WahanaNews.co | Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Hasran menilai Indonesia harus melakukan upaya mitigasi guna mencegah situasi seperti yang terjadi di Sri Lanka.
Negara beribukota Colombo tersebut tengah mengalami krisis politik dan ekonomi yang berimbas pada kebangkrutan.
Baca Juga:
Kunjungi Politeknik Cristo Re, Deputi Politik dan Ekonomi Konsulat Jenderal Amerika Serikat Beri Kuliah Umum
"Indonesia perlu melakukan mitigasi pada faktor-faktor yang berkontribusi pada terjadinya inflasi. Selain itu, Indonesia juga perlu merespons konflik geopolitik global dengan kebijakan yang tepat dan berorientasi pada kepentingan masyarakat luas," katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (13/7).
Hasran menjelaskan, sebagaimana negara lain, Sri Lanka juga tidak lepas dari dampak kondisi global. Tapi selain itu, kondisi Sri Lanka juga dipicu oleh adanya salah urus atau mismanagement dan korupsi.
Ia melanjutkan, kondisi tersebut diperparah dengan kebijakan utang luar negeri yang tidak mempertimbangkan kemampuan bayar, tax cut (pemotongan pajak), hingga pelarangan impor pupuk kimia.
Baca Juga:
Usai Kaburnya Presiden, Sri Langka Tetapkan Situasi Darurat Nasional
Kendati demikian, perekonomian Indonesia masih relatif jauh lebih aman dan terkendali kalau dibandingkan dengan Sri Lanka.
"Hal ini dapat terus dipertahankan kalau ekonomi dikelola dengan baik dan fokus pada mitigasi faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi," katanya.
Indonesia dan Sri Lanka memiliki kondisi makroekonomi yang tidak sama. Rasio utang terhadap GDP (Debt to GDP ratio) Sri Lanka berada di atas 107 persen dengan tingkat inflasi sekitar 54,6 persen pada Juni lalu.
Sementara itu, rasio utang terhadap PDB Indonesia pada akhir bulan Mei 2022 hanya 38,88 persen, jauh di bawah ambang batas yang diatur dalam UU Keuangan Negara yakni 60% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Selain itu, mayoritas hutang Indonesia berupa surat berharga negara yang berdenominasi rupiah (lebih dari 70 persen).
Berbeda dengan Sri Lanka yang terlilit utang valuta asing dalam jumlah besar dan mayoritas ialah utang luar negeri.
Inflasi Indonesia pada bulan Juni, walaupun terbilang tinggi kalau dibandingkan di tahun-tahun sebelumnya, juga masih dalam kategori aman, yaitu sekitar 4,35 persen.
Hasran menilai, kenaikan harga pangan dan energi di tingkat global mulai berdampak ke Indonesia dilihat dari inflasi atau kenaikan harga umum per Juni 2022 mencapai 4,35 persen.
Oleh karena itu, pemerintah perlu fokus untuk menjaga keterjangkauan masyarakat terhadap pangan, salah satunya dengan memastikan ketersediaannya yang cukup di pasar sehingga dapat dijangkau oleh semua lapisan masyarakat, terutama mereka yang berpenghasilan rendah.
Di saat yang bersamaan, penguatan kapasitas petani dan upaya-upaya untuk meningkatkan produktivitas pangan nasional juga perlu diteruskan.
Indonesia, lanjut Hasran, juga perlu mewaspadai konflik-konflik geopolitik, terutama yang berpotensi menyebabkan ketidakpastian ekonomi global.
Terkait pangan, sangat penting bagi Indonesia dalam melakukan diversifikasi pangan melalui dua hal.
"Pertama, menemukan sumber impor baru agar tidak ada ketergantungan pada satu satu negara tertentu. Kedua, memperkuat sektor pertanian Indonesia melalui upaya modernisasi yang berkelanjutan," imbuhnya.
Indonesia juga perlu tetap aktif dalam perdagangan internasional, fokus pada ekspor produk yang bernilai tinggi dan terbuka terhadap impor untuk menambah daya saing produknya.
Tindakan proteksionis sudah terbukti tidak sejalan dengan tujuan pemulihan ekonomi nasional. [rin]