WahanaNews.co | Kementerian Perdagangan melalui Direktorat Standardisasi dan Pengendalian Mutu selaku Laboratorium Rujukan Pengujian Pangan Indonesia (LRPPI) Bidang Residu Pestisida mendorong semua laboratorium pengujian residu pestisida di Indonesia meningkatkan dan memeratakan kompetensi pengujian residu pestisida.
Dalam hal ini, residu etilen oksida dan senyawa turunannya 2-kloro etanol. Residu pestisida berpotensi menimbulkan hambatan teknis perdagangan.
Baca Juga:
Target Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen, Kemendag: Pada 2025, Ekspor Perlu Tumbuh 7-10 Persen
Hal ini disampaikan Direktur Standardisasi dan Pengendalian Mutu Hendro Purnomo dalam Workshop Uji Profisiensi Residu Pestisida Tahun 2023 yang digelar di Jakarta pada Senin lalu (22/5).
Uji profisiensi adalah alat evaluasi unjuk kinerja laboratorium pengujian sebagai salah satu sarana jaminan mutu hasil pengujian melalui deteksi dini penyimpangan pengujian dan perbaikan secara terus menerus.
"Direktorat Standardisasi dan Pengendalian Mutu selaku laboratorium rujukan nasional terus mengawal isu-isu keamanan pangan produk Indonesia terkait residu pestisida. Salah satunya isu etilen oksida dan senyawa turunannya 2-kloro etanol pada produk pangan.
Baca Juga:
Cumi Beku dan Produk Rumput Laut Indonesia Jadi Primadona di Pameran Boga Bahari Korea Selatan
Laboratorium pengujian residu pestisida yang kompeten memiliki peran penting dalam memastikan penjaminan mutu akhir produk sebelum diekspor, termasuk dalam pemenuhan batas maksimum residu etilen oksida dan senyawa turunannya, yaitu 2-kloro etanol," jelas Hendro dalam sambutannya.
Kegiatan tersebut, imbuh Hendro, merupakan wujud respons Kementerian Perdagangan terhadap permasalahan sebagian produk ekspor Indonesia di negara tujuan ekspor.
Dalam hal ini, penarikan peredarannya dari pasar negara tujuan ekspor akibat isu keamanaan pangan ditemukannya residu etilen oksida dan senyawa turunannya 2-kloro etanol.
Isu ini bermula dari notifikasi Belgia melalui Rapid Alert System for Food and Feed (RASFF) di Uni Eropa (UE) tentang ditemukannya etilen oksida yang melebihi batas maksimum residu (BMR) pada biji wijen dari India.
Karena biji wijen digunakan sebagai bahan untuk banyak produk, hal itu berdampak luas pada rantai pasokan pangan UE. Sejak saat itu, pengujian di UE diintensifkan dan menyebabkan penarikan banyak produk pangan terkait etilen oksida.
Akhir-akhir ini, sebagian produk mi instan Indonesia termasuk yang mendapatkan notifikasi karena kandungan etilen oksida. Notifikasi tersebut dirilis pemerintah Hong Kong, Singapura, Taiwan, dan Malaysia.
Di Indonesia, penggunaan etilen oksida untuk aplikasi semua bidang penggunaan pestisida telah dilarang. Larangan ini dimuat dalam Peraturan Menteri Pertanian No 43 Tahun 2019 tentang Pendaftaran Pestisida.
Larangan penggunaan pestisida dengan cakupan yang luas, meliputi pengelolaan tanaman, ternak, organisme di perikanan dan kehutanan,hingga penyimpanan hasil produksi, baik di gudang maupun karantina dan pra-pengapalan.
Merujuk Keputusan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Nomor 229 Tahun 2022, batas maksimal residu EtO pada pangan olahan sebesar 0,01 mg/kg dan batas maksimal residu untuk 2-CE (2- Chloro Etanol) 85 mg/kg.
Hendro menegaskan, Kementerian Perdagangan mendorong pemenuhan mutu produk ekspor di negara tujuan. Salah satunya melalui lokakarya uji profisiensi dalam rangka peningkatan dan pemerataan kompetensi laboratorium sub-jejaring LRPPI Bidang Residu Pestisida di seluruh Indonesia.
"Hal ini merupakan bentuk nyata dukungan Kementerian Perdagangan dalam peningkatan peran laboratorium pengujian terhadap pertumbuhan sektor perdagangan di Indonesia dari segi kemudahan pemenuhan persyaratan mutu ekspor di negara tujuan. Tantangan bagi laboratorium pengujian residu pestisida ke depannya adalah menunjukkan peran yang lebih luas lagi dan menjadi bagian dari kegiatan inspeksi, sertifikasi, pemeriksaan dan pengawasan mutu dalam rangka pemenuhan dan peningkatan mutu produk ekspor," tandas Hendro. [jp/jup]