WahanaNews.co | Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Abdul Halim Iskandar alias Gus Halim mengatakan pendamping desa ideal adalah yang membersamai desa.
Dengan demikian pendamping desa berada di di samping desa, bersama-sama desa, dan tidak mendahului desa.
Baca Juga:
Perebutan Kursi Senayan di Jawa Timur: Pertarungan Sengit Antara Petahana dan Pendatang Baru
Pendamping desa harus berada di tengah-tengah warga desa, untuk memberdayakan diri bersama-sama warga desa.
“Pendampingan masyarakat bukan seperti proyek yang sekali datang langsung selesai, pendampingan bersifat terus menerus, setiap hari, sepanjang tahun,” tegas Gus Halim, Jumat (22/10/2021).
Saat ini, kata Gus Halim banyak pendamping desa yang berhasil menunjukkan peran terbaiknya dalam membersamai desa.
Baca Juga:
Mendes PDTT Tinjau Desa di Pulau Terluar Aceh Besar
Dia mencontohkan keberhasilan Nurul Hidayah, pendamping desa di Kecamatan Bendosari, Sukoharjo, Jawa Tengah, dalam mengembangkan Desa Ramah Difabel.
Di tengah keterbatasan yang ada, Nurul Hidayah mampu meyakinkan pihak-pihak di level supra desa agar bisa terlibat pengembangan desa ramah difabel di wilayah dampingannya.
“Dia mampu mengajak lembaga swadaya masyarakat dan pegiat disabilitas untuk masuk ke desa. Mereka melatih golongan difabel, menambah fasilitas bagi difabel di ruang publik, hingga bersama-sama desa menyiapkan rumah singgah. Inisiatif-inisiatif seperti inilah yang dibutuhkan dari sosok pendamping desa, sehingga berbagai kendala dan tantangan dalam percepatan pembangunan desa bisa terselesaikan,” pungkasnya.
Perkuat Asas Rekognisi dan Subsidiaritas
Gus Halim juga meminta para pendamping desa menguatkan asas rekognisi dan subsidiaritas desa. Penguatan dua asas ini akan mempercepat kemajuan dan kemandirian desa.
“Saya tidak berhenti dan lelah untuk memastikan asas rekognisi dan subsidiaritas desa benar-benar terimplementasi di lapangan. Para pendamping desa harus mempercepat realisasi dua asas yang menjadi ruh di Undang-Undang Nomor 6/2014 tentang Desa tersebut,” ujanya.
Pada praktiknya, rekognisi desa ditunjukkan dengan pemberian kode wilayah desa yang menjadi basis eksistensi desa untuk mendapatkan dana desa, serta menjalankan keseluruhan rangkaian kegiatan pembangunan desa dan pemberdayaan warga desa.
Sedangkan asas subsidiaritas merupakan wewenang yang melekat pada desa karena telah menjadi tradisi, berlangsung berpuluh tahun lalu, dan biasa dijalankan di tingkat desa.
“Asas subsidiaritas ini pada prakteknya kerap dijadikan rujukan bagi kepala desa atau perangkat desa dalam menyelesaikan konflik antarwarga tanpa harus menggunakan pendekatan hukum formal. Ini merupakan kekayaan luar biasa dari desa-desa di Indonesia,” katanya.
Gus Halim menyatakan asas rekognisi dan subsidiary desa ini harus dijaga di tengah cepatnya pembangunan desa.
Hal itu menunjukkan pentingnya peran pendamping desa untuk menjaga dua asas tersebut benar-benar bisa menjadi modal dasar bagi percepatan pembangunan desa.
“Pendamping desa merupakan elemen penting dalam percepatan pembangunan desa. Salah satunya dengan menjadikan asas rekognisi dan subsidiary benar-benar menjadi ruh pembangunan desa,” katanya. [rin]