WahanaNews.co | Berbagai inovasi budidaya padi terus dilakukan guna mempercepat swasembada pangan yang berkelanjutan. Salah satu bentuk inovasi yang dikembangkan adalahbudidaya padi salibu.
Apa itu budidaya padi salibu? Dilansir dari Cybext Kementerian Pertanian, berikut penjelasan selengkapnya.
Baca Juga:
Mentan Ajak Kolaborasi dan Dorong Pengembangan VUB Padi IPB 9G
Mengenal budidaya padi salibu
Budidaya padi salibu adalah teknologi budidaya ratun yang artinya tunggul setelah panen tanaman utama dengan tinggi kurang lebih 25 cm, dipelihara 7 sampai 10 hari atau dibiarkan sampai keluar tunas baru.
Keuntungan dari teknik budidaya ini yaitu hemat tenaga kerja, waktu, dan biaya. Hal tersebut dikarenakan tidak perlu pengolahan lahan dan penanaman ulang serta bisa mengurangi kebiasaan petani membakar jerami.
Baca Juga:
Jawa Barat Ditargetkan Jadi Penghasil Padi Tertinggi Nasional
Tak hanya itu, cara menanam padi salibu juga bisa meningkatkan produktivitas padi. Hal ini bisa meningkatkan indeks panen mencapai 2 sampai 3 kali dalam satu tahun.
Jumlah anakan yang dihasilkan dari teknik budidaya padi ini juga lebih banyak dan seragam. Penggunaan varietas unggul akan membuat hasil panen semakin maksimal.
Varietas padi yang dapat ditanam dengan sistem salibu
Terdapat beberapa varietas padi yang sudah dikaji dan ditanam menggunakan sistem salibu, antara lain; varietas Batang Piaman, Cisoka, Inpari 19, Inpari 21, dan Logawa. Selain itu, padi hibrida seperti Hipa 3, Hipa 4, Hipa 5, Rokan, dan Cimelati juga bisa menghasilkan ratun yang baik dan dapat tumbuh dengan baik saat ditanam dengan sistem salibu.
Budidaya padi salibu
Secara umum, menanam padi dengan sistem salibu tidak berbeda jauh dengan budidaya pada umumnya. Teknologi ini juga bisa diterapkan di berbagai jenis lahan, seperti lahan irigasi desa, tadah hujan, hingga lahan pasang surut. Berikut penjelasan selengkapnya.
Lahan irigasi desa biasanya memiliki sistem pengairan yang mudah diatur. Jika lahan kurang basah saat panen, maka masukkan air ke lahan setelah panen.
Tunggul sisa panen kemudian dibiarkan 7 sampai 10 hari setelah panen agar muncul anakan baru. Apabila tunas yang keluar kurang dari 70 persen dari populasi, maka sebaiknya tidak dilakukan budidaya salibu.
Sedangkan jika tunas yang tumbuh lebih dari 70 persen, maka lakukan pemotongan tunggul sisa panen secara seragam hingga ketinggiannya 3 sampai 5 cm dari permukaan. Lakukan perombakan sisa jerami bekas potongan tunggul menggunakan dekomposer agar cepat.
Lahan tadah hujan
Sebelum melakukan penanaman padi di lahan tadah hujan, maka lakukan pengolahan secara sempurna dan berikan pupuk organik sebanyak 2 sampai 5 ton/ha. Ketika panen tanaman utama, kondisi lahan sebaiknya tidak terlalu kering.
Jika terlalu kering, maka perlu penambahan air secepatkan setelah panen. Sisa pemotongan panen tanaman utama diletakkan di sekitar tanaman atau sebagai penutup permukaan tanah. Tujuannya agar kelembapan tanah tetap terjaga.
Tunggul sisa panen dibiarkan 7 sampai 10 hari atau sampai keluar anakan baru. Apabila tunas yang keluar kurang dari 70 persen, sebaiknya tidak dilakukan budidaya salibu.
Sebaliknya, jika tunas yang muncul lebih dari 70 persen, maka lakukan pemotongan tunggul secara seragam. Perombakan sisa jerami bekas pemotongan tunggul dipercepat dengan bantuan dekomposer.
Sistem budidaya padi salibu di lahan pasang surut biasanya dilakukan saat musim tanam periode Oktober sampai Maret. Sama seperti budidaya padi salibu di lahan irigasi desa dan tadah hujan, tunas sisa panen di lahan pasang surut juga dibiarkan selama 7 sampai 10 hari setelah panen.
Saat tunas baru tumbuh lebih dari 70 persen, maka lakukan pemotongan sampai tanaman setinggi 3 sampai 5 cm. Lakukan juga pengomposan sisa jerami dari potongan tunggul menggunakan dekomposer. [rds]