WahanaNews.co, Jakarta - Indonesia sedang menghadapi tantangan besar dalam transisi menuju energi bersih di tengah ancaman krisis iklim yang semakin nyata.
Ketua Umum ALPERKLINAS, KRT Tohom Purba, turut menyoroti pentingnya kolaborasi lintas sektor untuk mendukung percepatan transisi energi. Ia menekankan bahwa upaya ini membutuhkan kesadaran kolektif dari seluruh elemen masyarakat, tidak hanya pemerintah atau sektor korporasi.
Baca Juga:
Di COP29, PLN Perluas Kolaborasi Pendanaan Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2030
“Krisis iklim adalah tanggung jawab kita bersama. Transisi energi harus menjadi agenda nasional yang didukung oleh semua pihak, termasuk masyarakat. Energi terbarukan adalah masa depan, dan kita semua memiliki peran dalam mewujudkannya,” kata Tohom kepada WahanaNews.co di Jakarta, Senin (18/11/2024).
Menurutnya, dengan kombinasi kebijakan strategis, inovasi pembiayaan, dan sinergi antar pihak, Indonesia optimis mampu menghadapi tantangan transisi energi sekaligus menjaga komitmennya dalam mengatasi perubahan iklim.
Wakil Ketua MPR RI, Eddy Soeparno, dalam sesi diskusi pada United Nations Climate Change Conference (COP29) di Baku, Azerbaijan, menekankan bahwa percepatan transisi energi harus menjadi prioritas bersama.
Baca Juga:
Mengungkap Kembali Workshop ALPERKLINAS di Tahun 2013: Harmonisasi Konsumen dan Produsen dalam Pelayanan Listrik di Indonesia
“Polusi udara di Jakarta yang sering kali memuncaki daftar kota paling tercemar di dunia dan kenaikan suhu di berbagai wilayah Indonesia seharusnya menjadi pengingat bahwa kita menghadapi krisis iklim, bukan sekadar perubahan iklim. Krisis ini memerlukan tindakan luar biasa, bukan langkah biasa-biasa saja,” ujar Eddy, Selasa (12/11/2024).
Eddy juga menyoroti pentingnya kerja sama global untuk menghadapi dampak krisis iklim, termasuk melalui percepatan transisi energi ke energi terbarukan. Dalam konteks ini, ia mendukung kebijakan Presiden Prabowo yang menargetkan pertumbuhan ekonomi hingga 8%, dengan salah satu pilar utamanya adalah pengembangan energi hijau untuk memenuhi kebutuhan energi secara berkelanjutan.
“Kami di MPR RI sepenuhnya mendukung kebijakan Presiden Prabowo, termasuk visi besar menjadikan Indonesia pemimpin dalam ekonomi hijau dunia. Namun, ini hanya bisa tercapai jika semua pihak, baik pemerintah, sektor swasta, maupun masyarakat, terlibat aktif dalam proses transisi energi ini,” tambah Eddy.
Sementara itu, PT PLN (Persero) menyoroti kendala besar yang dihadapi dalam upaya transisi energi, terutama dari sisi pembiayaan. Direktur Keuangan PLN, Sinthya Roesly, menjelaskan bahwa 65% produksi listrik Indonesia masih berasal dari batu bara, sehingga sulit bagi investor global untuk menyalurkan dana ke proyek energi terbarukan.
“Ekspektasi dari komunitas investor internasional terkadang tidak sejalan dengan kondisi di Indonesia. Dengan porsi batu bara lebih dari 50%, kami membutuhkan pendekatan pembiayaan yang lebih realistis dan inklusif. Indonesia tidak bisa berubah dari cokelat menjadi hijau secara tiba-tiba. Ini adalah perjalanan bertahap,” tegas Sinthya.
Untuk mendukung transisi tersebut, PLN telah mengambil berbagai langkah strategis, seperti menerbitkan green bonds, menjalin kerja sama dengan lembaga keuangan internasional, serta meningkatkan kapasitas pembangkit energi terbarukan. Namun, Sinthya menekankan pentingnya dukungan komunitas global agar proses transisi ini berjalan lancar.
[Redaktur: Amanda Zubehor]