum 90 hari dalam jangka waktu 12 bulan selama libur semester resmi di negara asal dan tidak dapat diperpanjang.
Selain itu, meskipun ferienjob merupakan program kerja paruh waktu, perusahaan juga mengharapkan komitmen dan performa yang sama seperti halnya pegawai tetap.
Kontrak kerja tertulis dibuat sebelum kedatangan ke Jerman dan harus dalam bahasa yang dapat dipahami calon peserta.
Oleh karena itu, calon peserta diharapkan memiliki kemampuan berbahasa Jerman yang baik. Peserta juga dapat memutuskan hubungan kerja sebelum perjanjian kerja saat perusahaan tidak mematuhi perjanjian.
Kontrak kerja ferienjob harus memuat seluruh poin penting, seperti rata-rata jam kerja, masa kerja, gaji, dan jenis pekerjaan.
Tak hanya itu, peserta harus mempunyai asuransi kesehatan internasional sebelum tiba di Jerman, karena peserta ferienjob tidak ditanggung oleh sistem asuransi kesehatan di Jerman.
Gaji Pekerja Ferienjob
Melansir laman Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Jerman, selain ferienjob, terdapat 3 jenis kerja part-time di Jerman, yaitu minijob dengan upah maksimal 450 Euro per bulan, werkstudent maksimal 20 jam per minggu, dan HiWi atau Studentische Hilfskraft yang jam atau hari kerjanya tidak dibatasi.
Peraturan kerja paruh waktu di Jerman secara umum, terutama bagi mahasiswa asal Indonesia tidak boleh lebih dari 120 hari (maksimal 8 jam) atau 240 setengah hari (maksimal 4 jam per hari, apabila lebih dari 4 jam, maka akan dihitung sebagai 1 hari penuh) per tahun kalender.
Sebagai contoh, 1 Januari sampai dengan 31 Desember 2021 terhitung sebagai 1 tahun kalender.
Di Jerman, ada ketentuan mengenai upah minimum per jam yang ditetapkan oleh pemerintah, yaitu 9,50 Euro per jam (sebelum dipotong pajak) mulai 1 Januari 2021.
Aturan ini berlaku secara universal bagi semua individu, baik warga negara Jerman maupun warga negara asing (WNA).
Upah minimum tersebut berlaku untuk semua jenis pekerjaan, meskipun rata-rata upah yang diterima di Jerman berkisar antara 10 hingga 12,5 Euro per jam.
Gaji yang diperoleh dari minijob (dengan batas maksimal 450 Euro per bulan) tidak akan dikenai pajak.
Namun, jika seseorang bekerja dan menerima penghasilan sebesar 450 Euro per bulan atau bekerja selama 20 jam per minggu, maka gaji tersebut akan dikenai pajak sekitar 14 persen Lohnsteuer.
Selain itu, sejumlah dana juga akan dipotong dari gaji setiap bulan, tetapi pekerja dapat mengajukannya kembali pada akhir tahun melalui pengembalian pajak penghasilan (Steuererklärung).
Bagi pelajar, mendapatkan gaji dari pekerjaan paruh waktu seperti ferienjob di Jerman dianggap sulit untuk mencukupi biaya hidup.
Dengan asumsi biaya hidup sekitar 853 Euro per bulan dan gaji 10 Euro per jam, peserta harus bekerja selama 20 jam per minggu setiap bulannya. Ini berarti pekerja harus bekerja selama 2-3 hari dalam seminggu.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]