WahanaNews.co |
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Shinta Widjaja
Kamdani, berhadap, insentif atau stimulus dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional
(PEN) dapat diteruskan hingga akhir 2021.
Hal tersebut mengingat
beberapa jenis program PEN telah habis masa gunanya pada akhir kuartal II-2021,
yakni Juni 2021.
Baca Juga:
Perseteruan Kadin Memanas Lagi, Pengurus Munaslub Disebut Langgar Aturan
Misalnya, insentif perpajakan
untuk dunia usaha, bantuan sosial tunai, bantuan kuota data internet, bantuan
subsidi upah.
Adapun secara umum realisasi
anggaran PEN hingga 21 Mei 2021 mencapai Rp 183,98 triliun atau 26,3% dari
total pagu Rp 699,43 triliun.
Meski begitu, beberapa pagu
insentif sudah hampir habis terserap, misalnya insentif perpajakan yang telah
mencapai 80% dari pagu sebesar Rp 58 triliun.
Baca Juga:
Kadin: Pemimpin Solo Masa Depan Harus Pahami Masalah untuk Kesejahteraan Masyarakat
Shinta menilai, idealnya
insentif atau stimulus ekonomi itu seharusnya masih diberikan hingga Indonesia
sepenuhnya pulih dari pandemi.
Masalahnya, hingga
pertengahan tahun ini, ekonomi belum sepenuhnya sehat.
Sehingga, Shinta mengatakan,
insentif PEN yang telah habis itu perlu dilanjutkan, paling tidak hingga akhir
2021.
Terutama stimulus konsumsi (seperti
bansos) hingga stimulus produktif, seperti diskon pajak penghasilan (PPh) Pasal
25 sebesar 50% atau bea masuk/bea keluar, restrukturisasi utang, sampai
suntikan likuiditas kepada pelaku usaha di berbagai skala.
"Ini untuk memastikan bahwa
proses pemulihan ekonomi yang masih berlangsung akan terus ada pada track atau trend pemulihan yang stabil dan tidak berbalik arah crash atau kembali krisis di tengah
jalan," kata Shinta kepada wartawan, Jumat (11/6/2021) lalu.
Menurutnya, beberapa negara
maju saja, seperti Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa, tetap melanjutkan
stimulusnya di tahun ini.
Dus, stimulus tersebut
memastikan adanya demand dari dalam
negeri yang relatif stabil hingga pasca-krisis.
"Bahkan, pada saat ini pun,
meski mereka sudah menormalisasi sebagian besar kegiatan ekonomi karena tingkat
vaksinasi dan pengendalian pandemi yang lebih baik dari Indonesia, stimulus-stimulus
ekonomi mereka masih akan berlangsung hingga tahun depan, 2022, untuk Eropa,
dan 2023 untuk AS," ucap Shinta.
Kendati begitu, Shinta tidak
memungkiri dorongan stimulus atau insentif tentunya akan berdampak pada daya
tahan fiskal.
Sebab, tahun 2023, rentang
defisit APBN musti di bawah 3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
"Ini yang tanda tanya besar
bagi pelaku usaha, karena saat ini pun pemerintah sudah mengeluarkan sinyal
bahwa mereka kesulitan mendanai APBN dan memperluas stimulus yang sudah ada,"
ujar Shinta.
Hal tersebut dilihat dari
adanya rencana perubahan skema berupa kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
hingga usulan amnesti pajak.
Sementara, cadangan devisa
turun dan tingkat debt to GDP yang
naik signifikan sepanjang enam bulan terakhir.
"Kalau kita memaksakan
peningkatan stimulus ketika kemampuan finansial pemerintah tidak memadai, yang
kami khawatirkan adalah gangguan stabilitas ekonomi makro atau krisis kembali.
Misalnya, dalam bentuk krisis gagal bayar pemerintah atau sovereign debt crisis, seperti yang terjadi pada Yunani di 2009. Ini
sangat ingin kami hindarkan, karena tanpa stabilitas makro yang baik, maka pemulihan
ekonomi nasional tidak bisa terjadi," kata Shinta.
Oleh karenanya, Shinta
meminta pemerintah lebih fokus pada penguatan pengendalian pandemi di
masyarakat, dan fokus mendistribusikan stimulus-stimulus yang sudah
dianggarkan.
Akan jauh lebih baik bila
stimulus tersebut, yang bersifat konsumtif, dikonversikan menjadi stimulus yang
lebih produktif, atau bisa menggerakkan ekonomi masyarakat setempat.
"Misalnya, bansos atau
relaksasi pemberian kredit untuk usaha kecil menengah, juga khususnya yang ada
di sektor-sektor yang masih terkena krisis. Insentif-insentif seperti ini
sangat penting untuk menggerakkan ekonomi dalam jangka pendek agar Pemulihan Ekonomi
Nasional memiliki trend yang terus
stabil," ujar Shinta. [qnt]