WahanaNews.co, Jakarta - Raksasa teknologi global ramai-ramai menanamkan investasi besar di Malaysia. Bulan ini, Google mengumumkan komitmen investasi sebesar US$ 2 miliar atau sekitar Rp 32,6 triliun di negara tetangga Indonesia untuk membangun pusat data dan layanan cloud.
Sebelumnya, Microsoft menyatakan akan menginvestasikan US$ 2,2 miliar atau sekitar Rp 35,8 triliun untuk ekspansi infrastruktur AI di Malaysia.
Baca Juga:
Bisa Kuras Rekening, Pengguna Gmail Wajib Waspada jika Dapat Link Ini
Sementara itu, di Indonesia, komitmen investasi Microsoft lebih kecil, yaitu US$ 1,7 miliar atau sekitar Rp 27,7 triliun untuk fasilitas dan pengembangan talenta AI.
Sekarang, ByteDance dari China, yang merupakan induk TikTok, berencana mengucurkan dana sebesar US$ 2,13 miliar atau sekitar Rp 34,7 triliun untuk mendirikan pusat AI di Malaysia.
Hal ini diumumkan langsung oleh Menteri Perdagangan Malaysia pada Jumat (7/6) pekan lalu, dikutip dari Reuters, Senin (10/6/2024).
Baca Juga:
Incar Isi Rekening, Link Berbahaya di Gmail Kini Bisa Menyamar
Sebagai bagian dari kesepakatan, ByteDance juga akan memperluas fasilitas pusat data di Johor melalui investasi tambahan sebesar 1,5 miliar ringgit atau sekitar Rp 5,2 triliun.
Informasi ini diungkapkan oleh Menteri Investasi Malaysia, Tengku Zafrul Aziz.
"Investasi tambahan dari ByteDance tidak diragukan lagi akan membantu Malaysia mencapai target pertumbuhan ekonomi digital sebesar 22,6% dari PDB pada tahun 2025 mendatang," kata Tengku Zafrul.
Alasan Lebih Pilih Malaysia
Ketua Asosiasi Data Center Indonesia (IDPRO) Hendra Suryakusuma mengatakan, banyak insentif untuk para pelaku data center.
Bahkan untuk perusahaan yang menggunakan teknologi green, insentifnya ditambah lagi.
"Kalau di Indonesia, ini memang belum terjadi tapi kalau pemerintah lewat RUU EBT (Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan) yang saat ini sedang digodok di Komisi VII DPR RI berhasil memberikan tambahan insentif dari sisi green initiative, itu akan sangat mendorong tumbuhnya industri data center di Indonesia yang saat ini tumbuh 20-30 persen per tahunnya," kata Hendra, melansir CNBC Indonesia.
Kemudian dari sisi birokrasi Malaysia melakukan pemangkasan birokrasi yang memudahkan investasi bisnis untuk masuk ke negaranya.
Di Malaysia, perusahaan asing bisa hanya menggunakan high level design untuk mendapatkan izin membangun.
Sementara di Indonesia harus sampe ke detil engineering design, yang artinya memakan waktu dan biaya yang tidak murah.
Sebaliknya, jika Indonesia juga memprioritaskan energi terbarukan, banyak perusahaan yang berbasis di Amerika Utara dan Eropa Barat akan bersedia bekerja sama dalam pembangunan pusat data.
Negara-negara tersebut sangat fokus pada ESG (Environmental, Social, and Governance) dan memiliki komitmen terhadap Paris Accord.
Oleh karena itu, aspek-aspek terkait energi terbarukan dapat mendorong pertumbuhan industri pusat data.
"Banyak investor di Amerika Utara dan Eropa Barat sangat memperhatikan ESG mereka, sehingga mereka juga fokus memastikan bahwa energi yang digunakan di pusat data berasal dari sumber yang ramah lingkungan atau memiliki emisi karbon yang rendah," jelasnya.
Selama investor melihat bahwa suatu negara stabil secara politik dan mendukung pertumbuhan industrinya melalui insentif pajak dan inisiatif hijau, mereka akan terdorong untuk berinvestasi di negara tersebut.
[Redaktur: Elsya TA]