WahanaNews.co | Mahkamah Konstitusi (MK) meminta Kementerian Pendidikan agar tidak membebani dosen dengan tugas administrasi yang berlebihan karena tugas administrasi yang berlebihan bisa membuat fungsi utama dosen menjadi terganggu.
Pertimbangan ini tertuang dalam putusan Nomor 111/PUU-XX/2022 yang diajukan oleh dosen Gunawan Tauda dan dosen Abdul Kadir Bubu.
Baca Juga:
Babak Baru UU Cipta Kerja: MK Menangkan Gugatan, Revisi Menyeluruh Segera Dilakukan
Keduanya melakukan judicial review terhadap UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
"Untuk mengoptimalkan kemampuan tenaga akademik dalam melaksanakan tugas Tri Dharma Perguruan Tinggi, dosen tidak seharusnya dibebani tugas administrasi yang berlebihan, sehingga dosen lebih fokus dalam mengembangkan kemampuan akademiknya dengan optimal dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional," demikian pertimbangan MK, Senin (17/4/2023).
Gunawan Tauda dan dosen Abdul Kadir Bubu sebelumnya mempersoalkan tunjangan profesi yang dihapus bila dosen mengikuti pendidikan lagi.
Baca Juga:
MK Kabulkan 70% Tuntutan Buruh, Serikat Pekerja Rayakan Kemenangan Bersejarah dalam Revisi UU Cipta Kerja
MK menilai peraturan tersebut adalah masalah penerapan norma, bukan soal konstitusionalitas.
Meski demikian, MK meminta semua lembaga terkait memberikan perhatian bersama dalam permasalah kesejahteraan dosen yang sedang tugas belajar.
"Berkenaan dengan persoalan pada tataran implementasi norma yang dimohonkan pengujian, di mana terdapat perbedaan perlakuan antar perguruan tinggi, baik di lingkungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, dan kementerian/lembaga lain yang memberikan atau memfasilitasi pendidikan lanjutan berupa tugas belajar, menurut Mahkamah, seharusnya dilakukan secara terkoordinasi dan sinkronisasi kebijakan, sehingga merata dan diperlakukan sama di seluruh kementerian/lembaga terkait, dengan mengedepankan kelancaran dan efektifitas tugas belajar dan kesejahteraan dosen tugas belajar sehingga dosen yang bersangkutan dapat menyelesaikan pendidikan lanjutan tepat waktu dengan hasil yang optimal," ucap MK.
Di samping itu, perlu dilakukan monitoring dan evaluasi dengan memanfaatkan platform atau sistem informasi terintegrasi yang dikelola dengan baik dan benar-benar berfungsi sesuai peruntukannya.
"Sistem informasi tersebut tidak hanya selesai dibuat tetapi juga dijaga, diawasi, dan dijamin mutunya sehingga menjadi instrumen dalam mendorong perlakuan yang sama dalam upaya meningkatkan profesionalisme dosen," ucap 9 hakim MK dengan suara bulat.
Sebagaimana diketahui, sidang ini diajukan oleh dua dosen yang sedang mengambil kuliah S3 yaitu dosen FH Universitas Khairun, Ternate, Gunawan Tauda dan Abdul Kadir Bubu.
Keduanya tidak dapat tunjangan profesi dosen terhitung sejak 2009 hingga 2022.
Akibatnya, para Pemohon kehilangan hak keuangannya, sedangkan mereka dalam masa menempuh studi lanjutan pada sejumlah perguruan tinggi di Indonesia atau berstatus tugas belajar.
Untuk itu, Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan para Pemohon. Para Pemohon juga meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 51 ayat (1) UU Guru dan Dosen sepanjang frasa:
"Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan" bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai "Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, pemaknaannya mencakup pula Dosen yang diberi tugas belajar." [Tio/Detik]