WAHANANEWS.CO, Cilegon - Kasus dugaan praktik titip-menitip dalam proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) kembali mencuat dan menyeret nama seorang pejabat publik.
Kali ini, memo tulisan tangan Wakil Ketua DPRD Banten, Budi Prajogo, menjadi sorotan setelah beredar luas di masyarakat.
Baca Juga:
Ketua DPRD Balikpapan: Pemerintah Jangan Alergi Kritik dari Generasi Muda
Meski isinya hanya sebatas permintaan agar seorang siswa dibantu untuk diterima di salah satu Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) di Kota Cilegon, memo itu langsung memicu kontroversi.
Memo tersebut memuat kalimat “Perihal: Mohon dibantu dan ditindaklanjuti,” lengkap dengan tanda tangan dan cap institusi DPRD Banten.
Namun, yang membuat geger, siswa yang disebut dalam memo itu ternyata tidak lolos seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB) tahun 2025 melalui jalur domisili.
Baca Juga:
Pemilu Telah Usai, 35 Anggota DPRD Sikka Resmi Dilantik, Donatus David: Inpendensi Bawaslu dan KPU Diragukan
“Siswa itu tergeser oleh siswa lainnya pada mekanisme jalur domisili. Pada SPMB ini yang memerhatikan nilai rapor dari para siswa,” kata Budi dalam siaran pers yang dikirim ke media pada Sabtu (28/6/2025).
Belum reda soal memo itu, kini muncul pertanyaan lebih serius: apakah ada intervensi ke sekolah tujuan?
Menanggapi hal tersebut, Budi yang juga politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) membantah keras. Ia menegaskan tidak pernah mengintervensi pihak sekolah mana pun.
“Adapun diterima tidaknya, saya serahkan semua kepada pihak sekolah tanpa ada intervensi apapun,” ujarnya.
Ia mengaku menandatangani memo karena rasa iba, setelah diminta bantuan oleh stafnya.
Ketua DPW PKS Banten, Gembong Rudiansyah Sumedi, memberikan penjelasan bahwa memo tersebut sebenarnya ditulis oleh staf Budi untuk menolong tetangganya yang berasal dari keluarga kurang mampu.
“Karena tetangga dari stafnya kebetulan keluarga tidak mampu, ingin masuk sekolah negeri di Cilegon. Pak Budi merasa iba, dengan sadar menandatangani memo tersebut,” kata Gembong.
Namun, persoalan tak berhenti di situ. Logo dan cap resmi DPRD Banten yang tertera di memo itu menimbulkan kecurigaan publik bahwa ada unsur penyalahgunaan wewenang atau “jalur belakang” dalam proses seleksi.
Menanggapi hal ini, PKS pun turun tangan. Gembong menyatakan bahwa partai telah memberikan peringatan kepada Budi dan tengah menindaklanjuti kasus tersebut melalui Badan Penegak Disiplin Organisasi (BPDO) di tingkat pusat.
“Kami di PKS punya BPDO yang akan bekerja berdasarkan masukan dan informasi yang ada. Kami dari DPW memberikan data dan informasi yang terjadi,” ungkapnya.
Menurut Gembong, keputusan sanksi sepenuhnya berada di tangan DPP setelah proses pemeriksaan internal selesai.
Menariknya, Budi mengakui bahwa dirinya memang menandatangani memo tersebut. Namun, ia membantah telah memberikan persetujuan untuk pembubuhan stempel resmi DPRD.
Stempel itu, lanjut Budi, dibubuhkan oleh stafnya sendiri tanpa sepengetahuan dirinya.
“Pak Budi sudah menyadari itu keteledorannya, dan siap menerima sanksi apapun yang akan diberikan partai,” ujar Gembong.
Kasus ini menjadi bahan perbincangan luas di masyarakat. Banyak yang menilai bahwa meskipun siswa yang dititipkan tidak diterima, praktik seperti ini merusak prinsip keadilan dan transparansi dalam dunia pendidikan.
Sejumlah pihak juga menyoroti lemahnya pengawasan terhadap penggunaan simbol dan perangkat kedinasan oleh pejabat publik, yang dapat menimbulkan persepsi negatif di tengah masyarakat.
Di tengah polemik ini, Budi telah menyampaikan permohonan maaf secara terbuka. “Saya meminta maaf kepada seluruh pihak atas kegaduhan ini,” katanya.
Peristiwa ini menjadi pelajaran penting bahwa kejujuran dan integritas dalam proses seleksi pendidikan harus dijaga, terutama oleh mereka yang memegang kekuasaan.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]